Cetakan kedua buku ini Syekh Said Ramadhan al-Buthy ingin mempersembahkan bagi umat Muslim di seluruh dunia yang ingin memahami kehidupan Rasulullah Saw. beserta segala pelajaran dan nasihatnya. Cetakan kedua ini telah juga dilengkapi dengan beberapa bahasan dan revisi pada beberapa bagian dengan harapan buku ini makin mendekati kesempurnaan. Kendati demikian, Syekh al-Buthy yakin bahwa beliau tidak akan pernah meraih kesempurnaan mutlak. Lagi pula, hanya para nabi Allah yang dekat kepada-Nya yang bersih dari cacat dan dosa. Itu merupakan keistimewaan yang tidak Dia berikan kepada selain mereka. Allah memuliakan mereka dengan keistimewaan itu agar manusia dapat membedaan antara orang yang menggunakan akalnya menghadapi berbagai masalah dengan merenung dan orang yang diberi petunjuk oleh Allah kepada kebenaran melalui wahyu dan ilham selain anugerah akal yang sempurna dan mata hati yang bercahaya.
Syekh
al-Buthy tidak pernah membayangkan, cetakan pertama buku ini habis dalam waktu
sangat singkat dan mendapat sambutan hangat di berbagai negara Arab dan Islam.
Namun beliau tahu, sambutan luas pembaca itu karena dalam menyusun Sîrah
Nabi ini beliau berusaha mengoreksi berbagai kekeliruan para penulis kontemporer
serta mengenyahkan kesalahan yang sengaja diungkapkan para penulis, orientalis,
dan pengagum Barat. Berbagai kesalahan itu sengaja dipelihara oleh aliran
pemikiran tertentu yang berkembang di penghujung abad ke-19 yang pengaruhnya
masih terus menyebar hingga saat ini.
Syekh
al-Buthy juga menyadari, para pembaca melihat cara yang beliau gunakan dalam
penulisan buku ini dapat menundukkan sebagian orang yang terpengaruh aliran
pemikiran itu. Sebelumnya mereka tergoda karena melihat namanya, para
pendirinya, dan para pemikir yang menyebarkan aliran tersebut. Selain itu,
fakta-fakta yang jernih dalam kehidupan Sang Musthafa Saw. tetap bersinar
cemerlang. Akal manusia yang merdeka tetap condong kepadanya dan meyakini
kebenarannya. Mereka tidak merasa nyaman dengan segala takwil dan analisis yang
tujuannya hanya untuk memalsukan atau mempermainkan fakta-fakta tersebut.
Semua
penulis dan pemikir mengetahui bahwa salah satu faktor penting yang memengaruhi
perkembangan aliran pemikiran itu di zaman sekarang adalah ketakjuban banyak
orang Arab-Muslim oleh fenomena kebangkitan pengetahuan di Eropa. Karena silau
melihat kemajuan ilmu pengetahuan di Barat, mereka beranggapan salah bahwa yang
menghalangi kemajuan umat Islam adalah karena kaum Muslim tidak memahami Islam
sebagaimana orang Barat memahami Kristen. Mereka juga keliru menempatkan
berbagai perkara gaib dalam kerangka pengetahuan material. Akibatnya, mereka
tak mau mengimani sesuatu hal-hal gaib yang tidak dapat dicerna akal dan
pengetahuan. Mereka pun tidak sudi mengimani mukjizat yang tidak dapat dicerna
logika pemikiran. Jadi, bagi mereka, Islam tidak akan pernah bangkit dan maju
jika tidak mengikuti cara dan metode seperti yang ditempuh orang Barat dengan
ilmu pengetahuan mereka.
Berdasarkan
keyakinan seperti itulah para tokoh aliran pemikiran itu mengembangkan apa yang
mereka klaim sebagai “ reformasi agama”. Padahal, agama yang benar tidak pernah
rusak sedikit pun sehingga tak butuh diperbaiki atau direformasi. Salah satu
wujud “reformasi” ini adalah berkembangnya upaya untuk menganalisis kehidupan Rasulullah saw. mengikuti akal Eropa, di bawah
panji yang mereka sebut “ilmu pengetahuan modern”. Ya, Buku Hayat Muhammad
karya Husain Haikal adalah pelopor upaya ini. Penulis buku itu mengungkapkan
bahwa dia hanya berusaha memahami kehidupan Muhammad Saw. sebagaimana
ditunjukkan “ilmu pengetahuan”.
Oleh
karena itu, dalam buku tersebut kita tidak akan mendapati hal-hal yang ajaib
atau mukjizat yang menakjubkan dalam kehidupan Rasulullah Saw. Apa yang kita
temukan hanyalah Al-Quran dan Al-Quran. Penulis buku itu memperkuat
pernyataannya dengan bait Al-Bushiri:
Ia tak menguji kita dengan apa yang
disadari akal
Untuk menjaga agar kita tak ragu atau
pun gelisah
Namun,
dia melupakan kata-kata Al-Bushiri dalam kasidah yang sama:
Pohon-pohon memenuhi seruannya sambil
bersujud
berjalan mendekatinya di atas
betis-betis tanpa kaki
Lantas,
Syaikh Al-Maraghi, Syaikh Al-Azhar kala itu, memuji buku itu serta memberi
selamat atas kepeloporan sang penulis. Tokoh berikutnya adalah Muhammad Farid
Wajdi. Dia mempublikasikan beberapa tulisan yang mengajak kaum Muslim untuk
memahami Islam dan Sîrah Nabi melalui jalan “ilmu pengetahuan” meskipun cara
itu mengharuskannya berpaling dari riwayat yang sahih dalam Al-Quran dan
Sunnah. Jika dicermati, kita akan melihat bahwa yang dia maksud “jalan ilmu
pengetahuan” adalah menghindari hal-hal gaib, fenomena luar biasa, dan berbagai
mukjizat yang dianggap tidak masuk akal meskipun semua itu termaktub dalam
riwayat-riwayat yang sahih dan tepercaya. Baginya, ilmu pengetahuan hanya
terwujud dengan cara mengingkari segala sesuatu yang tidak dapat dicerna
pancaindra!
Kita
telah menyaksikan bagaimana kolonialisme Inggris di Mesir telah menyebarkan
pemahaman baru atas Islam kepada sejumlah pemikir dan penulis. Mereka
mengeksploitasi pemahaman baru untuk melemahkan seruan Islam di hati kaum Muslim. Lalu, apalagi yang tersisa dari
keimanan jika seseorang mengingkari konsep mukjizat dalam agamanya? Bukankah
agama merupakan mukjizat wahyu Ilahi
yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya? Pendidikan kolonial pun
menjauhkan kaum Muslim dari metodologi Islam, lalu membangun metodologi baru
yang menegaskan bahwa semua itu adalah metodologi Eropa kuno!
Seiring
dengan perjalanan waktu, para penulis yang jujur dan objektif dapat melihat
dengan jelas bahwa ternyata aliran pemikiran itu sama sekali tidak berlandaskan
perenungan yang saksama lagi bebas, tidak pula didasari penelitian ilmiah yang
jujur, melainkan sekadar reaksi atas kesilauan dan perasaan lemah sekelompok Muslim.
Mereka merasa lemah lantaran situasi dan kondisi masyarakat saat itu yang
didominasi kolonial Barat sehingga mereka berpaling pada model kehidupan Eropa.
Mereka takjub melihat kemajuan Barat dan sangat menginginkannya beserta segala
perhiasan dan kenikmatannya. Lantas, keinginan itu bertahta menguasai hati dan
pemikiran mereka sehingga kemudian mereka membangun aliran pemikiran yang
lahirnya disebut “reformasi agama”,
sementara batinnya adalah ketundukan jiwa dan ketakjuban pikiran mereka di
hadapan kemajuan Barat.
Makin
jelas bagi para peneliti dan pemikir yang jujur bahwa para pendiri dan penyeru
aliran tersebut tidak pernah mewujudkan kebangkitan ilmiah apa pun sebagaimana
kebangkitan yang terjadi di Eropa. Para pengusung gagasan “reformasi agama”
itu telah kehilangan dua hakikat sekaligus; mereka kehilangan hakikat agama dan
juga tidak meraih kebangkitan ilmiah.
Oleh
karena itu, melalui buku ini, Syekh al-Buthy ingin segera melenyapkan
puing-puing aliran pemikiran tersebut. Seorang Muslim tak sepatutnya merasa
bahwa dia dapat memahami kehidupan Rasulullah Saw. dalam waktu singkat dengan
alasan bahwa dia jenius atau tokoh besar yang sangat cerdas. Perasaan semacam
itu hanya menggambarkan sikap keras kepala yang mengabaikan fakta-fakta penting
dalam kehidupan Muhammad Saw.
Fakta-fakta nan jernih ini memastikan bahwa Nabi Saw. memiliki sifat yang luhur
dan sempurna, baik dari sisi fisik, akal, maupun jiwa. Hanya saja, penting diingat
bahwa semua itu bersumber dari satu fakta besar dalam kehidupan Rasulullah saw., yaitu bahwa beliau adalah
nabi utusan Allah Swt. Maka, benar-benar salah kaprah jika kita meletakkan yang
cabang di tempat yang pokok, lalu kita berpura-pura tidak mengetahui keberadaan
yang pokok itu sama sekali.
Seorang
Muslim juga tidak pantas menganggap bahwa mukjizat Rasulullah hanyalah Al-Quran,
padahal dia tidak memungkiri bahwa beliau memiliki Sîrah (perjalanan
hidup) yang merupakan sumber utama untuk memahami kehidupan Rasululah. Jika dia
memungkiri keberadaan Sîrah, berarti dia pun memungkiri mukjizat Al-Quran.
Pasalnya, pelbagai mukjizat Rasulullah saw. kita ketahui melalui jalan yang
sama sebagaimana kita mengetahui mukjizat Al-Quran. Sikap lancang menakwilkan
yang ini dan menerima yang itu sekehendak hati, selama sesuai dengan tujuan,
merupakan kajian dan model pemahaman yang aneh. Jalan itu tidak akan ditempuh
orang yang menghormati dirinya sendiri dan memuliakan akalnya.
Antusiasme
pembaca terhadap karya beliau ini merupakan bukti nyata bahwa waktu panjang
yang dihabiskan, kerja keras yang dikerahkan, dan berbagai karya yang
dituliskan kalangan orientalis, pengagum Barat, para pengekor, dan orang bodoh
yang menyerukan keburukan dan melancarkan perang pemikiran (ghazwul fikr)
itu tidak mungkin mengubah kebenaran menjadi kebatilan, atau sebaliknya. Juga,
menjadi bukti penting bahwa hakikat pemikiran tidak mungkin dibunuh. Bisa jadi
hakikat itu diselubungi atau dikaburkan, tetapi itu hanya sementara. Waktu akan
menyingkirkan selubung dan pengaburan itu sehingga hakikat kebenaran kembali
bersinar. Para pengamat dan peneliti yang saksama dapat mengambil pelajaran
darinya dan membekali pikiran mereka dengan kewaspadaan dan kesadaran.
Mungkin
banyak orang yang bilang bahwa kaum Muslim di zaman sekarang semakin jauh dari
metodologi Islami mereka yang agung. Namun, Syekh al-Buthy yakin bahwa generasi
muda Muslim masa kini memiliki kesadaran islami dan pengamatan jeli yang tidak
dimiliki kaum Muslim di masa sebelumnya. Tidak akan lama lagi, Anda pasti
mendapati kesadaran ini berevolusi menjadi gerakan yang positif dan aktif, yang
mengoreksi penyimpangan, meluruskan kebengkokan, dan menegakkan kembali
bangunan Islam.
Di
sisi lain, untuk menulis karya ini Syekh al-Buthy lebih memilih metodologi akademis
yang didasarkan atas istinbâth (penarikan kesimpulan) kaidah dan hukum,
tidak hanya mengandalkan metodologi dan analisis sastra meskipun masing-masing
memiliki kelebihan dan manfaat. Pasalnya, topik yang beliau sajikan dalam buku
ini hanya selaras dengan cara pertama. Beliau juga merasakan adanya dukungan
dan sambutan baik pembaca terhadap penggunaan metodologi ini. Meski demikian, Syekh
al-Buthy sadar bahwa pembahasan ini belum sempurna dan belum bisa memenuhi
gagasan ideal beliau sendiri dan keinginan para pembaca. Ada beberapa hal yang
menjadi penyebabnya. Pertama, Syekh al-Buthy belum sanggup membahas
secara detail berbagai aspek kehidupan Rasulullah saw. Kedua, Syekh
al-Buthy tidak ingin berlarut-larut menguraikan persoalan dan hukum serta
segala komentarnya sehingga menyulitkan pembaca untuk membaca tuntas buku ini.
Sebab, jika sebuah karya tulis melewati pokok bahasannya, buku itu menjadi
kurang bermanfaat. Buku itu hanya akan menjadi rujukan yang dipakai pada
waktu-waktu tertentu saja, bukannya buku yang mudah dicerna dan memuaskan untuk
dibaca dan dipelajari di setiap waktu dan keadaan.
Ada
sekelompok orang yang tidak menyukai karya beliau ini dan mencelanya. Kritik
dan celaan mereka itu didasari kedengkian dan sentimen, tidak didasari analisis
dan penelitian ilmiah. Tentu saja Syekh al-Buthy akan merasa senang dan
berterima kasih seandainya ada saudara yang mengritik beliau secara jujur dan
ikhlas, mengingatkan kesalahan atau penyimpangan yang saya lakukan. Beliau juga
pasti akan berdoa agar mereka mendapatkan pahala kebaikan dari Allah. Namun,
kebanyakan kritik yang mereka lontarkan adalah ungkapan yang tidak berguna dan
tidak berdasar yang didorong hasrat untuk mencela, menunjukkan keburukan orang
lain, dan membela golongan atau paham tertentu.
Misalnya,
Syekh al-Buthy mendapati riwayat yang tidak diragukan kesahihannya mengenai
dibolehkannya tawasul dengan Rasulullah Saw., baik semasa hidup beliau maupun
sepeninggalnya. Beliau menandaskan hal ini dan mengemukakan dalil-dalilnya
kepada orang yang menyampaikan kritik tersebut. Beliau juga menemukan dalam
Sîrah Rasulullah saw. mengenai dibolehkannya berdiri untuk menghormati orang yang
datang. Ia pun menyebutkan dalil-dalilnya serta uraian para ulama tentang
perbedaan antara berdiri menyambut orang yang datang dan berdiri agar orang
lain duduk, juga penjelasan sunnah tentang hal itu. Kemudian, beliau tegaskan pula
bahwa berdiri untuk menghormati dibolehkan jika memenuhi syarat dan ketentuan
yang dijelaskan dalam hadis sahih serta kaidah ushul dan hukumnya.
Syekh
al-Buthy juga menemukan dalam sîrah beliau mengenai dibolehkannya qadha
(mengganti) shalat yang terlewat, baik lantaran lupa maupun sengaja. Beliau
beberkan dalil-dalilnya serta hukum yang melandasinya. Seandainya dalil-dalil
itu ternyata melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda, pasti beliau akan
mengikuti arahan ushul dan hukum itu.
Namun, Syekh al-Buthy tidak bisa berpura-pura tidak mengetahui konsepsi hukum
dan dalilnya hanya agar bertaklid pada sekelompok orang zaman sekarang yang
suka membuat suatu aliran baru dari penentangan terhadap para imam dan jumhur
ulama. Sementara, banyak di antara mereka yang tanpa ragu-ragu meremehkan para
imam dan ulama bahkan ada pula yang mencela mereka. Kita berlindung kepada
Allah agar tidak terjebak dalam penelitian ilmiah dan rasionalisme yang
mengarah pada fanatisme dan kekakuan berpikir.
Syekh
al-Buthy juga berharap, demi Allah, semoga mereka yang terus menyibukkan
pikiran masyarakat dengan segala gagasan dan ijtihad mereka dalam perkara
cabang (furu’) untuk mengurusi persoalan umat yang lebih penting yang
butuh energi sangat besar dan kerja keras agar umat terhindar dari kerusakan
dan kehancuran. Namun, sangat mengherankan, mereka masih saja menutup mata dan
berpura-pura tidak tahu mengenai berbagai persoalan besar yang dihadapi umat
zaman sekarang. Alih-alih mereka sibuk memikirkan berbagai persoalan yang tidak
mengandung manfaat dan lebih banyak memicu perselisihan dan memunculkan dendam
satu sama lain.
Seandainya
mereka bersikap jujur dan ikhlas karena Allah, niscaya mereka akan memegang
pendapat mereka seraya tetap menghargai pendapat orang lain, dan menghentikan
upaya mendominasi umat dengan cara memusuhi, memakai kekerasan, dan melecehkan
pemikiran orang lain. Padahal, jumhur ulama sebelum kita selalu bersepakat
memegang teguh urusan akidah dan amal yang bersifat qath‘i (pasti).
Mereka juga bekerja keras membela urusan akidah dan amal ibadah yang bersifat qath‘i.
Jika setelah itu mereka meneliti urusan ijtihad yang bersifat zhanni (belum
pasti), semestinya mereka tidak mengurusi pendapat orang lain yang berbeda
dengannya. Perbedaan pendapat itu tak seharusnya membuat siapa pun memaksa dan
mendominasi orang lain.
Seandainya
dulu jumhur ulama — semoga Allah meridhai mereka — melakukan satu saja
perbuatan seperti yang dilakukan kelompok itu, pastilah persatuan Islam sudah
hancur, dan tentu kita tidak merasakan sedikit pun buah kekuatan, peradaban,
dan keagungan dalam sejarah Islam kita yang tetap kita banggakan hingga hari
ini.
Jika
kita hendak meneliti berbagai persoalan yang diperselisihkan kelompok itu dan
membandingkannya dengan pandangan jumhur ulama, Syekh al-Buthy mengajak pembaca
untuk mencermati dalil, kelurusan, dan kekuatannya berdasarkan dalil dan bukti
yang jelas. Beliau juga berharap para pembaca tidak perlu tunduk pada segala
yang memantapkan pikiran dan akalnya sendiri tanpa disertai sikap fanatis.
Perbedaan
pendapat tidak akan berbahaya jika masing-masing memiliki dalil yang logis
tentangnya. Namun, bila sikap masing-masing terhadap pendapatnya berubah
menjadi fanatis, ini sangat berbahaya.
Syekh
al-Buthy memohon semoga Allah Swt. menghimpun kita di atas kebenaran, menunjuki
kita ke jalan yang benar, dan menjadikan seluruh amal kita ikhlas karena-Nya.
Sungguh Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa. Aamiin.
Muhammad Sa‘id bin Mula Ramadhan Al-Buthy
Damaskus
17 Jumadil Ula 1388/10 Agustus 1968
Dikutip dari buku The Great Episodes of Muhammad saw.
karangan Syekh Muhammad Sa’id Ramadhan al-Buthy, Ulama Mufti Sunni Damaskus,
Suriah.
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) buku The Great Episodes
of Muhammad saw pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar