Pages

Minggu, 15 Maret 2020

Menghayati Islam dari Fragmen Sirah Rasulullah Saw.



Cetakan kedua buku ini Syekh Said Ramadhan al-Buthy ingin mempersembahkan bagi umat Muslim di seluruh dunia yang ingin memahami kehidupan Rasulullah Saw. beserta segala pelajaran dan nasihatnya. Cetakan kedua ini telah juga dilengkapi dengan beberapa bahasan dan revisi pada beberapa bagian dengan harapan buku ini makin mendekati kesempurnaan. Kendati demikian, Syekh al-Buthy yakin bahwa beliau tidak akan pernah meraih kesempurnaan mutlak. Lagi pula, hanya para nabi Allah yang dekat kepada-Nya yang bersih dari cacat dan dosa. Itu merupakan keistimewaan yang tidak Dia berikan kepada selain mereka. Allah memuliakan mereka dengan keistimewaan itu agar manusia dapat membedaan antara orang yang menggunakan akalnya menghadapi berbagai masalah dengan merenung dan orang yang diberi petunjuk oleh Allah kepada kebenaran melalui wahyu dan ilham selain anugerah akal yang sempurna dan mata hati yang bercahaya.

Syekh al-Buthy tidak pernah membayangkan, cetakan pertama buku ini habis dalam waktu sangat singkat dan mendapat sambutan hangat di berbagai negara Arab dan Islam. Namun beliau tahu, sambutan luas pembaca itu karena dalam menyusun Sîrah Nabi ini beliau berusaha mengoreksi berbagai kekeliruan para penulis kontemporer serta mengenyahkan kesalahan yang sengaja diungkapkan para penulis, orientalis, dan pengagum Barat. Berbagai kesalahan itu sengaja dipelihara oleh aliran pemikiran tertentu yang berkembang di penghujung abad ke-19 yang pengaruhnya masih terus menyebar hingga saat ini.

Syekh al-Buthy juga menyadari, para pembaca melihat cara yang beliau gunakan dalam penulisan buku ini dapat menundukkan sebagian orang yang terpengaruh aliran pemikiran itu. Sebelumnya mereka tergoda karena melihat namanya, para pendirinya, dan para pemikir yang menyebarkan aliran tersebut. Selain itu, fakta-fakta yang jernih dalam kehidupan Sang Musthafa Saw. tetap bersinar cemerlang. Akal manusia yang merdeka tetap condong kepadanya dan meyakini kebenarannya. Mereka tidak merasa nyaman dengan segala takwil dan analisis yang tujuannya hanya untuk memalsukan atau mempermainkan fakta-fakta tersebut.

Semua penulis dan pemikir mengetahui bahwa salah satu faktor penting yang memengaruhi perkembangan aliran pemikiran itu di zaman sekarang adalah ketakjuban banyak orang Arab-Muslim oleh fenomena kebangkitan pengetahuan di Eropa. Karena silau melihat kemajuan ilmu pengetahuan di Barat, mereka beranggapan salah bahwa yang menghalangi kemajuan umat Islam adalah karena kaum Muslim tidak memahami Islam sebagaimana orang Barat memahami Kristen. Mereka juga keliru menempatkan berbagai perkara gaib dalam kerangka pengetahuan material. Akibatnya, mereka tak mau mengimani sesuatu hal-hal gaib yang tidak dapat dicerna akal dan pengetahuan. Mereka pun tidak sudi mengimani mukjizat yang tidak dapat dicerna logika pemikiran. Jadi, bagi mereka, Islam tidak akan pernah bangkit dan maju jika tidak mengikuti cara dan metode seperti yang ditempuh orang Barat dengan ilmu pengetahuan mereka.

Berdasarkan keyakinan seperti itulah para tokoh aliran pemikiran itu mengembangkan apa yang mereka klaim sebagai “ reformasi agama”. Padahal, agama yang benar tidak pernah rusak sedikit pun sehingga tak butuh diperbaiki atau direformasi. Salah satu wujud “reformasi” ini adalah berkembangnya upaya untuk menganalisis kehidupan  Rasulullah saw. mengikuti akal Eropa, di bawah panji yang mereka sebut “ilmu pengetahuan modern”. Ya, Buku Hayat Muhammad karya Husain Haikal adalah pelopor upaya ini. Penulis buku itu mengungkapkan bahwa dia hanya berusaha memahami kehidupan Muhammad Saw. sebagaimana ditunjukkan “ilmu pengetahuan”.

Oleh karena itu, dalam buku tersebut kita tidak akan mendapati hal-hal yang ajaib atau mukjizat yang menakjubkan dalam kehidupan Rasulullah Saw. Apa yang kita temukan hanyalah Al-Quran dan Al-Quran. Penulis buku itu memperkuat pernyataannya dengan bait Al-Bushiri:

Ia tak menguji kita dengan apa yang disadari akal
Untuk menjaga agar kita tak ragu atau pun gelisah

Namun, dia melupakan kata-kata Al-Bushiri dalam kasidah yang sama:

Pohon-pohon memenuhi seruannya sambil bersujud
berjalan mendekatinya di atas betis-betis tanpa kaki

Lantas, Syaikh Al-Maraghi, Syaikh Al-Azhar kala itu, memuji buku itu serta memberi selamat atas kepeloporan sang penulis. Tokoh berikutnya adalah Muhammad Farid Wajdi. Dia mempublikasikan beberapa tulisan yang mengajak kaum Muslim untuk memahami Islam dan Sîrah Nabi melalui jalan “ilmu pengetahuan” meskipun cara itu mengharuskannya berpaling dari riwayat yang sahih dalam Al-Quran dan Sunnah. Jika dicermati, kita akan melihat bahwa yang dia maksud “jalan ilmu pengetahuan” adalah menghindari hal-hal gaib, fenomena luar biasa, dan berbagai mukjizat yang dianggap tidak masuk akal meskipun semua itu termaktub dalam riwayat-riwayat yang sahih dan tepercaya. Baginya, ilmu pengetahuan hanya terwujud dengan cara mengingkari segala sesuatu yang tidak dapat dicerna pancaindra!

Kita telah menyaksikan bagaimana kolonialisme Inggris di Mesir telah menyebarkan pemahaman baru atas Islam kepada sejumlah pemikir dan penulis. Mereka mengeksploitasi pemahaman baru untuk melemahkan seruan Islam di hati kaum  Muslim. Lalu, apalagi yang tersisa dari keimanan jika seseorang mengingkari konsep mukjizat dalam agamanya? Bukankah agama merupakan mukjizat  wahyu Ilahi yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya? Pendidikan kolonial pun menjauhkan kaum Muslim dari metodologi Islam, lalu membangun metodologi baru yang menegaskan bahwa semua itu adalah metodologi Eropa kuno!

Seiring dengan perjalanan waktu, para penulis yang jujur dan objektif dapat melihat dengan jelas bahwa ternyata aliran pemikiran itu sama sekali tidak berlandaskan perenungan yang saksama lagi bebas, tidak pula didasari penelitian ilmiah yang jujur, melainkan sekadar reaksi atas kesilauan dan perasaan lemah sekelompok Muslim. Mereka merasa lemah lantaran situasi dan kondisi masyarakat saat itu yang didominasi kolonial Barat sehingga mereka berpaling pada model kehidupan Eropa. Mereka takjub melihat kemajuan Barat dan sangat menginginkannya beserta segala perhiasan dan kenikmatannya. Lantas, keinginan itu bertahta menguasai hati dan pemikiran mereka sehingga kemudian mereka membangun aliran pemikiran yang lahirnya disebut “reformasi agama”, sementara batinnya adalah ketundukan jiwa dan ketakjuban pikiran mereka di hadapan kemajuan Barat.

Makin jelas bagi para peneliti dan pemikir yang jujur bahwa para pendiri dan penyeru aliran tersebut tidak pernah mewujudkan kebangkitan ilmiah apa pun sebagaimana kebangkitan yang terjadi di Eropa. Para pengusung gagasan “reformasi agama” itu telah kehilangan dua hakikat sekaligus; mereka kehilangan hakikat agama dan juga tidak meraih kebangkitan ilmiah.

Oleh karena itu, melalui buku ini, Syekh al-Buthy ingin segera melenyapkan puing-puing aliran pemikiran tersebut. Seorang Muslim tak sepatutnya merasa bahwa dia dapat memahami kehidupan Rasulullah Saw. dalam waktu singkat dengan alasan bahwa dia jenius atau tokoh besar yang sangat cerdas. Perasaan semacam itu hanya menggambarkan sikap keras kepala yang mengabaikan fakta-fakta penting dalam kehidupan  Muhammad Saw. Fakta-fakta nan jernih ini memastikan bahwa Nabi Saw. memiliki sifat yang luhur dan sempurna, baik dari sisi fisik, akal, maupun jiwa. Hanya saja, penting diingat bahwa semua itu bersumber dari satu fakta besar dalam kehidupan  Rasulullah saw., yaitu bahwa beliau adalah nabi utusan Allah Swt. Maka, benar-benar salah kaprah jika kita meletakkan yang cabang di tempat yang pokok, lalu kita berpura-pura tidak mengetahui keberadaan yang pokok itu sama sekali.

Seorang Muslim juga tidak pantas menganggap bahwa mukjizat Rasulullah hanyalah Al-Quran, padahal dia tidak memungkiri bahwa beliau memiliki Sîrah (perjalanan hidup) yang merupakan sumber utama untuk memahami kehidupan Rasululah. Jika dia memungkiri keberadaan Sîrah, berarti dia pun memungkiri mukjizat Al-Quran. Pasalnya, pelbagai mukjizat Rasulullah saw. kita ketahui melalui jalan yang sama sebagaimana kita mengetahui mukjizat Al-Quran. Sikap lancang menakwilkan yang ini dan menerima yang itu sekehendak hati, selama sesuai dengan tujuan, merupakan kajian dan model pemahaman yang aneh. Jalan itu tidak akan ditempuh orang yang menghormati dirinya sendiri dan memuliakan akalnya.

Antusiasme pembaca terhadap karya beliau ini merupakan bukti nyata bahwa waktu panjang yang dihabiskan, kerja keras yang dikerahkan, dan berbagai karya yang dituliskan kalangan orientalis, pengagum Barat, para pengekor, dan orang bodoh yang menyerukan keburukan dan melancarkan perang pemikiran (ghazwul fikr) itu tidak mungkin mengubah kebenaran menjadi kebatilan, atau sebaliknya. Juga, menjadi bukti penting bahwa hakikat pemikiran tidak mungkin dibunuh. Bisa jadi hakikat itu diselubungi atau dikaburkan, tetapi itu hanya sementara. Waktu akan menyingkirkan selubung dan pengaburan itu sehingga hakikat kebenaran kembali bersinar. Para pengamat dan peneliti yang saksama dapat mengambil pelajaran darinya dan membekali pikiran mereka dengan kewaspadaan dan kesadaran.

Mungkin banyak orang yang bilang bahwa kaum Muslim di zaman sekarang semakin jauh dari metodologi Islami mereka yang agung. Namun, Syekh al-Buthy yakin bahwa generasi muda Muslim masa kini memiliki kesadaran islami dan pengamatan jeli yang tidak dimiliki kaum Muslim di masa sebelumnya. Tidak akan lama lagi, Anda pasti mendapati kesadaran ini berevolusi menjadi gerakan yang positif dan aktif, yang mengoreksi penyimpangan, meluruskan kebengkokan, dan menegakkan kembali bangunan Islam.

Di sisi lain, untuk menulis karya ini Syekh al-Buthy lebih memilih metodologi akademis yang didasarkan atas istinbâth (penarikan kesimpulan) kaidah dan hukum, tidak hanya mengandalkan metodologi dan analisis sastra meskipun masing-masing memiliki kelebihan dan manfaat. Pasalnya, topik yang beliau sajikan dalam buku ini hanya selaras dengan cara pertama. Beliau juga merasakan adanya dukungan dan sambutan baik pembaca terhadap penggunaan metodologi ini. Meski demikian, Syekh al-Buthy sadar bahwa pembahasan ini belum sempurna dan belum bisa memenuhi gagasan ideal beliau sendiri dan keinginan para pembaca. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, Syekh al-Buthy belum sanggup membahas secara detail berbagai aspek kehidupan Rasulullah saw. Kedua, Syekh al-Buthy tidak ingin berlarut-larut menguraikan persoalan dan hukum serta segala komentarnya sehingga menyulitkan pembaca untuk membaca tuntas buku ini. Sebab, jika sebuah karya tulis melewati pokok bahasannya, buku itu menjadi kurang bermanfaat. Buku itu hanya akan menjadi rujukan yang dipakai pada waktu-waktu tertentu saja, bukannya buku yang mudah dicerna dan memuaskan untuk dibaca dan dipelajari di setiap waktu dan keadaan.

Ada sekelompok orang yang tidak menyukai karya beliau ini dan mencelanya. Kritik dan celaan mereka itu didasari kedengkian dan sentimen, tidak didasari analisis dan penelitian ilmiah. Tentu saja Syekh al-Buthy akan merasa senang dan berterima kasih seandainya ada saudara yang mengritik beliau secara jujur dan ikhlas, mengingatkan kesalahan atau penyimpangan yang saya lakukan. Beliau juga pasti akan berdoa agar mereka mendapatkan pahala kebaikan dari Allah. Namun, kebanyakan kritik yang mereka lontarkan adalah ungkapan yang tidak berguna dan tidak berdasar yang didorong hasrat untuk mencela, menunjukkan keburukan orang lain, dan membela golongan atau paham tertentu.

Misalnya, Syekh al-Buthy mendapati riwayat yang tidak diragukan kesahihannya mengenai dibolehkannya tawasul dengan Rasulullah Saw., baik semasa hidup beliau maupun sepeninggalnya. Beliau menandaskan hal ini dan mengemukakan dalil-dalilnya kepada orang yang menyampaikan kritik tersebut. Beliau juga menemukan dalam Sîrah Rasulullah saw. mengenai dibolehkannya berdiri untuk menghormati orang yang datang. Ia pun menyebutkan dalil-dalilnya serta uraian para ulama tentang perbedaan antara berdiri menyambut orang yang datang dan berdiri agar orang lain duduk, juga penjelasan sunnah tentang hal itu. Kemudian, beliau tegaskan pula bahwa berdiri untuk menghormati dibolehkan jika memenuhi syarat dan ketentuan yang dijelaskan dalam hadis sahih serta kaidah ushul dan hukumnya.

Syekh al-Buthy juga menemukan dalam sîrah beliau mengenai dibolehkannya qadha (mengganti) shalat yang terlewat, baik lantaran lupa maupun sengaja. Beliau beberkan dalil-dalilnya serta hukum yang melandasinya. Seandainya dalil-dalil itu ternyata melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda, pasti beliau akan mengikuti arahan  ushul dan hukum itu. Namun, Syekh al-Buthy tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui konsepsi hukum dan dalilnya hanya agar bertaklid pada sekelompok orang zaman sekarang yang suka membuat suatu aliran baru dari penentangan terhadap para imam dan jumhur ulama. Sementara, banyak di antara mereka yang tanpa ragu-ragu meremehkan para imam dan ulama bahkan ada pula yang mencela mereka. Kita berlindung kepada Allah agar tidak terjebak dalam penelitian ilmiah dan rasionalisme yang mengarah pada fanatisme dan kekakuan berpikir.

Syekh al-Buthy juga berharap, demi Allah, semoga mereka yang terus menyibukkan pikiran masyarakat dengan segala gagasan dan ijtihad mereka dalam perkara cabang (furu’) untuk mengurusi persoalan umat yang lebih penting yang butuh energi sangat besar dan kerja keras agar umat terhindar dari kerusakan dan kehancuran. Namun, sangat mengherankan, mereka masih saja menutup mata dan berpura-pura tidak tahu mengenai berbagai persoalan besar yang dihadapi umat zaman sekarang. Alih-alih mereka sibuk memikirkan berbagai persoalan yang tidak mengandung manfaat dan lebih banyak memicu perselisihan dan memunculkan dendam satu sama lain.

Seandainya mereka bersikap jujur dan ikhlas karena Allah, niscaya mereka akan memegang pendapat mereka seraya tetap menghargai pendapat orang lain, dan menghentikan upaya mendominasi umat dengan cara memusuhi, memakai kekerasan, dan melecehkan pemikiran orang lain. Padahal, jumhur ulama sebelum kita selalu bersepakat memegang teguh urusan akidah dan amal yang bersifat qath‘i (pasti). Mereka juga bekerja keras membela urusan akidah dan amal ibadah yang bersifat qath‘i. Jika setelah itu mereka meneliti urusan ijtihad yang bersifat zhanni (belum pasti), semestinya mereka tidak mengurusi pendapat orang lain yang berbeda dengannya. Perbedaan pendapat itu tak seharusnya membuat siapa pun memaksa dan mendominasi orang lain.

Seandainya dulu jumhur ulama — semoga Allah meridhai mereka — melakukan satu saja perbuatan seperti yang dilakukan kelompok itu, pastilah persatuan Islam sudah hancur, dan tentu kita tidak merasakan sedikit pun buah kekuatan, peradaban, dan keagungan dalam sejarah Islam kita yang tetap kita banggakan hingga hari ini.

Jika kita hendak meneliti berbagai persoalan yang diperselisihkan kelompok itu dan membandingkannya dengan pandangan jumhur ulama, Syekh al-Buthy mengajak pembaca untuk mencermati dalil, kelurusan, dan kekuatannya berdasarkan dalil dan bukti yang jelas. Beliau juga berharap para pembaca tidak perlu tunduk pada segala yang memantapkan pikiran dan akalnya sendiri tanpa disertai sikap fanatis.

Perbedaan pendapat tidak akan berbahaya jika masing-masing memiliki dalil yang logis tentangnya. Namun, bila sikap masing-masing terhadap pendapatnya berubah menjadi fanatis, ini sangat berbahaya.

Syekh al-Buthy memohon semoga Allah Swt. menghimpun kita di atas kebenaran, menunjuki kita ke jalan yang benar, dan menjadikan seluruh amal kita ikhlas karena-Nya. Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Aamiin.

Muhammad Sa‘id bin Mula Ramadhan Al-Buthy
Damaskus
17 Jumadil Ula 1388/10 Agustus 1968

Dikutip dari buku The Great Episodes of Muhammad saw. karangan Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Ulama Mufti Sunni Damaskus, Suriah.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) buku The Great Episodes of Muhammad saw pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer