Pages

Senin, 16 Maret 2020

Ibnu Fadhlan dan Narasi Ekspedisi dari Bahgdad sampai Eropa Utara Abad ke-10

Sumber gambar: inilah.com


Mukaddimah

Pada musim panas tahun 1951, saya mengunjungi guruku, pemimpin yang mulia, Muhammad Kurdi Ali, di Damaskus. Saat itu, beliau tengah sibuk membolak-balik beberapa majalah dari sebuah lembaga ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari majalah itu dan membaca beberapa artikel yang ditulis oleh para orientalis dan cendekiawan Arab tanpa melewatkan satu halaman pun. Beliau kemudian memberiku sebuah majalah Hongaria yang diterbitkan di kota Budapest bulan lalu. Di dalamnya ada sebuah artikel dalam bahasa Jerman tentang perjalanan Ibnu Fadhlan yang ditulis oleh seorang orientalis dengan mendasarkan pada catatan perjalanan tersebut yang telah tersebar dan diterjemahkan, memberikan koreksi dalam beberapa aspeknya, dan menyuguhkan keterangan- keterangan baru yang dirujuk dari teks asli dalam bahasa Arab tentang perjalanan itu serta foto-foto/ gambar yang menguatkan catatan tersebut.

Saya membolak-balik majalah itu dan menyerahkannya lagi kepada guruku (aim). Namun saya tidak mampu memahami maksud tersembunyi yang diberikannya artikel tersebut kepadaku. Beliau kemudian memberitahuku tentang pentingnya tulisan ini, perlunya para cendekia Arab untuk membaca, memahami, dan mengurai intisari dari catatan perjalanan itu, serta memandang besar temuan ini dalam peradaban mereka. Catatan ini mampu memberikan gambaran tentang negara Rusia, Bulgaria, dan Turki pada abad ke-10 Masehi dengan suatu gambaran yang mungkin hanya ditemukan dalam sumber ini. Bangsa Rusia sendiri telah merujuk pada catatan ini, membaca, mengkaji, mengembangkan dan menerjemahkannya sejak seratus tahun yang lalu. Mereka menjadikan catatan perjalanan Ibnu Fadhlan itu sebagai sumber mereka yang berharga; sebagai sebuah referensi pokok yang tidak tergantikan.

Sejak beberapa tahun ini, bangsa Rusia selalu merujuk pada catatan perjalanan Ibnu Fadhlan dalam berbagai artikel dan kajian mereka untuk menambah pemahaman dan pengetahuan tentang hal ini. Di mana dalam catatan ini tercantum nama-nama benda, tokoh, jenis pakaian, jenis makanan, adat kebiasaan, dan tradisi yang berbagai simbol dan petunjuknya mampu mengungkap hal-hal baru tatkala orientalis mengkajinya secara seksama di dalam membaca teks, menelaah hal-hal yang samar/ tersembunyi dan mengurai hal-hal yang muskil di dalamnya.

Catatan ini mampu memberikan gambaran tentang negara Rusia, Bulgaria, dan Turki pada abad ke-10 Masehi dengan suatu gambaran yang mungkin hanya ditemukan dalam sumber ini.

Sebagian kajian dan artikel ini telah sampai kepada kami dan sebagian yang lain hilang di tengah jalan. Mayoritas orang Arab tidak mengetahui apa yang ada dibalik harta terpendam ini. Mereka tidak memposisikan karya ini sebagai peninggalan dalam bidang sastra abad ke-4 Hijriyah, bahkan dalam kesusastraan kita secara umum. Hal ini karena bagian- bagian catatan perjalanan ini diterbitkan dan diterjemahkan di dunia Barat namun cetakannya tidak sampai di lemari buku kita, bangsa Arab secara umum, apalagi di dalam lemari buku pribadinya. Ketidaktahuan ini membuat bangsa Arab tidak bisa melihat sebuah sinar di dalam dunia kita. Dan hal ini merupakan sesuatu yang tidak lazim.

Dari hal inilah, Muhammad Kurdi Ali menganjurkan kepadaku untuk mencurahkan perhatiannya dengan mempelajari catatan perjalanan ini secara tuntas, mengkajinya dan memberikan keterangan atas karya itu. Saya sangat bahagia atas kepercayaan ini. Saya mengira perkara ini sebagai hal yang mudah dan ringan. Saya kemudian pulang dari rumah beliau dengan memperoleh keuntungan yang besar seolah-olah saya akan pulang selamanya.

Ketika saya menerima gambar-gambar tersebut, saya membacanya dan memperhatikan gaya bahasanya secara seksama. Butuh waktu yang lama untuk memahaminya dan saya mengalami kesulitan untuk mengungkap maksud yang dikehendaki catatan tersebut. Setelah berulang kali membacanya, saya frustasi dalam mencoba untuk memahami dan mengungkapnya. Dari sini saya kemudian bisa memahami alasan keengganan penerbit Arab untuk menelitinya.

Buku catatan perjalanan Ibnu Fadhlan ini merupakan manuskrip/ naskah tunggal dan satu-satunya yang disusun dengan sangat rumit, banyak penjelasanya yang terpotong dan dipenuhi dengan nama-nama baju, nama-nama tokoh, dan wilayah. Seolah-olah setiap kata yang ada dalam buku tersebut merupakan sumber kebingungan dan keraguan yang membutuhkan kajian dan pembuktian yang seksama. Hampir saja saya menyerah untuk menelitinya kalau saja Nikita Elieseeff — teman orientalisku yang menguasai bahasa Rusia —tidak menunjukkan kepadaku beberapa referensi dalam bahasa Rusia dan Jerman yang berkaitan dengan catatan Ibnu Fadhlan ini. la mendorong agar meneruskan usaha dalam meneliti catatan ini, di mana ia sendiri pernah mengkajinya sebagai bahan kajian doktoralnya dan menggantungkan harapan kepadaku untuk mengungkapnya secara tuntas dengan harapan agar ia bisa mencurahkan perhatiannya untuk hal yang lain.

Setelah peristiwa itu, saya bertemu dengan Dunlop, seorang orientalis asal Inggris. Kami berbincang-bincang mengenai buku catatan ini. Ternyata, ia juga memiliki ketertarikan tentang hal ini dan telah mengungkap sebagian keterangan yang ada dalam buku catatan tersebut. Dia memberiku sebuah artikel yang membahas sebagian hal yang diungkap oleh buku Risalah Ibnu Fadhlan khususnya yang terkait dengan suku-suku di Turki. Saya merujuk pada artikel tersebut dan memperoleh keterangan yang berharga. Akan tetapi bersamaan dengan terpecahkan satu masalah ini, tidak henti-hentinya muncul hal-hal samar lain yang susah dipecahkan.

Pada tahun 1954, ketika saya berkunjung ke Universitas Harvard, professor Dischard Lafrey menunjukkan sebuah tulisan yang ia kerjakan bersama sahabatnya yang bernama professor Blake. Tulisan ini merupakan sebuah kajian tentang satu hal yang ada di catatan Ibnu Fadhlan, khususnya koreksi sebagian kata-kata yang ada di lembaran-lembaran catatan tersebut. Di tahun yang sama, professor Kholil Mirdam Beik — pimpinan lembaga tinggi—menemuiku dan menunjukku sebagai utusan akademik ke Uni Soviet untuk menjadi anggota lembaga ilmu pengetahuan di sana. Hal pertama yang saya inginkan di sana adalah mendapat salinan asli catatan perjalanan Ibnu Fadhlan yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia serta penelitian- penelitian yang terkait dengannya. Saya sangat berterima kasih kepada professor Baeliev yang mengizinkanku untuk mendapatkannya. Di dalam salinan ini ada gambaran yang sangat jelas tentang catatan Ibnu Fadhlan. Sedang penelitian-penelitian tentang catatan ini menjadi petunjuk dan tuntunan bagiku.

Sejak saat itu, saya bergelut dengan catatan ini. Saya baca tulisannya yang rumit dan ungkapannya yang tidak lengkap. Kemudian saya membandingkannya dengan apa yang telah disalin oleh Yaqut al-Hamawi dan naskah-naskah lain yang telah dibuat oleh para ahli ilmu Geografi dari kalangan orang Arab.

Akhirnya selesai juga pekerjaan ini meski saya masih ragu di dalam sebagian ungkapan yang ada dalam catatan tersebut. Jika terselip kekeliruan dalam karya ini, semoga Allah meluruskan kekeliruanku dan jika saya benar dalam sebagian keterangannya maka hal yang harus kita maklumi sebagai orang yang beriman atas ketidakmampuan kita dalam mengapai kesempurnaan. Orang pertama yang paling berkontribusi dalam proyek ini adalah alm. Professor Muhammad Kurdi Ali, orang pertama dari dunia Arab yang memelopori pengungkapan dan pemublikasian catatan perjalanan Ibnu Fadhlan. Begitu juga pimpinan lembaga tinggi pendidikan, professor Khalil Mirdam Beik. Beliau merupakan penerus terbaik dari sebaik-baiknya generasi salaf, yang memiliki perhatian besar di dunia penulisan sebagaimana golongan salaf Tak lupa kepada lembaga ilmu pengetahuan yang beliau pimpin yang menfasilitasi penerbitan karya ini. Sungguh kami ucapkan terima kasih.

Segala puji bagi Allah yang telah memberikan pertolongan-Nya sehingga penelitian ini dapat selesai dan dipersembahkan dalam bentuk seperti ini. Segala syukur dan doa kami panjatkan kepada Allah di permulaan dan di akhir.

Rihlah Ibn Fadhlan

Semenjak kemunculannya, tampaknya masyarakat Arab secara alami terlahir sebagai bangsa yang gemar melakukan perjalanan. Sejarah telah menunjukkan adanya kisah-kisah perjalanan dan penjelajahan mereka, baik dalam rangka mencari rezeki, perdagangan, maupun ilmu pengetahuan. Banyak dari mereka yang berkelana ke daerah rawa-rawa dan daerah tandus yang sangat jauh hingga sampai ujung wilayah Syam dan Habasyah. Para pemudanya terbiasa berpergian ke daerah pedalaman, seolah mereka tidak memiliki tempat untuk tinggal atau menetap dan lebih memilih untuk menikmati sulitnya hidup berpindah-pindah dan mengembara. Perjalanan ini ada yang bersifat perseorangan dan ada yang dilakukan kabilah-kabilah. Disebutkan dalam syair-syair Arab bahwa para penyair terbiasa melakukan perjalanan ke negara-negara tetangga seperti Damaskus dan Romawi. Imru’ al-Qais — seorang penyair Arab abad ke-6 M—mengisahkan bahwa ia melakukan perjalanan ke Konstantinopel yang ia sebut dengan kota Ankara. Bagi kabilah Quraish sendiri, setiap tahunnya mereka melakukan dua perjalanan, satu perjalanan dilakukan di musim dingin dan satunya lagi dilakukan di musim panas.

Ketika Islam datang, Bangsa arab segera menyebar ke luar jazirah Arab. Dalam waktu sekejap mereka telah tersebar dari ujung timur hingga ujung barat. Mereka akhirnya mengetahui bahwa ada negara-negara yang memiliki nilai peradaban tinggi. Nilai-nilai tersebut kemudian diserap oleh bangsa Arab dan diterapkan dalam hidup, cara hidup, dan cara berpakaian mereka. Sampai pada satu titik, bangsa Arab memiliki peradaban luhur yang terus dikembangkan dan dijaga sedangkan bangsa-bangsa lainnya mengalami kemunduran dan tidak lagi memiliki gairah untuk mengembangkan budaya mereka. Jadilah bangsa Arab sebagai satu-satunya mercusuar peradaban dan sumber yang cahayanya menyinari bangsa-bangsa yang ada pada masa suram kemundurannya.

Pada awal abad ke-8 M, bangsa Arab telah menguasai wilayah yang sangat luas dibawah kekaisaran yang besar. Batas wilayahnya mencakup India di sisi timur dan membentang sampai laut Atlantik di sisi barat, gunung Kaukus di sisi utara dan gurun Afrika di bagian selatan.

Pemerintahan kekaisaran ini menetapkan banyak hal, di antaranya penarikan upeti dan pajak. Para pembesar wilayah menyerahkan harta kepada khalifah Daulah Abbasiyyah baik berupa jaminan, perdamaian, maupun hadiah untuk kerajaan. Sebagian besar uang ini digunakan untuk menjalankan roda pemerintahan, memperkuat kesultanan, dan untuk menjaga kehormatan serta entitas negara. Hal paling penting untuk diketahui oleh hakim dalam menentukan jumlah pajak dan harta ini adalah dengan melihat kondisi jalan dan kemakmuran wilayah itu, termasuk wilayah kota atau perbatasan. Ketika itu banyak tokoh yang mencurahkan sebagian besar waktunya untuk melakukan perjalanan guna menghimpun informasi dan berita tentang pengidentifikasian wilayah ini sehingga berkembanglah berbagai catan perjalanan dan catatan-catatan geografis dalam bentuk yang mirip dengan yang disusun oleh orang-orang Yunani.

Sejak abad ke-3 H, banyak lahir karangan tentang rute- rute jalan dan wilayah kekuasaan. Mereka membuat buku tentang batas-batas dan pembagian wilayah, gambaran kota-kota, gunung-gunung, dan sungai-sungai. Tokoh-tokoh seperti Al-Kindi, Ibnu Khardzabah, Qudamah bin Ja’far, Al- Yaquti, Ibnu Faqih Al-Hamdani, Ibnu Rusyd, Ibnu Hauqal, dan Al-Istakhary membuat buku yang memberi gambaran tentang negara-negara di daerah timur hingga barat, mulai negara Cina sampai wilayah Andalusia, Spanyol. Di dalam buku-buku tersebut, disebutkan kondisi bangsa-bangsa beserta tradisi dan kepercayaan mereka. Digambarkan pula keadaan negara-negara, jalan-jalannya, hasil buminya, dan pajak yang dibebankan kepada mereka. Sebagian dari mereka sangat teliti dan hati-hati dalam menulis apa yang mereka lihat dan dengar, sedangkan sebagian yang lain menuliskan semua yang mereka dengar bahkan yang hampir-hampir tidak masuk akal. Namun secara umum, mereka telah memberi sebuah gambaran yang telah diperbincangkan dalam berbagai perkumpulan ilmiah pada masa itu yang terkait dengan pendapat, informasi, dan khabar. Dalam beberapa hal, bahkan terkadang kami meragukan apa yang mereka sampaikan.

Setelah lebih dari sepuluh abad berlalu, kita memiliki referensi yang melimpah yang tidak mungkin didapatkan pada masa itu. Sketsa, pembagian wilayah, peta, dan gambar- gambar menjadi objek pembahasan ilmiah dengan standar yang tinggi. Kini melakukan perjalanan, pengembaraan, dan kunjungan lebih mudah dilakukan olah manusia. Namun, selamanya keutamaan tetap akan berada pada para perintis zaman dahulu mengingat sarana, transportasi, dan jalan yang ada pada masa itu jauh lebih sulit dibandingkan dengan masa sekarang.

Kenyataannya, sebagian penulis tersebut menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri dan mengetahui secara pasti apa yang mereka sampaikan. Ibnu Khardzabah contohnya, ia bekerja sebagai tukang pos dan informan pada pertengahan abad ke-3 H di daerah perbukitan di wilayah Persia. Al-Miqdasy menceritakan bahwa dirinya melakukan perjalanan pengembaraan yang menghabiskan dana lebih dari sepuluh ribu dirham. Ibnu Hauqal berkata bahwa dirinya menyaksikan sendiri setiap apa yang ia tulis kecuali gurun al-Kubra. Al-Miqdasy dan Ibnu Hauqal adalah tokoh yang banyak dijadikan rujukan oleh para ahli ilmu geografi.

Saya amati, buku-buku ini mampu menguraikan dengan jelas gambaran kondisi bangsa-bangsa beserta tradisi dan cara berpakaiannya. Suatu pengambaran yang seolah-olah bisa kita lihat sendiri kejadiannya, tidak terlalu sederhana namun juga tidak bersifat parsial. Barangkali hal tersebut dilakukan karena laporan ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan utama dalam menentukan pajak dan permodalan oleh kekhalifahan di ibukota. Kekaisaran Arab ini mulai kehilangan kesatuannya pada pertengahan abad ke-2 H. Ikatan keagamaan dan budaya menjadi satu-satunya pemersatu wilayah yang luas tersebut dan mempersatukan setiap ujung-ujungnya. Pada masa itu,perjalanan perdagangan menjadi penyangga perekonomian. Orang-orang Islam pergi ke berbagai negara dengan membawa barang dagangan dan membawa pulang komoditas tertentu. Mereka menjelajah sampai laut Cina, Baltik, Andalusia, Atlantik, dan sekitar semenanjung India. Di kerajaan-kerajaan tersebut, mereka meninggalkan peninggalan berupa mata uang dan jejak-jejak lainnya yang di kemudian hari diungkap oleh para peneliti sebagai peninggalan para pedagang tersebut.

Al-Miqdasy menyebutkan dalam bukunya bahwa orang- orang Islam banyak mendatangkan barang dagangan dari Rusia selatan dan negara-negara Eropa utara. Di antaranya kulit, bulu, lilin, songkok/ baret, madu dan pedang. Disebutkan pula bahwa mereka hendak mendatangkan budak dari kawasan Saqalibah. Kawasan ini dalam istilah mereka mencakup Slavia, Jerman, dan beberapa daerah Eropa lainnya. Komoditas paling penting yang mereka bawa ke daerah pedalaman adalah berbagai macam tekstil, artefak dan buah-buahan.

Perjalanan-perjalanan tersebut merupakan perjalanan perdagangan dan merupakan upaya perorangan. Pihak kerajaan juga mengutus para delegasinya ke berbagai daerah dan kerajaan dengan membawa misi-misi tertentu. Ada kalanya dengan tujuan politis, kebudayaan, keagamaan, perdagangan, atau pengintaian semata. Di antaranya adalah Bi’thah Baryah yang diutus oleh khalifah Al-Watsiq Billah (227 H - 232 H ) untuk menghalau para pengacau sekitar pertengahan abad ke-3 H. Pengutusan ini diabadikan oleh Yaqut al-Hamawi dalam bukunya yang berjudul Sallam al-Turjuman. Sebuah buku bagus yang bisa dijadikan rujukan dan hiburan langka untuk memahami pola pikir para pengembara pada zaman itu. Begitu juga delegasi yang dikirim ke Cina saat adanya perselisihan antara orang-orang Saman dengan raja Cina. Perjalanan ini dideskripsikan dengan detail oleh Abu Dalf. Para delegasi resmi yang diutus untuk memata-matai ini terdiri dari laki-laki dan perempuan dan bertugas untuk mengumpulkan informasi. Ibnu Hauqal menceritakan bahwa Khalifah Harun al-Rayid mengirim seorang laki-laki untuk mengorek informasi dinegara Romawi selama 20 tahun. Utusan tersebut dimintai keterangan tentang hal-hal luar biasa yang ada di negara Romawi.

Di dalam mukadimah ini saya tidak bermaksud untuk menyelidiki informasi para pengembara Muslim, nama-nama utusan resmi abad ke-3 dan ke-4 hijriyah, mendeskripsikan apa yang mereka alami, dan buku apa yang mereka wariskan karena uraian hal itu terlalu luas/ umum. Namun saya ingin memulai perbincangan tentang perjalanan ini, memaparkan arti penting perjalanan ini, mencatat khalifah yang berkuasa, dan membahas Ibnu Fadhlan beserta perjalanannya.

Dikutip dari Mukaddimah dan Bab 1 “Risalah Ibnu Fadhlan: Narasi Ekspedisi dari Bahgdad Sampai Eropa Utara Abad ke-10”.

Agar pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan versi luring (offline) “Risalah Ibnu Fadhlan: Narasi Ekspedisi dari Bahgdad Sampai Eropa Utara Abad ke-10” pdf di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer