Pages

Senin, 09 Maret 2020

Hadirkan Simfoni, Damailah Negeri

Sumber gambar: benflintmusic.com

Teori dan Metode Kajian Islam Transitif

Bangunan Teoritis

Rudyard Kipling (1865-1936), seorang penyair berkebangsaan Inggris, dalam The Ballad of East and West mengatakan: “Oh, East is East and West is West, and never the twain shall meet, Till Earth and Sky stand presently at God’s great Judgment seat: But there is neither East nor West, Border, nor Breed, nor Birth, When two strong men stand face to face, though they come from the ends of the Earth!” (Oh, Timur adalah Timur, dan Barat adalah Barat, dan tidak akan pernah kedua saudara kembar itu bertemu, sampai bumi dan langit berdiri saat ini di Kursi Penghakiman Allah Yang Besar; tapi tidak ada Timur atau Barat, perbatasan, atau berkembang biak, atau kelahiran. Ketika dua orang kuat berdiri berhadap-hadapan, meskipun mereka datang dari ujung bumi).

Frasa bebasnya adalah “Oh (masyarakat) Timur adalah (tetap menjadi masyarakat) Timur dan (masyarakat) Barat tetap (menjadi masyarakat) Barat dan kedua (masyarakat yang diibaratkan seperti) saudara kembar tersebut tidak akan pernah bertemu.”

Dalam arti yang lebih luas, dapat dikatakan bahwa masyarakat Timur dengan segala cara pandang kehidupan mereka ialah tetap menjadi masyarakat Timur dan demikian juga sebaliknya bagi masyarakat Barat dengan segala bentuk dan karakternya adalah tetap menjadi masyarakat Barat sehingga kedua bentuk cara pandang kehidupan tersebut tidak akan pernah dapat bernegoisasi ataupun berkolaborasi.

Ungkapan kepedihan batin yang dirasakan oleh Rudyard Kipling tentang adanya separasi dua kutub pemikiran, budaya dan peradaban yang cenderung dikotomis sekaligus antagonis memunculkan pertanyaan apakah memang benar bahwa Timur dan Barat yang diibaratkannya seperti saudara kembar tersebut memang tidak akan pernah bertemu, bersatu ataupun berkolaborasi?

Saya berasumsi bahwa konsep Timur dan Barat yang dikemukakan oleh Rudyard Kipling bukanlah dalam arti teritorial, akan tetapi kelihatannya lebih pada persoalan budaya, cara pandang (weltanschauung dalam bahasa Jerman atau bisa juga disebut minhaj dalam bahasa Arab sebagaimana termaktub dalam Q.S. al-Maidah ayat 48), pemikiran, metode dan pendekatan keilmuan, dan bahkan juga ideologi.

Pada satu sisi, tentu saja pemetaan ini tidak terlepas dari realitas segregasi sejarah, sosio-kultural, keyakinan, pemikiran dan peradaban yang kemudian bersentuhan dalam sebuah hubungan yang antagonis di antara bangsa-bangsa yang berada di kedua kutub peradaban tersebut, mengingat pembagian batas teritorial Timur Barat sesungguhnya bukanlah menjadi isu utamanya, di samping juga kelihatan sulit membentang garis batasnya secara empiris.

Adapun pada sisi lain, sesungguhnya sangat sulit untuk menafikan fakta sejarah yang sangat pahit yang dialami oleh kedua kutub tersebut dalam pusaran politik kultur yang berbalut ideologis, sebagaimana yang pernah terjadi antara umat Islam dan Kristen di belahan bumi Asia, seperti Mesir dan Palestina, yang mana bagi sebagian masyarakat Barat hingga hari ini masing sangat membekas, ditambah lagi akibat adanya berbagai realitas kekerasan yang berbau teror bermunculan dalam kehidupan masyarakat Barat, terlepas dari siapa yang mengklaim atau yang diklaim sebagai pelakunya.

Oleh karena itu, hubungan Timur dan Barat dalam perkembangannya diwarnai dengan berbagai prejudice warna kulit, karakter, sosial budaya dan politik, keilmuan dan bahkan dipertajam dengan perbedaan agama yang hari ini diklaim oleh sebagian orang bahwa Timur identik dengan Islam dan Barat identik dengan Kristen.

Tentu saja, pandangan ini tidak dapat dibenarkan begitu saja, mengingat bahwa Islam dan Kristen pada dasarnya adalah agama yang sama-sama lahir di belahan Timur, walau pada gilirannya Islam tetap lebih banyak berada di belahan Timur sementara Kristen lebih mendominasi di belahan Barat.

Bagi yang tidak mempunya wawasan yang cukup, dikotomi Timur Barat kelihatannya terus semakin tajam apalagi dengan menguatnya opini kebencian dan permusuhan yang sengaja dibangun tidak hanya oleh kelompok ideologi-kultural garis keras tetapi bahkan oleh para pemuka agama dan politisi sekalipun.

Terlepas dari sudut mana seseorang akan memulai menjawab agar dikotomi tersebut dapat menjadi sebuah kolaborasi dalam berbagai dimensinya. Telah banyak fakta sosial yang terjadi dalam sentuhan kemanusiaan Timur Barat yang menunjukkan nilai-nilai universal yang dapat berterima bagi semu warna kulit, masyarakat bangsa di kedua kutub peradaban tersebut, misalnya aktivitas seni budaya, olahraga, serta amal sosial dalam bentuk karitas dan filantropi.

Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa ketika berbicara dalam berbagai dimensi nilai-nilai universalitas kemanusiaan, maka Timur dan Barat kelihatannya tidak lagi memiliki dinding penghalang bahkan dalam berbagai realitas kemanusiaan tersebut mereka saling mengisi dan berkolaborasi secara elegan.

Namun ketika berbicara pada tataran konsep keilmuan, pendekatan dan metode yang digunakan oleh kutub keilmuan Timur dan Barat hingga hari ini kelihatannya tidak berbeda tetapi juga sudah sampai pada tingkat klaim arogansi ilmiah antara inductive reasoning dan deductive reasoning, yang selanjutnya secara implisit melahirkan segregasi peran, narasi, dan konsep keilmuan antara alumni Timur dan Barat terutama di belahan dunia berkembang, termasuk Indonesia.

Tentu saja realitas ini tidak harus terbiarkan, dan oleh karena itu sudah seharusnya menemukan jalan tengah agar tidak menjadi konflik yang berkepanjangan, terlebih lagi ketika konsep keilmuan, metode, dan pendekatan tersebut dikaitkan dengan ideologi dan keagamaan.

Pertanyaannya ialah mungkinkah kedua kutub keilmuan yang berbeda karakter tersebut dapat dikolaborasikan? Saya sengaja tidak melihatnya dari sudut konsep integrasi ilmu sebagaimana yang sedang dikembangkan oleh para sarjana dan akademisi di berbagai Perguruan Tinggi Islam, termasuk Indonesia, mengingat adanya berbagai kesulitan untuk mengintegrasikan berbagai konsep dan teori dalam upaya melahirkan atau menemukan suatu kesimpulan sekaligus kesamaan pandang terhadap isu-isu sosial budaya, agama, politik, ekonomi, sains dan teknologi serta berbagai isu global yang berkembang baik di belahan dunia Timur maupun di belahan dunia Barat.

Salah satu alasan kemungkinan untuk melakukan kolaborasi tersebut adalah bahwa ilmu pengetahuan pada dasarnya berbicara untuk dan atas nama kebenaran dan kemaslahatan universalitas kemanusiaan, walau sekalipun ilmu-ilmu tersebut berasal atau bersumber dari teks-teks kitab suci yang berbeda, yang sangat kental dengan berbagai dimensi sosiologis baik dalam konteks ontology, epistemology maupun axsiology.

Saya mengibaratkan upaya kolaborasi ini seperti sebuah orkestra yang mana setiap pemain dengan berbagai macam alat musik (instrument) yang mereka mainkan bergerak secara berkolaborasi sesuai dengan porsi masing-masing tanpa ada yang merasa tertinggal atau tersinggung demi untuk melahirkan sebuah keteraturan irama (symphony) yang indah, damai, inspiratif, imajinatif, dan produktif yang dapat dinikmati oleh siapa saja yang mendengarkannya.

Dengan melakukan kolaborasi keilmuan kutub Timur Barat, saya meyakini bahwa ilmu pengetahuan akan kembali kepada khittah-nya yang bertujuan untuk memenuhi kepentingan kemaslahatan umat manusia secara universal. Upaya kolaborasi ini, yang juga saya gunakan sebagai pendekatan dalam gagasan Islam Transitif, akan menemukan formatnya melalui teori yang saya sebut dengan istilah teori “Symphony” (the symphony of humanitarian welfare), dan saya meyakini bahwa teori ini juga akan terus menggelinding dalam kajian ilmu-ilmu sosial, humaniora, sains, dan teknologi.

Ada beberapa alasan mengapa saya menamakan teori symphony, antara lain: saya terinspirasi dengan ungkapan Rudyard Kliping di atas yang mana saya melihat semacam ada rasa kegalauan akut yang dirasakannya terkait relasi umat manusia, terutama ketika dunia dipandang dalam blok Barat dan Timur, yang menurut sebagian sarjana secara umum difahami sebagai dua blok kekuatan ideologi (keyakinan) yaitu Islam dan Kristen.

Tentu saja pandangan yang membelah dunia berdasarkan SARA, ideologi ataupun simbol-simbol lainnya tidak akan pernah membawa pada kedamaian, keselarasan, kesejahteraan, dan saling menjaga martabat kemanusiaan. Sebaliknya dapat dipastikan setiap suku, bangsa, dan agama akan mengedepankan arogansi masing-masing, termasuk memuaskan naluri “penaklukan”, padahal dunia ini hanya dapat dibangun dengan kerjasama (kolaborasi) yang bermartabat dalam sebuah simfoni yang harmonis.

Di sisi lain, istilah kata symphony sering diasosiasikan penggunaannya dalam dunia seni, dan seni itu sendiri sesungguhnya merupakan puncak peradaban umat manusia. Dalam seni suara atau musik misalnya, Tuhan sendiri telah menganugerahkan berbagai suara alam yang natural, bersih dan suci. Seandainya saja Tuhan tidak menciptakan suara atau bahkan nada dari alam ini tentulah tak terbayangkan betapa hambarnya alam ini, sunyi, mencekam dan mungkin saja sangat menakutkan.

Oleh karenanya, tugas manusia untuk mengaransemennya menjadi alunan irama dalam symphony yang menggairahkan kehidupan. Oleh karena itu, tidak heran jika di tangan para sastrawan, seniman, dan sejenisnya lahirlah musik yang berkelas yang tidak hanya menggerakkan hati, nilai, dan estetika kemanusiaan tetapi juga nilai-nilai keilahian. Jika dikaitkan dengan gerakan kebangkitan sebuah bangsa, maka dapat dikatakan bahwa sebuah peradaban yang berkelas akan lahir dari sebuah masyarakat dan bangsa yang bersimfoni (berseni) tinggi.

Hal ini dikarenakan bahwa dalam sebuah symphony (analogi sebuah orksestra) ada keindahan (estetika), gairah (passion), kebahagiaan (happiness), kasih sayang (love), perasaan (feeling), kepedulian (empathy), keteraturan hukum (regularity), keselarasan (harmony), kedamaian (peace), keseimbangan (balance), terpusat (focus), kerjasama (cooperation), inspirasi (inspiration), kreasi (creation), inovasi (innovation), imajinasi (imagination), etika (ethics), budi pekerti (character), logika (logic), moralitas (more), nilai (value), kualitas (quality), kepatuhan (obedience), penghormatan (respect), rasa (taste), kelas (class), kepercayaan (trust), kebijaksanaan (wisdom), strategi (strategy), sains (science), teknologi (technology), peradaban (civilization), dan bahkan ada kesadaran diri (awareness) yang berkolaborasi dalam gerakan-gerakan intelektual dan seni yang sangat mendalam sehingga menghasilkan sesuatu melalui gerakan total produksi yang dapat membahagiakan dan menyejahterakan melalui gagasan Islam Transitif.

Sebagai tambahan, bukankah alam ini juga diciptakan Tuhan sebagai fasilitas terealisasinya upaya-upaya pemenuhan konsep-konsep kesimfonian tersebut untuk mengisi ruang dan kebutuhan empiris serta idealias umat manusia.

Dikutip dari Buku Islam Transitif: Filsafat Milenial

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer