Semua
orang membutuhkan hukum, terutama bagi muslim, yang memiliki hukum lengkap dari
segala aspek kehidupan. Hukum yang dipegang oleh muslim tentunya hukum Islam
yang bersumber dari Al Quran dan hadis, juga sumber-sumber lainnya. Namun pokok
permasalahannya, tidak semua orang mengerti hukum. Ada banyak orang awam yang
tidak mengerti ilmu agama, sehingga membutuhkan orang lain untuk menjawab
persoalan yang ada di kehidupannya. Biasanya ia akan datang kepada seorang
pemberi fatwa yang disebut mufti, sementara ia yang meminta fatwa disebut
mustafti.
Imam
Nawawi menulis kitab khusus yang membahas tentang tema ini dan diberi judul Adabul
Fatwa wal Mufti wal Mustafti (Etika Fatwa, Pemberi Fatwa, dan Peminta
Fatwa).
Berikut adalah beberapa ringkasan dari adab mufti ketika memberikan
fatwa.
Pertama, Mufti
wajib menjelaskan jawaban sampai tidak ada isykal (kesamaran). Ia juga
boleh mencukupkan menjawab di mulut saja, dan meminta bantuan penerjemah yang
dapat dipercaya jika bahasanya tidak dipahami oleh mustafti. Jika
pertanyaannya banyak, maka mufti hendaknya menjawab sesuai dengan urutan soal.
Namun, apabila tidak urut juga tidak masalah. Jika soalnya tasfil
(rinci), maka tidak boleh menjawab dengan jawaban mutlak.
Kedua, Mufti
tidak boleh menulis sesuai dengan apa yang diketahuinya saja, jika kasus
mempunyai celah atau model lain. Maka, mufti bisa berkata, “jika kasusnya
begini, maka begini.”
Ketiga, Jika
mustafti sulit untuk memahami, maka mufti harus bersikap ramah, bersabar untuk
memahami persoalannya dan memahamkan jawaban. Sungguh demikian merupakan pahala
yang besar bagi mufti.
Keempat, Hendaknya
mufti merenungkan pertanyaan dengan perenungan yang dalam, lebih-lebih pada
akhir pertanyaan. Karena kunci pertanyaan ada pada akhirnya. Apabila
ditemukan kata yang samar, maka mufti hendak bertanya pada mustafti lalu
memberikan titik dan mengharakati. Apabila ditemukan pengucapan yang salah yang
bisa mengubah makna, maka mufti harus membenarkannya.
Kelima, Dianjurkan
membacakannya kepada seluruh hadirin yang ahli, lalu bermusyawarah dan
membahasnya dengan tenang dan moderat, sekalipun mereka levelnya ada di bawah
mufti (yaitu murid-muridnya). Hal ini merupakan kebiasaan orang salaf. Selain
itu, juga bisa membantu menemukan jawaban atas masalah yang belum jelas.
Kecuali, jika masalah tersebut tidak baik untuk diumumkan, membuat yang
bertanya menjadi malu, atau menyebabkan mafsadah jika dipublikasi.
Keenam, Mufti
menulis dengan tulisan yang jelas dan normal, tidak ada yang terlalu tipis,
tidak ada yang terlalu tebal. Mufti juga menulis dengan renggang baris yang
sama. Kalimat yang ditulisnya harus jelas, benar susunannya, dan memahamkan
khalayak ramai. Dan sebagian ulama menganjurkan untuk tidak mengganti pulpen
atau model tulisan karena menghindari pemalsuan. Saat menulis jawaban, mufti
membacanya lagi, barangkali ada celah di dalamnya.
Ketujuh, Jika
ia mubtadi (masih awal), maka adatnya ia menulis dari kertas bagian
kiri. As-Shoimari berkata, “jika ia mau menulis di bagian tengah atau di bagian
hasyiyah, maka tidak apa-apa. Dan tidak boleh menulis di atas basmalah. Dan
seyogyanya berdoa sebelum memberikan fatwa.” Diceritakan bahwa Makhul
dan Malik rahimahumallah tidak akan memberi fatwa sampai mereka
mengucapkan laa haula walaa quwwata illaa billaah. Disunnahkan membaca ta’awudz, basmalah, hamdalah, juga shalawat. Selain mengucapkannya,
juga menuliskannya. Dan di akhir tulisan, diakhiri dengan ‘wabillahit taufiq’,
‘wallahu a’alam’, atau ‘wallahul muwaffiq’. Boleh juga menggunakan kalimat
‘menurut saya’, ‘pendapat saya adalah’, dll.
Kedelapan, Hendaknya
mufti meringkas (menyimpulkan) jawabannya supaya dapat dipahami semua orang.
Hukum yang sedang dibahas itu boleh atau tidak, halal atau haram.
Kesembilan, Apabila
ada orang yang berkata, “aku lebih benar daripada Muhammad bin Abdullah” atau
“sholat itu permainan”, maka jangan buru-buru memvonis orang itu halal darahnya
atau wajib dibunuh. Akan tetapi, perlu dipastikan bahwa itu benar-benar perkataannya,
dengan ikrar atau bukti. Jika memang benar, maka diserahkan kepada sulthon
(yang berwenang) untuk diproses sesuai ketentuan.
Kesepuluh, Sebaiknya
apabila kertas untuk menjawab sudah penuh, jangan pindah ke kertas lain, tetapi
mengisi bagian kosong di baris terakhir. Apabila kertasnya ialah kertas
sambungan, maka menulis di sambungannya itu. Jika satu sisi sudah habis, bisa
dilanjutkan ke balik kertas dan ditulis dari atas.
Dikutip
dari Hilmi Abdillah dari Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti karya Imam
Muhyiddin Abu Zakariya Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam
tebuireng.online.
Agar
Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring
(offline) pdf Kitab Adabul Fatwa wal Mufti wal Mustafti pada link di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar