Pages

Senin, 30 Maret 2020

Hipokrisi Fundamentalisme vis a vis Liberalisme

Sumber gambar: isfcogito.org


Sebagaimana kita ketahui, pasca jatuhnya Orde Baru Soeharto, isu terorisme mencuat di ruang publik. Aksi terorisme adalah strategi paling radikal dan  banal serta ekstrim yang diambil para aktor dan aktivis Islam pasca Orde Baru.  Di luar aksi terorisme, sebenarnya ada  dua strategi gerakan radikal Islam yang menjadi penting ketika rezim yang berkuasa memberikan angin segar kebebasan setelah lama gerakan Islam dipinggirkan secara politik oleh rezim Orde Baru itu. Strategi pertama melalui jalur kepartaian dan strategi kedua membentuk ormas-ormas Islam radikal yang memperjuangkan syariat Islam melalui jalur kultural; dakwah Islam dan aksi unjuk rasa, baik ke parlemen maupun ke istana negara. Kolaborasi ini tampaknya menjadi kekuatan yang cukup signifikan untuk melakukan perubahan secara bertahap di dalam sistem sosial dan kenegaraan bangsa Indonesia. Pada gilirannya, atribut, slogan, dan nama-nama Islam begitu ramai diteriakkan sebagai bagian dari pentas kekuatan dan panggung pergulatan.

Pergerakan Islam radikal memang sedang merambah ke wilayah-wilayah yang berpenduduk mayoritas Muslim di seluruh dunia. Indonesia, Filipina dan Malaysia, yang secara statistik berpenduduk mayoritas Muslim telah mengalami gejala globalisasi Islam radikal. Realitas ini dapat dilihat dari perkembangan kelompok Abu Sayyaf pimpinan Abu Bakar Janjalani di Filipina, Laskar Jihad dan Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujahidin, Ikhwanul Muslimin, dan lain sebagainya di Indonesia, dan Kelompok Mujahidin Malaysia (KMM), sebuah organisasi di bawah payung PAS di Malaysia. 

Mereka dianggap telah mengembangkan operasi selama beberapa dekade terakhir, menghimpun dana, melatih milisi, materi dan pengalaman untuk melawan Barat dan kekuatan sekuler, di samping memperjuangkan Islam secara radikal, agung dan sentral, dari Malaysia sampai Senegal, dari Sovyet (Rusia) sampai daerah-daerah pinggiran di Eropa yang dihuni oleh imigran yang sudah mapan. Kebangkitan Islam ini oleh Gilles Kepel (1996) dinilai sebagai bagian dari gerakan bawah tanah guna mengislamkan kembali kehidupan dan tradisi keseharian dan mengorganisasikan kembali eksistensi individual sesuai dengan ajaran Kitab Suci.

Studi Hermann Frederick Eilts (1987) menunjukkan bahwa, kebangkitan Islam dimulai semenjak lengsernya Shah Iran Reza Pahlevi, yang kemudian ditandai dengan tampilnya Imam Khoemaini sebagai pemimpin Revolusi Iran tahun 1979. Ditambah lagi, pada fase pertengahan terakhir 1970-an terjadi pergolakan di Iran, Mesir, Saudi Arabia, Syria, Pakistan, dan Afghanistan yang menyadarkan Barat tentang bangkitnya ”Islam militan” atau ”kebangkitan Islamisme.”

Dalam hal ini, di Indonesia kelompok-kelompok Muslim radikal melihat masyarakat kita mengalami sekularisasi, dekadensi moral dan krisis kepemimpinan. Hal tersebut lantas memantapkan keyakinan mereka bahwa solusinya adalah Islam. Pergaulan bebas, permisivisme, aborsi, kenakalan remaja, lemahnya supremasi hukum (KKN), dan semakin tidak bermoralnya para pemimpin bangsa memberikan keyakinan bahwa sekularisasi telah gagal menjadi bagian dari kehidupan bangsa. Karena itulah, bagi kaum muslim radikal, menerapkan syariat Islam secara kaffah dianggap sebagai solusi yang tepat. Radikalisasi yang tumbuh di kalangan muslim adalah efek domino dari kebobrokan sistem sosial masyarakat yang yang sudah tidak lagi mengindahkan moral dan peraturan agama. Itu sebabnya, mereka yakin bahwa Islam mampu menyelesaikan semua problem masyarakat agar menjadi lebih Islami; agar tidak ada KKN, agar pergaulan antar remaja lebih Islami, dan tidak ada lagi perilaku tidak bermoral di bumi Indonesia. Tentu saja, kalau dibentangkan, masih banyak alasan masalah yang membuat radikalisasi umat Islam itu terjadi.

FATWA MUI

Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) ke VII Agustus tahun 2005 mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pluralisme yang menganggap semua agama sama, mengharamkan sekularisme dan liberalisme beserta semua turunannya. Kalangan MUI dan Islam fundamental mengemukakan bahwa “amuk” muncul dari kelompok liberal atas fatwa tersebut, dan pertarungan belum lagi sampai ke final. Mula-mula, serangan kalangan Islam Liberal atas fatwa MUI itu telah menjadi kontroversi yang luar biasa. Pada waktu itu pernyataan Ulil Abshor Abdalla (koordinator Jaringan Islam Liberal-JIL) yang menganggap fatwa MUI itu “konyol dan tolol”, dinilai kalangan MUI sebagai kata-kata tidak pantas. Ulil kemudian meminta maaf terhadap MUI. Sementara statemen M. Dawam Rahardjo (cendekiawan Muslim/tokoh ICMI) yang mengatakan bahwa fatwa MUI itu memecah belah masyarakat dan menimbulkan keresahan dan karena itu MUI harus dibubarkan, merupakan kritik pedas atas fatwa MUI itu. Pernyataan Ulil dan Dawam menimbulkan reaksi balik kaum Islam Fundamental yang merasa dilecehkan. Perkembangan ini berbarengan dengan fatwa MUI untuk melarang gerakan Ahmadiyah. Akibatnya, rangkaian peristiwaperistiwa itu menjontrongkan umat Islam - baik itu kalangan Fundamental maupun Liberal - ke dalam kontroversi dan ketegangan.

Saling kritik dan perang pemikiran antara kelompok Islam Liberal dan fundamental itu melanda umat dari Masjid Istiqlal sampai masjid kampung di pedesaan. Pertarungan Islam Liberal versus Fundamental itu, pada hemat saya, harus dilihat dalam konteks yang lebih luas yakni perebutan ruang publik, utamanya ruang politik dan sosial, dalam upaya the struggle for the real di medan sosial-politik di Indonesia. Perang wacana Islam liberal versus fundamental itu mengesankan perebutan struktur kesempatan politik (political opportunity structure) yang berlangsung secara terbuka maupun tersembunyi.

Dalam studi gerakan sosial, penting adanya struktur kesempatan politik yang memungkinkan atau tidak memungkinkan aktor sosial untuk bergerak. Struktur kesempatan politik (political opportunity structure) itu didefinisikan oleh Sidney Tarrow sebagai “consistent—but not necessarily formal, permanent, or national—signals to social or political actors which either encourage or discourage them to use their internal resources to form social movements.”

Struktur kesempatan politik itu dikenal terbagi dua, yaitu yang bersifat statis dalam pengertian berkait dengan kelembagaan negara (bersifat eksternal terhadap aktor gerakan) seperti terbukanya sistem politik, transparansi, pengadilan; dan struktur kesempatan politik yang bersifat dinamis, yang erat terkait dengan kondisi internal di dalam aktor-aktor gerakan (masyarakat sipil) itu sendiri, seperti lemah/kuatnya solidaritas, aliansi, dan sejenisnya. Gerakan sosial yang berhasil biasanya memiliki dua bentuk struktur kesempatan itu.

Karena itu, saya melihat fatwa MUI sekaligus sebagai ”power game” dan upaya merebut ”struktur kesempatan politik” dimana MUI nampaknya berusaha memperlihatkan kembali ”kedigdayaan, wibawa dan kekuatannya” yang relative merosot di era pasca Soeharto, di tengah pusaran arus modernisme dewasa ini. Sementara liberalisme, sekularisme dan pluralisme semakin mendapat tempat di kalangan masyarakat madani (civil society) menyusul revolusi demokrasi pasca jatuhnya Orde Baru Soeharto Mei 1998. Fatwa MUI itu oleh kalangan pluralis dan prodemokrasi, dianggap menandai babak baru gejala penguatan kembali ”Islamisme” di Indonesia pasca Soeharto.

Bahkan Ahmad Sahal, seorang aktifis Islam Liberal, mengemukakan bahwa pada permukaannya fatwa MUI yang mengharamkan liberalisme, sekularisme dan pluralisme terkesan bertarget sempit: membidik Jaringan Islam Liberal (JIL) yang memiliki lokomotif Ulil Abshar Abdalla dan kelompok-kelompok Islam lain yang sejenis. Pada lapisan dasarnya, Sahal melihat fatwa itu sesungguhnya menghantam sesuatu yang lebih jauh melampaui JIL yakni demokrasi konstitusional yang sedang dirintis di Indonesia. Demokrasi menjadi terancam oleh fatwa itu karena tiga soal yang diharamkan oleh MUI itu sesungguhnya merupakan pilar utama demokrasi.

Dawam Rahardjo menilai dasar keputusan MUI itu ironis dan bukan kesalahpahaman, melainkan ketidakpahaman MUI atas sekularisme, liberalisme dan pluralisme (disingkat oleh kaum Islam Fundamental sebagai Sepilis, istilah berkonotasi pelecehan dan plesetan ”Sipilis”, penyakit kelamin yang berbahaya).

Kalangan Islam Liberal menilai, fatwa MUI itu akan mengancam fondasi dasar bagi proses demokratisasi, sesuatu yang dicita-citakan oleh reformasi, sehingga musuh reformasi bukan hanya otoritarianisme, otokrasi dan korupsikolusi-nepotisme, melainkan juga oleh absolutisme tafsir agama, yang merasa memiliki kebenaran mutlak dan menganggap yang lain sesat.

Westernisasi dalam Pemikiran Pemuda Muslim

Sebagai orang muda yang senantiasa mengapresiasi “pribumisasi Islam” Abdurrahman Wahid dan “pembaruan pemikiran Islam” Nurcholish Madjid seraya ”belajar Islam” kembali, saya ingin menyampaikan bahwa tulisan ini tidak bermaksud menjadi jembatan atau pertimbangan untuk menjatuhkan pilihan guna membela, menolak atau menjatuhkan kecenderungan diri terhadap dua paradigma berpikir yaitu “Islam Liberal dan Fundamental” atau justru menanggalkan kedua-duanya, melainkan mencoba memaparkan perang wacana Islam Fundamental versus Islam Liberal dan tarik-tolak di dalamnya sebagai diskursus intelektual dan agama yang selayaknya ditangkap dan dicermati oleh zaman kita agar lebih mawas diri, arif dan dewasa.

Saya terpikat untuk menceburkan diri ke dalam perdebatan Islam Liberal dan Fundamental dengan segenap risikonya, berangkat dari ”keterbatasan epistemologi” dalam pergumulan saya sebagai “aktivis HMI” di masa mahasiswa era 1980-an dan kini berharap cemas agar perdebatan para aktor kedua kubu (Islam Liberal dan Fundamental) tidak memicu kekerasan dan permusuhan, namun justru membukakan mata hati dan pikiran kita untuk lebih membuka cakrawala dalam membangun Islam, peradaban dalam suatu proses dialog yang berakal sehat dan berakhlak, tidak main mutlak-mutlakan dan memonopoli kebenaran, Sebab, dalam dunia epistemis, bukankah kebenaran itu harus terus dicari, tidak pantas dimonopoli dan tidak bersifat final? Seperti sejarah yang terus bergerak, bukankah interpretasi harus selalu digali, diperbarui? Dan bukankah dalam hitungan hari, bulan dan tahun interpretasi, tafsir dan pemahaman kita tentang Quran dan ajaran Islam tetap harus diuji, diperdalam dan diasah kembali dalam konteks dunia yang terus berubah ini? 

Dalam konteks globalisasi dewasa ini, ada kecenderungan kuat bahwa Islam di Indonesia cenderung kian liberal, sebagaimana diamati cukup lama oleh Greg Barton dalam arti makin menerima gagasan demokrasi, pluralisme dan HAM. Yang musti dipahami kita adalah bahwa Barat/AS mengapresiasi Islam Liberal, namun sangat takut kepada Islam Fundamental, sehingga masyarakat Barat/AS banyak menghujat kaum fundamentalis Islam sebagai biang kerok kekerasan dan terorisme. Padahal, terorisme negara oleh AS/Barat lah—sebagaimana diungkap Noam Chomsky— yang mengilhami munculnya aksi teror balasan oleh kaum Muslim terhadap AS/Barat seperti dalam kasus serangan bom WTC 11 September 2001, bom Spanyol 2004, bom Bali 2002, dan teror bom di London 7 Juli 2005. 

Bernard Lewis pernah menyatakan, pada abad ke-20, ada yang salah pada dunia Islam. Dibandingkan dengan rivalnya, Kristen, dunia Islam kini menjadi miskin, lemah, dan bodoh. Sejak abad ke-19, dominasi Barat terhadap dunia Islam tampak jelas. Barat menginvasi kaum Muslim dalam setiap aspek kehidupan, bukan hanya pada aspek publik, tetapi - yang lebih menyakitkan - juga dalam aspek-aspek pribadi. Namun, masyarakat Barat tetap saja melihat Islam sebagai momok (scourge) bagi Barat.

Bagaimana menghadapi kaum yang hidup dalam mitos atau paranoid semacam ini? Pada satu sisi, paranoia Barat itu menunjukkan, bahwa memang Islam - bagaimana pun kondisinya - tidak dipandang sebelah mata. Kaum Muslim tetap diperhitungkan, meskipun sedang dalam kondisi lemah. Barat selama berabad-abad telah menyamakan politik Islam dengan kealiman, fanatisme, tirani absolut dan praktek militer Islam disamakan dengan teror dan perkosaan, tradisi Islam disamakan dengan keterbelakangan dan Islam dianggap pengingkaran total terhadap Eropa, penghinaan terhadap ilmu pengetahuan, penindasan terhadap civil society, membatasi pemikiran manusia dan seterusnya.

Seyogianya, kaum Muslim melakukan introspeksi atas kondisinya dan tidak terlalu menunjukkan sikap menunduk atau cari muka terhadap AS/Barat. Dalam hubungan ini, Islam Liberal mendapat bantuan AS/Barat untuk menyebarluaskannya dalam bingkai pluralisme dan demokrasi, sementara Islam Fundamental yang sering diasosiasikan dengan Pan-Islamisme di Arab dan bantuan Arab Saudi/ Timur Tengah, dianggap sebagai “kekuatan” yang menakutkan, militan dan musti dikaji sekaligus diwaspadai atau diprasangkai.

Dikutip dari Buku Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme: Perspektif atas Agama, Masyarakat dan Negara.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf Fundamentalisme, Radikalisme, Terorisme: Perspektif atas Agama, Masyarakat dan Negara tersebut pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer