Pages

Senin, 30 Maret 2020

War Against Terorism in The Era of Disrupstion

Sumber gambar: psbhfhunila.org


Fenomena Teror

Teror (Arab: irhab) beberapa waktu belakangan menjadi kosa kata yang sangat populer, bahkan secara sporadis menjadi sangat berpengaruh terhadap stabilitas keamanan di berbagai belahan dunia. Kata ini secara pasti juga memasuki berbagai ranah kehidupan politik, ekonomi, kebudayaan bahkan menyentuh wilayah agama. Tanpa pandang bulu, kata ini juga popular di Indonesia dan menyita perhatian negara untuk mengatasinya. Sejalan dengan teror berkembang pula beberapa istilah yang diderivasi dari kata tersebut yaitu teroris, terorisme dan yang spektakuler perang melawan terorisme (war against terrorism). Peristilahan tersebut bukanlah kata yang muncul dalam ruang kosong dan tanpa tujuan yang jelas. Tetapi setiap peristilahan itu justru membawa konsekwensi yang besar bahkan mempengaruhi tatanan kehidupan manusia dan juga tatanan dunia. Perkembangan kata teror semakin menguat terutama setelah terjadinya serangan terhadap menara kembar Word Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat (AS) pada tanggal 11 September 2001. Peristiwa serangan disebut teror dan pelakunya dituduh sebagai teroris dan spirit penyerangan tersebut disebut terorisme. Setelah serangan tersebut Presiden Amerika Serikat George W Bush menabuh genderang perang melawan terorisme (War against Terrorism).

Fenomena ini menjadi menarik diperbincangkan terutama ketika ada upaya menjadikan peristiwa peledakan gedung kembar World Trade Center (WTC) pada 11 September 2001  sebagai kejadian yang menyemangati berbagai elemen gerakan radikal untuk melakukan aksi serupa di berbagai penjuru dunia.

Peristiwa 11 September 2001 bukanlah peristiwa biasa. Mathias Bröckers, seorang investigator, wartawan dan penulis buku asal Jerman dalam bukunya Konspirasi 9.11 menyatakan:

”Peristiwa penyerangan terhadap WTC merupakan kejadian millenium yang masih akan menyibukkan beberapa generasi sejarawan dan peneliti. Dari hari ke hari, saya semakin percaya kejadian itu bukanlah tindakan teror ”biasa”. Apakah benar ada sebuah motif dibalik tragedi fantastik itu, sebuah malapetaka yang direkayasa seperti Pearl Harbor...”

Menggarisbawahi pernyataan Bröcker tersebut, peristiwa 11 September 2001 tidak saja menyibukkan sejarawan dan peneliti, tetapi lebih dahsyat dari itu juga menyibukkan banyak negara yang dilanda gelombang kekerasan dan aksi pemboman yang disinyalir terkait erat kelompok teroris yang menyerang gedung WTC.

Benar saja, peristiwa tersebut  menjadi membesar karena ”efek ledakan” itu terasa ke berbagai penjuru dunia, apalagi saat tuduhan diarahkan kepada umat Islam. Meskipun secara tegas Amerika Serikat mengarahkan tuduhan kepada jaringan Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, tetapi berbagai gerakan radikal serupa di berbagai negara dikaitkan atau divonis sebagai bagian dari aksi-aksi Al-Qaeda. Dalam hal ini, peristiwa 11 September 2001 dapat disebut sebagai titik pemicu (trigger point) ketegangan antara Amerika dengan kelompok Islam. Pada akhirnya peristiwa 11 September 2001 itu sendiri mengalami “internasionalisasi” dalam bentuk perang global terhadap terorisme.

Peristiwa 11 September 2001 di Amerika Serikat itu diikuti penyerbuan Afghanistan dan perang melawan terorisme oleh AS dan sekutu-sekutunya. Demikian pula semua aksi kekerasan yang dilakukan di berbagai penjuru dunia termasuk di Indonesia telah menjadi persoalan internasional dalam bentuk agenda perang terhadap terorisme global. Agenda ini telah ikut menyeret Indonesia pada lingkaran perang melawan terorisme.

Sesungguhnya, aksi teror (terutama dalam bentuk peledakan bom) bukanlah hal yang baru di Indonesia. Meskipun berat untuk diungkapkan, namun peristiwa 11 September 2001 dapat disebut sebagai babak baru aksi terorisme di Indonesia pasca Orde Baru. Jika dirunut ke belakang, dalam kurun 1984 (peledakan gedung BCA Pacenongan, Glodok dan Gajah Mada di Jakarta yang menyeret beberapa tokoh Petisi 50) hingga 2001 setidaknya telah terjadi sekitar 21 kali serangan teroris di Indonesia.4 Bahkan Imparsial, lembaga pemantau HAM Indonesia mencatat sejak 11 November 1976 (teror bom terhadap Masjid Nurul Iman Padang yang dituduhkan kepada Kelompok Komando Jihad), tidak kurang dari 49 kali aksi pengeboman menimpa beberapa wilayah Indonesia hingga aksi Bom Bali I.

Setelah aksi Bom Bali I, Imparsial juga mencatat tidak kurang dari 48 kali aksi pengeboman menimpa beberapa wilayah Indonesia.6 Di antaranya aksi peledakan bom di Legian Kuta Bali (12 Oktober 2002) yang dikenal dengan Bom Bali I, aksi bom bunuh diri (suicide bombing) terhadap hotel JW Mariott Jakarta (5 Agustus 2003), pengeboman Kedutaan Besar Australia di Kuningan Jakarta yang dikenal dengan Bom Kuningan (9 September 2004), Bom Bali II yang menghancurkan Raja’s Bar Kuta Square dan Nyoman Kafe Jimbaran Bali (1 Oktober 2005) dan yang mutakhir aksi pengeboman Hotel JW Mariott dan Hotel Ritz Carlton (17 Juli 2009) yang dilakukan oleh jaringan Noordin M. Top yang didakwa keras berafiliasi dengan Jama’ah Islamiyah (JI), sayap Al-Qaeda di Asia Tenggara. 

Dalam kasus Indonesia, pemerintah Indonesia telah mengambil tindakan terhadap pelaku pengeboman di tanah air. Banyak pihak melihat tindakan pemerintah ini sebagai respon positif sekaligus momentum yang tepat menghadapi aksi kekerasan, kejahatan dan teror (kriminal) di Indonesia yang sudah berlangsung lama. Tetapi ada juga yang curiga, tindakan ini sebagai bagian dari agenda terselubung (hidden agenda) dalam perang melawan terorisme global yang dimotori Amerika serikat (AS).

Namun di balik gencarnya pelaksanaan agenda perang melawan terorisme sikap pemerintah Indonesia terkesan berubah terutama terhadap beberapa komunitas gerakan Islam. Perubahan sikap ini diduga kuat akibat ditemukannya fakta lapangan bahwa ternyata pelaku pengeboman itu berasal dari kalangan Islam atau setidak-tidaknya dilakukan oleh orang beragama Islam. Di samping itu sulit dipungkiri bahwa konstalasi politik internasional mengalami perubahan setelah kejadian tersebut.

Misalnya, setelah peristiwa 11 September 2001 tersebut muncul berbagai bentuk respon negara (pemerintah) terkait perang melawan terorisme seperti dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 dan nomor 2 tahun 2002 tentang Antiterorisme, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, usulan pengambilan sidik jari santri di beberapa pesantren, pembentukan halaqah kebangsaan dan pembentukan Gugus Anti Teror di Departemen Agama serta RUU Nomor 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Internasional Pemberantasan Pendanaan Terorisme, 1999 (The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999). Tetapi beberapa kebijakan tersebut terkesan diskriminatif dan cendrung memojokkan kelompok tertentu terutama dari kalangan Islam.

Terorisme memang harus dilawan karena merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) dengan cara yang sangat kejam. Nurcholish Madjid menyatakan kejahatan teror merupakan pelanggaran terhadap kesucian hak manusia yang paling asasi dan paling universal. Al Qur’an bahkan menegaskan barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.

Kebijakan negara dapat dilihat dari produk hukum yang memayungi kebijakan tersebut. Ringkasnya, tugas negara adalah membuat hukum dan mengaplikasikannya. Dari segi hukum, tindakan yang diambil pemerintah Indonesia terhadap pelaku teror dapat dipahami sebagai prosedur standar mengatasi aksi kriminalisme. Namun, penting juga dikaji secara mendalam bagaimana latar belakang dan asal usul historis kelahiran sebuah kebijakan agar terhindar dari prasangka yang negatif terhadap kebijakan tersebut.

Prasangka negatif terhadap terhadap setiap kebijakan sangat lazim terjadi. Prasangka negatif ini lambat laun berubah menjadi sebuah pencitraan yang tak menguntungkan terhadap Islam dan umat Islam Indonesia. Apalagi secara umum Islam di berbagai negara di dunia sering berhadapan dengan persoalan pencitraan yang mempengaruhi pandangan subyektif oleh pada umumnya bangsa barat. Misalnya, menurut subyektifitas barat, negeri-negeri muslim  dikelompokkan ke dalam dua kategori; ”moderat” dan ”radikal”. Dua negara kelompok moderat yang paling disukai adalah Mesir dan Saudi Arabia. Tetapi setelah peristiwa 11 September 2001 sebutan moderat ini diragukan karena kebanyakan pembajak pesawat yang menabrakkan pesawat ke gedung World Trade Center New York justru berasal kedua negara tersebut. Apalagi kedua negara tersebut minus dalam demokrasi dan transparansi sipil.

Pencitraan yang berangkat dari sebuah produk kebijakan yang notabene sebagai produk hukum merupakan persoalan serius dalam sejarah. Dalam pandangan Gadamer, sejarawan yang berusaha memahami sebuah hukum dengan mengacu pada situasi asal usul historisnya tidak dapat mengabaikan perkembangan yuridisnya. Ia akan cendrung menyediakan baginya pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan diri pada tradisi historis. Tidak cukup sampai di situ, Josef Bleicher menyatakan ”aplikasi hukum menuntut sebuah interpretasi yang dikaitkan dengan masa kini dan masyarakat kontemporer.” Oleh sebab itu dianggap penting untuk mengkaji kembali perspektif kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh pemerintah Indonesia dalam menangani kasus-kasus terorisme sebagaimana dipaparkan di atas melalui pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendalami kebijakan tersebut dan dampaknya terhadap citra Islam Indonesia.

Dikutip dari Perang Melawan Terorisme; Islam Indonesia Pasca peristiwa WTC 2001.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf Perang Melawan Terorisme; Islam Indonesia Pasca peristiwa WTC 2001 tersebut pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer