Sumber gambar: humas_uinsby |
Jejak fenomenal Kiai
Asep Saifuddin Chalim membangun Ponpes Amanatul Ummah. Dari pondok ghedek
dengan belasan santri menjadi gedung-gedung megah dan ribuan santri, hingga
menarik kunjungan presiden
IDEALISME KIAI YANG PROFESOR
Oleh: Djoko Pitono
Suatu ketika Imam Al Ghazali bertutur: Seseorang yang berilmu
kemudian bekerja dengan ilmunya, dialah
orang besar di bawah kolong langit ini. Ia bagai matahari memberi cahaya
orang lain sedang ia sendiri bercahaya. Ibarat minyak kasturi yang baunya
dinikmati orang lain ia pun tetap harum.
Begitulah Al Ghazali melukiskan orang-orang yang bekerja sebagai
ustadz alias guru, mengamalkan ilmunya dengan penuh kesungguhan. Kata guru
sendiri dalam bahasa Indonesia tidak dapat diterjemahkan begitu saja sama
seperti dalam bahasa Inggris yakni teacher. Guru memiliki arti lebih luas
dibanding teacher. Menurut Wikipedia, dalam bahasa Sansakerta seorang guru juga
orang ahli, sahabat saga, konselor, pendamping, dan juga pemimpin spiritual.
Kata guru kemudian diadopsi kedalam bahasa Hindi, Marthi,
Bengali, Gujarati, dan banyak bahasa lainnya termasuk bahasa Indonesia. Sebagai
kata sifat guru berarti berbobot karena ilmu pengetahuan dan kearifan
spiritual. Entimologi esoterik dari istilah guru menggambarkan suatu metafora
peralihan dari kegelapan menjadi terang. Suku kata gu berarti kegelapan dan ru
berarti terang. Jadi guru bermakna seseorang yang membebaskan dari kegelapan
karena ketidaktahuan dan ketidaksadaran.
Pengasuh Pondok Pesantren Unggulan Amanatul Ummah, Prof. Dr KH
Asep Saifuddin Chalim, M.Ag., menuturkan, dirinya pernah mencoba untuk bekerja
di bidang lain. Semasa masih muda, beliau pernah mencoba berbisnis perikanan,
mengelola tambak dan kolam, tetapi gagal. Kali lain, mencoba bisnis barang
antik, namun juga tak berkembang. “Pada akhirnya dunia pendidikanlah dunia saya,”
kata Pak Kiai.
Terlahir dari keluarga NU tulen, Kiai Asep memang bernasab guru
alias ustadz, bahkan gurunya ustadz alias kiai. Ayahandanya, KH Abdul Chalim
dari Majalengka, Jawa Barat, adalah kiai pejuang nasionalis yang bersama ulama
terkemuka seperti KH Hasyim Asyari dan KH Wahab Chasbullah mendirikan Nahdlatul
Ulama. Namun sejak kecil, si kecil Asep telah terbiasa mandiri. Sejak lulus SD
dan dipondokkan di Ponpes Al Khoziny, Buduran, Sidoarjo, dan berlanjut hingga
meraih gelar doktor, dan pada akhir Februari 2020 ini dikukuhkan sebagai Guru
Besar (Profesor) Sosiologi, semua diraih dengan kerja keras.
Pergumulan keras dengan dunia pendidikan menjadikan Kiai Asep
mematok impian yang tinggi dari warga pondok pesantren yang berhasil
dikembangkan. Kepada lebih dari 700 guru/ustadz di pondoknya, beliau tak
bosan-bosannya menyampaikan pesannya: ”Jadilah guru yang baik, atau tidak
sama sekali.”
“Guru harus punya prinsip bahwa Amanatul
Ummah sekolah terbaik karena dia adalah gurunya. Oleh karena itu, anaknya harus
bersekolah di sekolah terbaik. Kalau guru tidak punya keyakinan demikian, ya
berarti dia tidak yakin kalau Amanatul Ummah terbaik. Konsekuensinya, ya dia
harus keluar dari Amanatul Ummah,” tutur Kiai Asep.
Ponpes Amanatul Ummah, yang kini mendidik lebih dari 10.000
santri, termasuk para mahasiswa Institut KH Abdul Chalim (IKHAC), secara
tertulis dan terbuka mencantumkan cita-citanya, yang juga lain daripada yang
lain.
Menurut Kiai Asep, para lulusan pondok modern ini dirancang akan
menjadi (1) ulama besar yang akan bisa menerangi Indonesia dan dunia; (2)
menjadi para pemimpin bangsanya juga pemimpin dunia yang akan mengupayakan
terwujudnya kesejahteraan dan tegaknya keadilan; (3) menjadi konglomerat besar
yang akan memberikan kontribusi maksimal bagi terwujudnya kesejahteraan bangsa
Indonesia; dan (4) menjadi ilmuwan dan para profesional yang berkualitas, ber-akhlaqul
karimah dan bertanggungjawab.
Sang Kiai merasa sedih melihat warga negeri ini, sebagian besar
Muslim, masih terpinggirkan. Baik secara sosial, ekonomi, maupun intelektual.
Seolah mereka bukan pemilik negeri ini.
“Amanatul Ummah, juga Institut KH Abdul Chalim, harus berada di
depan. Kami ingin menjadikan Indonesia sebagai pusat kebangkitan kembali
peradaban Islam yang mampu menerangi
dunia,” kata Sang Kiai pula.
Kiai
Profesor
Oleh:
Dahlan Iskan
Untuk
apa sampai perlu mengejar gelar profesor?
Bagi
Kiai Asep Saifudin Chalim tujuannya konkret sekali: ingin membuka universitas
internasional.
Dan
ia sendiri yang akan memimpinnya.
Dan
itu harus terjadi dalam lima tahun ini.
Hakekatnya
beliau sudah mampu melakukan itu tanpa gelar profesor. Baik dari segi
finansial, jaringan, kapasitas intelektual, maupun ide besar. Dan utama dari
track record-nya di bidang pembangunan pendidikan.
Tapi
persyaratan formal dari pemerintah mengharuskan gelar doktor dan profesor.
”Inilah
penganugerahan gelar profesor yang tidak perlu mempersoalkan hakekatnya. Ini
hanya syari'atnya saja,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel
Surabaya.
Sang
rektor, Prof. Dr. Masdar Hilmy adalah orang Tegal dengan gelar doktor dari
Melbourne University. Sejak muda Masdar sudah menjadi penulis di koran
nasional, termasuk Kompas. Tema tulisannya biasanya tentang multikulturalisme.
Masdar
tahu persis kapasitas dan hasil karya Kiai Asep. ”Beliau sebenarnya sudah tidak
memerlukan gelar ini,” kata Prof. Masdar Hilmy dalam pidatonya Sabtu lalu.
Untuk
mendirikan perguruan tinggi internasionalnya itu Kiai Asep sudah menyiapkan
tanah 60 hektare. Lokasinya di Pacet, di perbukitan cukup indah di selatan
Mojokerto, Jatim.
Di
Pacet itu pula Kiai Asep membangun pondok pesantren. Sudah dilakukan.
Tergolong
baru: tahun 2007. Tapi perkembangannya luar biasa pesat : mutunya, sistem
pengajarannya maupun fisik kampusnya.
Areal
tanahnya bertambah terus. Tiap bulan beli tanah baru. Awalnya hanya 1 hektare.
Kini sudah mencapai 40 hektare lebih. Dan akan segera menjadi 100 hektare.
Siswanya
juga terus bertambah.
Kini
sudah lebih 10.000 orang. Belum ada pesantren baru yang kepesatan
pertumbuhannya secepat itu.
Nama
pesantren tersebut: Amanatul Ummah. Tidak ada hubungannya dengan Partai Amanat
Nasional --yang dibidani Muhammadiyah itu. Kiai Asep adalah tokoh NU (Nahdlatul
Ulama). Bahkan ia jadi NU sudah sejak sebelum lahir. Ayahnya adalah salah satu
kuai besar pendiri NU --Kiai Abdul Chalim.
Sebetulnya
Kiai Asep sudah pula mendirikan perguruan tinggi di Pacet itu. Saya ikut
peresmiannya, empat tahun lalu. Lokasinya di sebelah Amanatul Ummah.
Namanya:
Institute Abdul Chalim --untuk menghormati bapaknya. Sudah pula memiliki
mahasiswa dari 10 negara.
Tapi
Kiai Asep belum puas dengan semua itu. Ia akan terus mengembangkan pendidikan.
Sampai terbayar ”dendam” nya waktu kecil.
Waktu
itu awal Orde Baru. Sepanjang jalan di Jatim --arah Pandaan-- banyak berdiri
pabrik baru. Mayoritas milik asing.
Ia
pun berpikir siapa yang akan bekerja di situ. Pasti hanya yang berpendidikan
dan yang pintar. Tidak mungkin pribumi Islam bisa bekerja di situ.
Maka
Asep muda menetapkan arah hidupnya: meningkatkan kualitas manusia Indonesia.
Lewat pendidikan.
Itu
tidak mudah. Ayahnya meninggal saat Asep masih kelas 2 SMPN 1 Sidoarjo. Tidak
ada lagi kiriman bekal hidup.
Apalagi
ia anak bungsu dari 21 bersaudara.
Kisah
Asep di SMP ini dituturkan dengan sangat baik oleh . Gatot Sujono --teman satu
kelasnya.
Di
forum penganugerahan itu Gatot --juga saya-- diminta memberikan testimoni.
Tugas itu ia laksanakan dengan amat menarik dan lucu.
Saat
sekolah di SMP dulu Asep tinggal di pondok pesantren Al Khoziny --yang
didirikan oleh KH Abbas Khozin.
Ayahnyalah
yang menitipkan Asep kecil di situ. Sang ayah memang pernah lama di Jatim
--berguru ke KH Wahab Chasbullah yang juga salah satu pendiri NU.
Di
pondok itu semua santri masak sendiri --kecuali Asep. Itu karena Asep tidak
punya bahan yang bisa masak.
Tengah
malam barulah Asep ke dapur. Ia mencucikan tempat masak santri lainnya --yang
biasanya digeletakkan begitu saja tanpa dicuci. Tujuan lainnya: mendapatkan
sisa nasi yang biasanya tertinggal di dasar tempat tanak. Yakni nasi yang sudah
jadi intip-kerak.
Semua
alat masak temannya bersih. Ia pun dapat makanan --sekali itu dalam sehari.
Di
pondok itu Asep belajar kitab-kitab agama di malam hari. Pagi-pagi berjalan
kaki ke SMPN 1 Sidoarjo --sejauh sekitar 5 Km.
Asep
juga hanya mempunyai satu buku tulis --pelajaran apa pun ditulis di satu buku
situ.
Gatot
berteman akrab karena satu bangku dengan Asep di pojok paling belakang.
Pun
waktu keduanya meneruskan sekolah di SMAN 1 Sidoarjo.
”Beliau
itu pemberani. Waktu main sepak bola satu-satunya yang tidak pakai sepatu.
Beliau tidak takut terinjak sepatu bola,” ujarnya.
Selama
bersahabat, seingat Gatot, hanya sekali bertengkar. Tapi seru sekali. Dan lama
sekali.
Penyebabnya
tidak sepele. Itu terjadi waktu Gatot menulis cerita pendek. Tulisannya
disalahkan oleh Asep. Gatot tidak mau terima itu.
Itu
soal bunyi kokok ayam jantan.
”Bunyi
kokok ayam jantan kok kukuruyuk,” ujar Asep seperti yang ditirukan Gatot.
Waktu
itu Gatot lagi mendiskripsikan datangnya fajar pagi. Yang biasa ditandai dengan
kokok ayam jantan: kukuruyuuuuuuuk!
”Bunyi
kokok ayam itu kongkorongkoooong,” ujar Asep memberikan koreksi.
Pertengkaran
pun terjadi.
Tidak
pernah terselesaikan.
Lalu
Asep berhenti sekolah di kelas 2 SMA itu. Tidak ada lagi biaya setelah sang
ayah meninggal dunia. Ia pun pamit kepada kiai pondok Al Khoziny.
”Waktu
itu beliau sudah pandai matematika, bahasa Inggris dan bahasa Arab,” ujar
Gatot.
Pamit
ke mana?
Tidak
tahu. Asep tidak punya tujuan pasti hendak ke mana. Ia pun berjalan ke timur.
Ke arah Lumajang. Lalu Jember. Banyuwangi. Probolinggo. Akhirnya berhenti di
Pasuruan. Ia mengajar matematika di sebuah sekolah di pedesaan Pasuruan.
Perjalanan
itulah yang terpatri dalam otak dan hatinya: saat melihat banyaknya pabrik PMA
di sepanjang jalan.
Saat
meninggalkan pondok dan SMA Sidoarjo itu Asep hanya membawa satu tas. Isinya
pun hanya dua stel baju dan dua buku: kamus bahasa Inggris dan Arab.
Di
Pasuruan itu Asep ikut ujian persamaan SMA. Lulus. Lalu masuk IKIP Surabaya
--jurusan bahasa Inggris.
Dengan
bekal ijazah sarjana muda Asep bisa mengajar lebih resmi. Lalu kuliah lagi di
jurusan bahasa Inggris di IKIP Malang. Sampai menjadi sarjana.
Ia
masih kuliah lagi di UIN Sunan Ampel Surabaya. Untuk jurusan sastra Arab.
Sampai sarjana muda.
Saat
di Surabaya itu Asep mendirikan pondok pesantren. Yakni di Siwalankerto
--sekitar 2 Km dari UIN Surabaya sekarang ini.
Asep
tahu untuk mendirikan sekolah diperlukan syarat formal kesarjanaan. Ia pun
kuliah S2 di Universitas Islam Malang. Lalu S3 di Universitas Merdeka, juga di
Malang. Dan kini Asep menjadi Prof. DR. KH Asep Saifudin Chalim.
Presiden
Joko Widodo hadir di acara pengukuhan Sabtu lalu. Saat menuju panggung Presiden
Jokowi menghadap ke senat guru besar dulu. Lalu membungkuk khusu' memberi
hormat. Demikian pula setelah turun dari podium. Kembali menghadap senat dan
kembali membungkuk hormat.
”Bapak
Presiden Jokowi itu orang sholeh,” ujar Kiai Asep saat memulai pidato. Waktu
itu presiden belum tiba di tempat penganugerahan. ”Tempat yang disinggahi orang
sholeh akan mendapat berkah,” tambahnya.
Kiai
Asep memang memegang peran utama atas kemenangan telak Jokowi di Jatim.
Padahal
kalau suara di Jatim imbang saja, Prabowo lah yang menjadi presiden sekarang
ini.
Gatot
sendiri berpisah total dari Asep. Setamat SMA Gatot melamar kerja di
kementerian keuangan. Ia ditempatkan di kantor bendahara negara di Samarinda.
Sebelas
tahun Gatot di Kaltim. Sambil kuliah ekonomi di Universitas Mulawarman. Di
Samarinda pula ia menemukan isterinya sekarang --anak orang Malang yang juga
merantau ke Samarinda.
Gatot
lantas mendapat bea siswa ke Amerika. Ia kuliah di University of Delaware di
Newark. Lalu mendapat bea siswa lagi untuk gelar doktor di Universitas Negeri
Malang.
Setelah
pensiun kini Gatot ikut mengajar di Institute Abdul Chalim milik Asep.
Pertengkaran
saat SMA pun berakhir. Itu karena Gatot akhirnya tahu: di Jawa Barat bunyi
kokok jago adalah 'kongkorongkooong'.
Gatot
sama sekali tidak tahu kalau Asep itu anak kelahiran Majalengka --anak kiai
besar di sana. ”Selama di SMA beliau menggunakan bahasa Jawa yang halus,” ujar
Gatot.
Saya
ikut memberikan pidato testimoni di forum penganugerahan itu. Saya ingat saat
ingin salat subuh di Pacet. Saya berangkat dari Surabaya jam 3 pagi. Tapi saat
tiba di Amanatul Ummah sudah agak telat: mendapat tempat salat di emperan
masjid.
Habis
salat Subuh tidak ada yang keluar masjid. Diteruskan dengan kajian kitab
kuning. Semua santri membuka kitabnya. Saya ikut kitab santri di sebelah saya.
”Siapa
yang mengajar itu,” tanya saya kepada santri di sebelah saya.
”Beliaunya
Kiai Asep,” jawab si santri.
Oh...
Inilah kunci sukses Kiai Asep, kata saya dalam hati. Beliau total sekali dalam
mengurus lembaga pendidikannya. Termasuk masih mengajar sendiri untuk kajian
tertentu.
Ternyata,
tiap hari, Kiai Asep berangkat dari pondoknya di Siwalankerto Surabaya ke
Pacet. Tiap jam 2.30 pagi .. Tiap hari.
Perjuangan
beliau sangat tidak mudah, walaupun nasabnya berasal dari Kiai Pendiri NU Kiai
Chalim, Majalengka, namun Prof. KH. Asep Saifuddin Chalim berjuang dari nol.
Mulai mendirikan pesantren hingga Institut dan sebentr lagi menyusul International
University. Kesusahan dan kesengsaraan (baca: prihatin) yg dialaminya waktu
kecil dan cita-cita besar ayahandanya yg ingin memiliki pesantren kini telah
diwujudkan oleh Putranya Prof. KH. Asep Saifuddin Chalim.
Kisah
ini sangat menginspirasi. Inilah sosok idola yang seharusnya diteladani oleh
kawula muda. Prinsip beliau paling tidak sama "plek" dengan Bung
Karno, "Indonesia harus berdikari dikaki sendiri".
Dikutip
dari buku Impian Besar Sang Kiai dan disway.id
Agar
pembaca dapat mengulas lebih jauh tema pembahasan di atas, maka kami lampirkan
versi luring (offline) E-Book Impian Besar Sang Kiai pdf di bawah ini.
0 komentar:
Posting Komentar