Pages

Rabu, 18 Maret 2020

Teori Sosial Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme

Sumber gambar: rencanamu.id

Manusia adalah makhluk sosial. Apakah kita suka atau tidak, hampir semua yang kita lakukan dalam kehidupan kita berkaitan dengan orang lain. Sedikit sekali yang kita lakukan benar-benar soliter dan sangat jarang kesempatan kita benar-benar hanya sendirian. Jadi, kajian mengenai bagaimana kita dapat berinteraksi satu sama lain, dan apa yang terjadi ketika kita berinteraksi, adalah salah satu ikhwal paling mendasar yang menarik dalam kehidupan manusia. Cukup aneh barangkali, belum terlalu lama berselang—sejak kira-kira permulaan abad ke-19 dan seterusnya— suatu minat khusus dalam aspek sosial keberadaan manusia yang intrinsik ini digarap secara serius. Sebelum masa itu, dan bahkan setelah itu, lapangan minat lain mendominasi analisis kehidupan manusia. Dua pendekatan non-sosial mengenai perilaku manusia yang paling bertahan lama adalah eksplanasi “naturalistik” dan “individualistik”.

Ketimbang memandang perilaku sosial sebagai produk interaksi, teori-teori ini memusatkan perhatian pada kualitas alamiah yang terkandung dalam individu manusia. Di satu pihak, eksplanasi naturalistik berpendapat bahwa semua perilaku manusia—termasuk interaksi sosial—adalah produk disposisi yang diwariskan yang kita miliki sebagai makhluk binatang. Sebagaimana hewan, manusia diprogram secara biologi oleh alam. Di pihak lain, eksplanasi individualistik mendorong dibangunnya generalisasi besar mengenai perilaku yang pasti itu. Dari sudut pandang ini kita semua adalah “individual” dan “berbeda”. Dengan demikian eksplanasi mengenai perilaku manusia akhirnya harus terletak pada kualitas psikologis yang khusus dan unik dari individu. Teori-teori sosiologi memiliki posisi kontras yang langsung dengan pendekatan-pendekatan “non sosial” ini. Meninjau sedikit lebih dekat, dan menemukan apa yang salah atau tidak lengkap dari pendekatan tersebut, memudahkan kita untuk memahami mengapa teori-teori sosiologi itu ada.

Teori-teori Naturalistik

Eksplanasi naturalistik mengenai aktivitas manusia cukup banyak diketahui. Misalnya, dalam masyarakat kita hidup anggapan bahwa adalah alamiah bagi laki-laki dan perempuan saling jatuh cinta, menikah dan mempunyai anak-anak. Adalah alamiah pula bahwa mereka hidup dalam keluarga inti, dengan suami pergi bekerja untuk mencari nakah untuk istri dan anak-anaknya, sedangkan istri adalah ibu yang bertugas memelihara anak-anak di rumah khususnya ketika anak-anak masih kecil. Jika anak-anak beranjak besar, alamiah pula jika mereka tetap tinggal bersama orangtua yang bertanggung jawab terhadap mereka sekurang-kurangnya hingga remaja. Setelah itu, alamiah pula jika mereka ingin meninggalkan “sarang”, untuk mulai menemukan jalan kehidupan mereka sendiri, khususnya mencari pasangan hidup. Seperti orangtua mereka, anak-anak akan menikah dan membangun keluarga sendiri.

Pola praktik “alamiah” ini menyebabkan praktik yang berlawanan seperti tidak mau menikah, atau menikah karena alasan lain yang bukan cinta, menjadi tidak alamiah. Juga tidak alamiah orang-orang yang menikah tapi tidak mau punya anak, atau para istri yang tidak mau menjadi ibu yang memelihara anaka-naknya. Demikian pula halnya, anak-anak yang belum berusia 18 tahun tetapi sudah meninggalkan rumah adalah tidak alamiah, atau anak-anak yang sudah dewasa tetapi tidak mau meninggalkan rumah untuk membangun keluarga sendiri. Namun dalam masyarakat Barat keinginan dan praktik yang “tidak alamiah” ini cukup biasa. Cukup banyak orang yang tidak menikah atau yang hidup bersama tanpa menikah. Cukup banyak wanita yang tidak setuju dengan gagasan menjadi ibu, dan juga banyak wanita yang tak mau sepanjang hayat menjadi ibu rumah tangga saja. Banyak anak-anak yang meninggalkan keluarga sebelum berusia 18 tahun, dan sebaliknya banyak pula yang tetap tinggal bersama keluarga meski sudah berusia lebih dari 18 tahun.

Mengapa demikian? Jika perilaku manusia adalah produk disposisi yang melekat (terkandung) secara alamiah pada manusia lalu mengapa ada penyimpangan yang cukup besar jumlahnya itu? Kita bisa menggambarkan cukup tersebarnya pola-pola kelakuan yang “tidak alamiah” itu hingga dalam skala besar, dalam program genetika besar.

Lalu, mengapa terdapat banyak variasi dari konsep praktik keluarga “normal” pada berbagai masyarakat yang lain? Baik sejarah maupun antropologi memberikan kontras-kontras dalam kehidupan keluarga. Dalam bukunya tentang kehidupan keluarga di Eropa Kuno, Centuries of Childhood (1973), Philippe Ariès membuat gambaran tentang perkawinan, keluarga, dan pengasuhan anak yang berlawanan dengan tajam dengan konsep Barat mengenai apa yang disebut normal. Keluarga bukanlah satuan sosial yang bersifat pribadi dan terisolasi, terputus secara sosial, dan terpisah secara fisik dari dunia secara luas. Keluarga terikat erat dalam komuniti, dengan orang-orang yang secara esensial hidup publik, bukan pribadi. Mereka hidup dalam rumah tangga yang komposisinya terus-menerus bergeser: kerabat, teman-teman, anak-anak, tamu-tamu, orang-orang yang sekadar singgah, dan juga hewan piaraan semuanya tidur di bawah atap yang sama. Perkawinan terutama menjadi alat untuk membangun aliansi bukan hasil hubungan cinta, sehingga wanita tentu saja tidak memandang “menjadi ibu” sebagai takdir yang harus ditanggung sendiri. Jelaslah bahwa pengasuhan anak bukan beban berat dibandingkan dengan dalam masyarakat kita. Lebih banyak orang terlibat dalam mengasuh anak –-baik kerabat maupun warga komunitas secara keseluruhan. Masa kanak-kanak berlangsung lebih pendek daripada masa kini. Seperti dikemukakan Ariès (1973) “tak lama setelah disapih, anak secara alamiah menjadi teman orang dewasa”.

Dalam masyarakat non-industri kontemporer juga terdapat variasi praktik keluarga. Perkawinan adalah alat yang esensial untuk membangun aliansi antara kelompok-kelompok, tak hanya sekadar hubungan individu. Monogami—satu suami dan satu istri—hanya salah satu bentuk perkawinan. Poligami, perkawinan antara suami dengan lebih dari satu wanita, dan poliandri, antara seorang istri dengan lebih dari satu suami, ditemukan dalam banyak masyarakat. Kehidupan domestik jauh lebih publik dan komunal daripada dalam masyarakat industri. Setiap satuan keluarga adalah bagian dari yang lebih luas, yang menggabungkan kelompok kerabat sedarah yang dikaitkan dengan teritorial lokal, biasanya sebuah desa. Seperti pada masyarakat Eropa Kuno, pengasuhan anak tidak dianggap sebagai tanggung jawab utama orang tua semata-mata, tetapi melibatkan jauh lebih banyak orang, kerabat, dan yang bukan kerabat.

Maka jelas bahwa berharap menjelaskan kehidupan manusia semata-mata dengan acuan impuls-impuls alamiah menaikan fakta yang sangat penting di mana sosiologi mengarahkan perhatian pada perilaku manusia bervariasi sesuai dengan latar sosial di mana manusia menemukan dirinya sendiri.

Teori-teori Individualistik

Apakah yang dimaksud eksplanasi individualistik? Seberapa berguna argumen bahwa perilaku adalah produk perubahan psikologis individu? Teori ini sangat sering digunakan. Sebagai contoh, berhasil tidaknya pendidikan seringkali diasumsikan semata-mata cerminan dari kecerdasan: anak yang cerdas akan sukses, yang tidak cerdas gagal. Para penjahat kerapkali dianggap sebagai orang-orang dengan kepribadian menyimpang: mereka biasanya dilihat sebagai menyimpang secara moral, yang kurang memiliki perasaan salah dan benar. Para penganggur seringkali dituduh sebagai pemalas, malu mencari pekerjaan, lemah semangat, dan tidak tekun bekerja. Bunuh diri kerapkali dilihat sebagai tindakan orang yang tidak stabil; suatu tindakan orang yang “terganggu keseimbangan pikirannya”. Eksplanasi ini menarik bagi banyak orang dan khususnya terbukti tahan terhadap kritik sosiologi. Namun pengkajian yang lebih cermat menunjukkan bahwa eksplanasi ini kurang tepat.

Jika pencapaian pendidikan semata-mata mencerminkan kecerd asan mengapa anak-anak dari kelas pekerja menunjukkan prestasi pendidikan yang tak kalah dari mereka yang datang dari kelas menengah? Tentu gegabah untuk mengatakan bahwa orangorang yang berasal dari pekerjaan tertentu menunjukkan prestasi pendidikan yang lebih rendah dibandingkan pekerjaan lain. Dengan kata lain, kecerdasan tidak bisa ditentukan semata-mata oleh jenis pekerjaan, meskipun ada benarnya bahwa pencapaian dalam pendidikan pada batas tertentu dapat dipengaruhi oleh latar belakang anak.

Hal yang sama, fakta bahwa kebanyakan pelaku kejahatan berasal dari kategori sosial tertentu menimbulkan keraguan serius terhadap teori “defisiensi kepribadian”. Angka tindakan kejahatan tertinggi pada laki-laki muda, khususnya kalangan berkulit hitam, yang berasal dari kalangan sosial ekonomi kelas pekerja dan penganggur. Lalu, dapatkah kita meyakini bahwa kepribadian jahat itu terkonsentrasi pada kategori sosial tersebut? Seperti halnya pencapaian pendidikan, jelas bahwa tindak kejahatan pasti dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial.

Semua teori sosiologi memilik persamaan penekanan dalam hal keyakinan manusia dan tindakan adalah produk pengaruh sosial. Teori-teori itu berbeda sesuai dengan pengaruh tersebut, dan bagaimana teori-teori itu seharusnya dikembangkan dan dijelaskan. Buku ini adalah tentang perbedaan-perbedaan tersebut.

Kita hendak membahas tiga jenis teori penting—konsensus, konlik, dan tindakan—yang setiap jenis teori ini membicarakan sumber sosial spesiik dari perilaku manusia. Membicarakan ketiga kategori tersebut memberikan dua manfaat: (1) buku ini merupakan pengantar kepada perdebatan teori dalam sosiologi; dan (2) buku ini menjadi acuan yang berguna bagi menilai dan membandingkan dengan karya teoritisi besar sosiologi.

Masyarakat sebagai Struktur Aturan: Pengaruh Kebudayaan terhadap Perilaku

Bayangkan Anda tinggal di sebuah kota besar. Berapa banyak orang yang Anda kenal baik? Dua puluh? Lima puluh? Nah, coba bayangkan sekarang, berapa banyak orang yang Anda temui setiap hari, yang tidak Anda kenal benar. Sebagai contoh, berapa banyak orang asing yang kita bertemu di London atau Manchester atau Birmingham setiap hari? Di jalan raya, di toko-toko, di bus atau kereta, di bioskop dan restoran—kehidupan sehari-hari di suatu kota besar adalah pertemuan yang tetap dengan banyak orang asing. Meskipun katakanlah penduduk kota ini peduli dengan fakta ini, biasanya mereka meninggalkan rumah tanpa memikirkan bagaimana orang-orang asing yang berpapasan setiap saat itu berperilaku terhadap mereka. Sukar dibayangkan mereka akan memikirkan hal itu. Mengapa kita tidak begitu hirau? Karena hampir semua orang yang kita temui dalam kehidupan sehari-hari berperilaku sesuai dengan yang kita harapkan. Kita mengharapkan penumpang, sopir taksi, orang yang belanja, dan lainnya berperilaku menurut cara-cara yang pasti meskipun kita tidak mengenal orangorang itu secara pribadi. Penduduk kota keluar masuk latar sosial di mana orang lain melakukan aktivitas, tak acuh dengan apa yang dilakukan satu sama lain. Semua berjalan rutin tak soal apakah perkenalan lebih jauh diperlukan atau tidak. Kita hanya akan kaget apabila ketemu orang-orang yang sudah dikenal lama sebelumnya. “Tak menyangka ketemu Anda di sini. Dunia ini memang kecil ya.” Atau sebaliknya, anak bertanya kepada ibunya, “Ibu, kok orang itu bertingkah laku seperti itu sih?”. Mengapa demikian? Karena kita secara tak sadar mengharapkan orang lain berkelakuan menurut standar tertentu. Selama perilaku kita masih berada dalam tatanan standar itu, kita tidak begitu peduli dengan orang lain. Kita hanya akan bereaksi apabila ada orang yang berperilaku berbeda, yang menyimpang dari aturan baku.

Teori Struktural-Konsensus

Salah satu cara sosiologi menjelaskan keteraturan dan memprediksi kehidupan sosial adalah dengan memandang perilaku manusia sebagai perilaku yang dipelajari. Pendekatan ini—atas alasanalasan yang akan djelaskan nanti—disebut sebagai teori struktural-konsensus. Proses kunci yang ditekankan teori ini disebut sosialisasi. Istilah ini merujuk kepada cara di mana manusia mempelajari perilaku tertentu yang diharapkan dari mereka diwujudkan dalam latar sosial di mana mereka menemukan diri mereka sendiri. Dari sudut pandang ini, masyarakat berbeda karena jenis-jenis perilaku yang dianggap sesuai ternyata berbeda-beda. Manusia dalam masyarakat yang lain berpikir dan berperilaku berbeda karena aturan-aturan yang berlainan mengenai bagaimana harus berperilaku dan berpikir. Hal yang sama juga bagi kelompok-kelompok yang berbeda-beda dalam masyarakat yang sama. Tindakan dan ide dari satu kelompok berbeda dari kelompok-kelompok lain karena anggotanya disosialisasikan dalam aturan-aturan yang berbeda pula.

Para sosiolog yang menganut teori konsensus menggunakan istilah kebudayaan untuk menguraikan aturan-aturan yang mengatur pikiran dan kelakuan dalam suatu masyarakat. Kebudayaan ada sebelum manusia mempelajarinya. Ketika lahir, manusia dihadapkan dengan dunia sosial yang sudah ada. Hidup di dunia ini berarti belajar “bagaimana melakukan segala sesuatu”. Hanya dengan mempelajari aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat dapatlah manusia berinteraksi dengan manusia lain. Karena mereka samasama disosialisasikan, orang-orang yang berbeda-beda akan berperilaku sama.

Teori konsensus berpendapat bahwa aturan-aturan kebudayaan suatu masyarakat, atau struktur, menentukan perilaku anggotanya, menyalurkan tindakan-tindakan mereka dengan cara-cara tertentu yang mungkin berbeda dari masyarakat yang lain. Mereka melakukan hal itu dengan cara yang mirip dengan konstruksi fisik bangunan yang menstrukturkan tindakan-tindakan orang-orang yang berada di dalamnya. Ambillah contoh perilaku siswa di sekolah. Ketika berada dalam lingkungan sekolah mereka memiliki pola-pola perilaku yang relatif teratur. Mereka berjalan di sepanjang koridor, naik dan turun tangga, keluar dan masuk kelas melalui pintu-pintu tertentu, dan selanjutnya. Mereka tidak keluar atau masuk kelas melalui jendela, memanjat tembok, dan sebagainya. Gerakan fisik mereka dibatasi oleh bangunan sekolah. Karena hal ini memengaruhi semua siswa sama, perilaku mereka di dalam sekolah akan sama—dan akan menunjukkan pola yang cukup jelas. Dalam teori konsensus, hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan sosial. Individu akan berperilaku sama dalam latar sosial yang sama karena mereka dibatasi oleh aturan-aturan kebudayaan yang sama. Meskipun struktur-struktur sosial ini tidak nampak dalam hal struktur fisiknya, orang-orang yang disosialisasikan ke dalam aturan-aturan ini menemukan hal ini menentukan.

Tingkatan di mana aturan-aturan kebudayaan ini bekerja dapat bervariasi. Aturan tertentu, hukum misalnya, bekerja pada tingkatan seluruh masyarakat dan menstrukturkan perilaku setiap orang yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Aturan-aturan yang lain lebih khusus, menstrukturkan kelakuan orang dalam latar yang lebih khusus pula. Misalnya, anak-anak di kelas diharapkan untuk berperilaku tertib dan penuh perhatian. Contoh lain, ketika petugas polisi atau perawat atau tentara sedang bertugas, aturanaturan kebudayaan tertentu menstrukturkan kelakuan mereka sangat kaku. Selepas tugas batas-batas ini tidak diterapkan, dan sebagai gantinya adalah aturan-aturan dalam keluarga sebagai ayah, ibu atau anak-anak, atau sebagai suami atau istri.

Hal di atas menunjukkan bagaimana teori struktur sosial dari aturan-aturan kebudayaan bekerja. Aturan-aturan ini tidak diterapkan kepada individu itu sendiri, melainkan kepada posisi-posisi dalam struktur sosial yang mereka tempati. Penjaga toko, polisi, pengatur lalu lintas, guru atau siswa dibatasi oleh ekspektasi kebudayaan yang dilekatkan pada posisi-posisi ini, tetapi hanya jika mereka menempati posisi-posisi tersebut. Dalam lingkungan yang lain, dalam lokasi yang lain dalam struktur sosial—sebagai ayah atau ibu, pemain squash, pendukung tim sepakbola, jemaah gereja, dan seterusnya—aturan-aturan yang lain bekerja.

Para sosiolog menyebut posisi-posisi dalam suatu struktur sosial sebagai peranan. Aturan-aturan yang menstrukturkan perilaku orang-orang yang menempati posisi disebut norma. Ada aturan-aturan kebudayaan tertentu yang tidak melekat pada peranan atau perangkat peranan tertentu. Disebut nilai, yang merup akan ringkasan dari cara-cara hidup yang sudah disepakati bersama, dan bertindak sebagai basis yang dari basis ini normanorma tertentu berlaku. Jadi, misalnya, “pendidikan harus menjadi kunci keberhasilan”; “hubungan keluarga harus menjadi pranata paling penting untuk dilindungi”; “kemandirian harus menjadi syarat bagi pencapaian individual.” Semua ini adalah nilai, dan nilai ini menjadi prinsip umum yang menjadi sumber norma bagi mengarahkan perilaku di sekolah, di rumah, dan di tempat kerja.

Menurut teori sosiologi ini, sosialisasi menjadi norma dan nilainilai menghasilkan kesepakatan, atau konsensus, di antara orang-orang mengenai perilaku dan keyakinan yang sesuai yang tanpa kedua hal ini masyarakat tidak dapat hidup. Itulah sebabnya cara pandang ini disebut teori struktural-konsensus. Melalui sosialisasi aturan-aturan kebudayaan menstrukturkan perilaku, menjamin konsensus dalam hal perilaku yang diharapkan, dan oleh karena itu menjamin keteraturan sosial.

Jelas bahwa dalam masyarakat kompleks kadang-kadang ada norma-norma dan nilai-nilai yang berlawanan. Sebagai contoh, ketika sebagian orang berpikir bahwa kurang baik apabila ibu pergi bekerja, cukup banyak wanita yang ingin bekerja sebagai wujud keinginan akan kebebasan. Anak-anak di sekolah mendorong teman-temannya untuk melanggar aturan sekolah, dan mengucilkan teman-teman yang tidak mau ikut. Guru seringkali memandang gejala ini dengan cara sebaliknya. Tory Party Conference adalah pertemuan tahunan yang membahas sanksi hukuman terhadap orang-orang yang mengkritik polisi.

Para teoritisi konsensus menjelaskan perbedaan dalam perilaku dan sikap dalam konteks keberadaan pengaruh kebudayaan alternatif, karakteristik dari latar sosial. Contoh yang baik dalam hal ini adalah pendekatan teori ini terhadap ketidaksetaraan pendidikan.

Ketidaksetaraan Pendidikan: Analisis Teori Konsensus

Penelitian pendidikan menunjukkan, dengan kesimpulan eksplisit, bahwa pencapaian dalam pendidikan sangat kuat kaitannya dengan keanggotaan kelas sosial, jender, dan asal-usul etnik. Sebagai contoh, banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari kelas buruh pekerja yang memiliki kecerdasan sama dengan anak-anak dari kelas menengah memiliki pencapaian jauh lebih rendah daripada anak-anak dari kelas menengah itu.

Untuk menjelaskan hal ini, teoritisi konsensus menghimpun konsep-konsep dalam pendekatan mereka mengenai kehidupan sosial—norma, nilai, sosialisasi, dan kebudayaan. Dimulai dari asumsi dasar bahwa perilaku dan keyakinan disebabkan oleh sosialisasi ke dalam aturan-aturan khusus, eksplanasi mereka mengenai rendahnya pencapaian pendidikan anak-anak kelas pekerja berusaha mengidentiikasi: (1) pengaruh kebudayaan yang mengendalikan anak-anak kelas menengah mencapai sukses akademik. (2) pengaruh kebudayaan yang menjerumuskan anak-anak kelas pekerja ke dalam pencapaian yang sangat rendah.

Penjelasannya biasanya sebagai berikut. Tingginya pencapaian anak-anak kelas menengah didorong oleh sosialisasi ke dalam norma dan nilai yang ideal bagi pencapaian pendidikan. Karena pengalaman pendidikan mereka sendiri, orangtua kalangan kelas menengah sangat mengetahui tentang bagaimana pendidikan berlangsung dan bagaimana mencapainya. Lebih lanjut, mereka nampaknya sangat ingin agar anak-anak mereka mencapai sukses dalam pendidikan. Jadi, anak-anak ini tumbuh dalam latar sosial di mana pencapaian pendidikan bernilai tinggi dan mereka secara terus-menerus didorong dan dibantu untuk mencapai potensi akademik yang tinggi.

Sebaliknya, latar belakang keluarga anak-anak buruh pekerja kerapkali kekurangan sosialisasi yang menguntungkan. Orang tua kelas pekerja nampaknya hanya memiliki pengalaman pendidikan yang terbatas, mungkin tidak memadai. Meskipun mereka ingin sekali agar anak-anak mereka mencapai sukses pendidikan tetapi mereka nyaris tidak mengetahui bagaimana kalangan kelas menengah mencapai keberhasilan pendidikan itu. Kadang mereka melecehkan pencapaian pendidikan; misalnya, mereka tidak percaya bahwa mereka tidak tahu. Akibatnya, anak-anak mereka diajarkan untuk tidak menghargai pencapaian pendidikan, lebih senang bila anak-anak cepat bekerja, meninggalkan bangku sekolah untuk ikut terjun dalam lapangan kerja rendahan.

Teori Konsensus: Kesimpulan

Ini adalah sebuah contoh mengenai penerapan teori konsensus pada fakta kehidupan sosial. Dari sudut pandang teoritisi, berbagai pola kelakuan merupakan produk dari berbagai pola sosialisasi. Nampaknya cara pandang ini berlawanan dengan komitmen teori-teori ini terhadap gagasan bahwa keteraturan sosial dalam suatu masyarakat adalah hasil kesepakatan atau konsensus di kalangan para anggotanya mengenai bagaimana berperilaku dan apa yang dipikirkan. Akan tetapi teori konsensus mengatakan bahwa meski terdapat perbedaan kebudayaan di antara kelompok-kelompok, akan meski terdapat sejumlah sub-budaya dalam suatu kesatuan besar kebudayaan, dalam semua masyarakat konsensus itu selalu ada. Hal ini karena semua masyarakat memiliki nilainilai yang mantap mengenai suatu arti penting yang tidak perlu diperdebatkan. Nilai-nilai ini mungkin disebut nilai-nilai inti atau nilai-nilai sentral, dan sosialisasi memantapkan setiap orang untuk tunduk pada nilai-nilai itu.

Di Inggris pada zaman Victoria, dua nilai sentral adalah komitemen kepada moralitas Kristen, dan kesetiaan kepada Ratu dan Kerajaan Inggris. Kini, contoh-contoh nilai sentral dalam masyarakat kapitalis Barat mungkin pentingnya pertumbuhan ekonomi, pentingnya institusi demokrasi, pentingnya penegakan hukum, dan pentingnya kebebasan setiap individu dalam hukum. Jadi, sesungguhnya sesuatu yang diyakini sebagai “dasar dari cara hidup bangsa kita” pada masa tertentu biasanya merupakan nilai sentral dalam suatu masyarakat.

Bagi teori konsensus, nilai-nilai inti merupakan penyangga struktur sosial, yang dibangun dan dipelihara melalui proses sosialisasi. Perilaku sosial dan struktur sosial ditentukan oleh kekuatan budaya eksternal. Kehidupan sosial dimungkinkan karena adanya struktur sosial yang menjadi bagian dari tatanan budaya.

Masyarakat Sebagai Struktur Ketidaksetaraan: Pengaruh Keberuntungan dan Ketidakberuntungan Terhadap Perilaku

Ada sebagian ahli sosiologi lain yang mengembangkan pendapat teoritis yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa bahwa masyarakat menentukan perilaku kita dengan cara menstrukturkan atau menghambatnya. Namun, mereka menekankan hambatan struktural yang berbeda. Bagi mereka, pengaruh terpenting terhadap kehidupan sosial adalah distribusi keberuntungan dan dampaknya pada perilaku. Apabila keberuntungan itu tersebar secara tidak merata, kesempatan orang-orang yang beruntung untuk memilih bagaimana berperilaku jauh lebih besar daripada orang-orang yang tidak beruntung.

Ketidaksetaraan Kesempatan Pendidikan: Suatu Analisis Alternatif

Misalnya, meskipun sangat mungkin bagi dua anak laki-laki yang memiliki tingkat kecerdasan sama untuk memanfaatkan potensinya bagi mencapai tingkat pendidikan yang setara, dan juga keduanya mendapat dukungan yang sama besar dari orang tua mereka, antusiasme kebudayaan keduanya tidak dapat menjamin keduanya akan mencapai kesuksesan atau kegagalan yang sama dalam pendidikan. Jika anak laki-laki yang satu datang dari keluarga yang kaya, sedangkan yang satu lagi berasal dari keluarga yang miskin, meskipun keduanya memiliki keinginan mencapai pendidikan yang sama, hasilnya tidak akan sama secara signifikan. Jelaslah bahwa distribusi keuntungan yang tidak merata—dalam hal ini sumberdaya materi—akan menguntungkan anak yang memiliki privilege daripada anak yang tidak beruntung.

Orang tua anak yang menikmati privilege itu dapat membeli pendidikan, sedangkan anak dari keluarga miskin tidak. Anak yang beruntung terjamin hidupnya tinggal di rumah besar dan serba ada, dengan ruang yang cukup untuk belajar, sedangkan anak yang tidak beruntung mungkin harus puas dengan ruang kecil yang berdesakan terisi televisi, dan tempat tidur yang digunakan bersama kakak atau adiknya. Anak yang beruntung terpenuhi kebutuhan makanan yang cukup dan bergizi sehingga mereka sehat, sedangkan anak yang tidak beruntung sebaliknya Anak yang beruntung terjamin untuk akses ke semua buku dan peralatan yang dibutuhkan untuk belajar, sedangkan anak yang tidak beruntung tidak memiliki akses itu. Barangkali yang terpenting, anak yang beruntung dapat melanjutkan pendidikan hingga tingkat setinggitingginya. Namun, bagi anak yang tak beruntung mungkin harus putus sekolah dan harus bekerja untuk menunjang penghasilan keluarga. Tuntutan yang demikian kuat menyebabkan pendidikan anak harus berakhir dini.

Teori Struktural-Konflik

Maka, salah satu tujuan utama sebagian sosiolog dengan teori struktural-konsensus adalah bahwa jika masyarakat tidak setara, maka manusia tidak hanya dihambat oleh norma-norma dan nilainilai yang dipelajari melalui sosialisasi. Teori-teori ini berpendapat bahwa manusia juga dibatasi oleh kemudahan yang dia miliki— oleh posisinya dalam struktur ketidaksetaraan dalam masyarakat mereka. Ini menekankan pengaruh perilaku dari distribusi kemudahan yang tidak merata yang dalam masyarakat biasanya dikaitkan dengan teori struktural-konflik. Mengapa teori ini disebut demikian?

Ada beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan yang berbeda bisa tidak setara, orang-orang yang berbeda agama bisa tidak setara, dan seterusnya. Kemudahan yang tidak setara yang melekat pada kelompok tersebut juga bermacam-macam. Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestise, kekayaan, atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya.

Berbeda dengan berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak merata, teori-teori tersebut memiliki kesamaan aksioma bahwa asal-usul dan persistensi struktur ketidaksetaraan terletak pada dominasi atas kelompok-kelompok yang tidak beruntung itu oleh kelompok-kelompok yang beruntung. Disebut teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konlik kepentingan yang tak terhindari antara ”yang berpunya” dan ”yang tidak berpunya”. Seperti dikatakan Wes Sharrock (1977):
Pandangan konflik dibangun atas dasar asumsi bahwa ... setiap masyarakat ... dapat memberikan kehidupan baik luar biasa bagi sebagian orang tetapi hal ini biasanya hanya mungkin karena kebanyakan orang tertindas dan ditekan.... Oleh sebab itu, perbedaan kepentingan dalam masyarakat sama pentingnya dengan kesepakatan atas aturan dan nilai-nilai, dan sebagian besar masyarakat diorganisasi sedemikian sehingga masyarakat tersebut tidak hanya memberikan manfaat lebih besar bagi sebagian warganya lainnya. Manfaat lebih besar bagi sebagian warga berarti ketidaknyamanan bagi sebagian warga lain yang tidak mendapatkan kemudahan (hlm. 515-16).

Oleh karena itu, teori konflik berbeda dengan teori konsensus tidak hanya karena teori konflik tertarik pada cara kemudahan terdistribusi secara tidak setara dalam masyarakat menstrukturkan perilaku, tetapi juga karena teori-teori ini tertarik pada konflik, bukan konsensus, yang inheren dalam masyarakat tersebut. Menurut teori konflik, terdapat konflik kepentingan antara warga masyarakat yang memiliki kemudahan dan yang tidak, di mana konlik tersebut inheren dalam hubungan mereka.

Namun, ada juga keberatan teori konflik terhadap teori konsensus. Teori-teori konflik tidak hanya menuduh teori konsensus terlalu menekankan norma-norma dan nilai-nilai sebagai penentu (determinan) perilaku lebih dari pengaruh lainnya. Para pendukung teori konflik juga berpendapat bahwa teori konsensus salah memahami dan salah menafsirkan peranan konsep kunci—  yakni sosialisasi ke dalam kebudayaan.

Ide sebagai Instrumen Kekuasaan

Teori konsensus mengatakan bahwa manusia berperilaku sedemikian karena mereka disosialisasikan ke dalam aturan-aturan kebudayaan. Hasilnya adalah konsensus mengenai bagaimana berpikiran dan berperilaku, yang mewujud dalam pola-pola dan keteraturan perilaku. Sebaliknya, teori-teori konlik berpendapat bahwa kita seharusnya melihat peranan aturan-aturan kebudayaan dan proses sosialisasi dalam cara yang sangat berbeda. Bagi teori-teori konflik, penentu struktural yang sesungguhnya adalah ganjaran dan keuntungan yang dimiliki secara tidak setara oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Karena ingin setara, orang-orang atau kelompok yang termasuk tidak beruntung tidak mau diam saja menerima keadaan itu. Biasanya, setara itu tidak ada. Apabila suatu masyarakat itu tidak setara, satu-satunya cara agar masyarakat tetap dapat terpelihara adalah jika kelompok yang mengalami deprivasi tersebut menerima saja kondisi itu. Kadang-kadang penerimaan itu terjadi karena pihak yang berkuasa melakukan tindakan-tindakan represif seperti teror. Namun, penggunaan kekerasan oleh pihak yang berkuasa untuk mempertahankan keuntungan yang tidak setara itu tidak perlu harus blak-blakan. Ada dua cara yang saling terkait agar struktur yang tak setara itu dapat dipelihara—karena menjanjikan hasil yang lebih meyakinkan daripada yang blak-blakan. Pertama, struktur itu dipelihara jika orang-orang yang tidak beruntung itu dicegah jangan sampai memandang diri mereka tidak beruntung atau dirugikan, atau kedua, meskipun diakui mereka harus diiming-imingi bahwa kondisi tersebut cukup adil — bahwasanya ketidaksetaraan itu benar, absah, dan adil. Menurut pandangan konlik, hal ini terjadi melalui kontrol dan manipulasi norma-norma dan nilai-nilai—aturan-aturan kebudayaan—di mana orang disosialisasikan. Sebagai akibatnya, bagi teori konlik, jauh dari berfungsi untuk membangun keteraturan sosial melalui konsensus, sosialisasi lebih merupakan instrumen kekuasaan—menghasilkan keteraturan sosial melalui kekuatan paksaan dan dominasi.

Bayangkan skenario berikut ini. Pagi-pagi sekali di suatu negeri Amerika Latin. Sekelompok buruh-tani, laki-laki dan perempuan. berdiri di tepi jalan menunggu bus yang akan membawa mereka ke tempat pekerjaan. Tiba-tiba dua mobil van muncul dan berhenti mendadak di hadapan mereka. Empat lakilaki bersenjata berhamburan keluar. Di bawah todongan senjata, buruh-tani disuruh masuk mobil van, sekejap mereka tancap gas, meninggalkan tempat itu menuju pedalaman. Menjelang malam buruh tani disuruh keluar dari van dan dipindahkan ke kereta lori besar yang tertutup. Kereta lori berlari kencang membelah malam, jauh memasuki wilayah pegunungan. Sebelum fajar mereka sampai tujuan—sebuah tambang raksasa, yang dibangun jauh di tengah-tengah pegunungan. Di sinilah para buruh-tani mulai menempuh hidup yang mengerikan sebagai budak, dengan pengawasan yang brutal dari para penjaga. Setelah diberi makanan bermutu rendah, mereka dipaksa bekerja bersama pekerja lain yang sudah berada di sana sebelumnya.

Hendak melepaskan diri dari penderitaan, sebagian buruh-tani mencoba melarikan diri. Apabila tertangkap, mereka dihukum di hadapan publik sebagai peringatan bagi yang lain. Jika tertangkap lagi karena berusaha melarikan diri untuk kedua kalinya, mereka langsung dihukum mati di depan umum. Ketika pekerja menjadi semakin tua, mereka saling mengandalkan satu sama lain sebagai teman, dan saling menceritakan pengalaman. Mereka tetap waras menceritakan pengalaman-pengalaman masa lalu. Waktu bergulir, anak-anak lahir. Orang tua begitu teliti menceritakan pengalaman mereka kepada anak-anak. Ketika anak-anak menjadi orangtua pula, mereka menceritakan tentang kakek dan nenek dari anak-anak  mereka namun dengan bobot yang sudah berubah. Tapi, bagi mereka ini adalah cerita-cerita sejarah yang disampaikan langsung, bukan dongeng berdasarkan pengalaman. Tatkala waktu berlalu, meskipun fakta-fakta kehidupan di pegunungan tetap sama, persepsi tentang kehidupan orang-orang yang hidup di situ berubah. Setelah lima atau enam generasi budak dilahirkan, pengetahuan mereka tentang dunia masa lampau nenek moyang mereka lambat laun menghilang. Dituturkan juga sih, kadang-kadang. Namun, cerita berubah menjadi mitos di dunia cerita rakyat (folklore). Semua yang mereka ketahui dari pengalaman adalah perbudakan. Sejauh kemampuan mengingat, mereka adalah budak. Dalam dunia mereka, perbudakan adalah ”normal”. Sebagai akibatnya, menjadi budak adalah suatu yang sangat berbeda maknanya dengan pemaknaan nenek moyang mereka.

Proses yang sama terjadi pula pada pihak yang menindas. Ketika pandangan budak mengenai diri mereka sendiri berubah sepanjang masa, maka perlunya melakukan tindakan kekerasan juga semakin berkurang. Oleh karena melalui sosialisasi para budak sudah menerima posisi subordinat mereka, para penjaga tidak lagi menggunakan senjata dan pentungan. Artinya, mereka tidak lagi memandang diri mereka sebagai penjaga dalam pengertian seperti dahulu. Maka, jadilah mereka pihak yang dominan, dan pihak yang didominasi (subordinat), yang melalui sosialisasi, mengalami ketidaksetaraan di dunia dengan cara pandang yang sangat berbeda dari nenek moyang mereka.

Teori konflik menunjukkan kepada kita bahwa daripada sekadar menguraikan aturan-aturan kebudayaan dalam suatu masyarakat, kita harus secara cermat mengkaji isinya. Kita seyogyanya bertanya: ”Siapa yang memperoleh keuntungan dari seperangkat aturan tertentu dalam masyarakat, ketimbang hanya menguraikan perangkat-perangkat aturan yang lain.” Aturan-aturan kebudayaan itu tidak netral. Tentu saja teori konsensus benar bahwa manusia disosialisasikan ke dalam norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada. Namun, bagi teori konflik, itu baru separuh cerita. Kita juga harus menemukan apakah kelompok-kelompok tertentu memperoleh keuntungan lebih besar daripada yang lain sebagai akibat dari kehadiran perangkat aturan tersebut, dan lebih banyak membicarakan konstruksi dan interpretasinya. Jika kita mengikuti alur pemikiran ini, maka proses sosialisasi dalam konteks ini adalah instrumen dari keuntungan itu—yakni instrumen kekuasaan pihak yang mendominasi.

Dikutip dari Pengantar Buku Teori-teori Sosial Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme.

Agar Pembaca dapat mengulas tema di atas lebih dalam, kami lampirkan versi luring (offline) pdf “Teori-teori Sosial Dari Fungsionalisme hingga Post-modernisme” pada link di bawah ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer