Hubungan (senggama) suami-istri merupakan kenikmatan dunia yang menduduki
posisi puncak tertinggi, atau klimaks. Menurut KH Sya'roni Ahmadi, Kudus,
kenikmatan dunia yang paling mendekati kenikmatan surga hanya satu, yaitu
ketika seseorang sedang berhubungan suami-istri. Meskipun kenikmatan itu masih
belum ada apa-apanya jika dibanding dengan kenikmatan surga, setidaknya hal
itulah yang paling mendekat ke sana.
Dalam bersenggama, masing-masing pasangan diperbolehkan menyentuh atau
bahkan memegang kelamin pasangan masing-masing tanpa ada perbedaan pendapat
dari kalangan ulama.
Suami diperbolehkan melihat semua sudut tubuh istrinya selain farji
(vagina) baik pada bagian luar atau dalam. Melihat vagina bagian dalam hukumnya
sangat dimakruhkan. Tetapi jika ada satu kebutuhan, melihatnya tidak makruh.
وَ) الضَّرْبُ
(الثَّانِي نَظَرُهُ) أَيْ الرَّجُلِ (إلَى) بَدَنِ (زَوْجَتِهِ وَ) إلَى بَدَنِ
(أَمَتِهِ) الَّتِي يَحِلُّ لَهُ الِاسْتِمْتَاعُ بِهَا (فَيَجُوزُ) حِينَئِذٍ
(أَنْ يَنْظُرَ إلَى) كُلِّ بَدَنِهِمَا حَالَ حَيَاتِهِمَا؛ لِأَنَّهُ مَحَلُّ
اسْتِمْتَاعِهِ (مَا عَدَا الْفَرْجَ) الْمُبَاحَ مِنْهُمَا، فَلَا يَجُوزُ
جَوَازًا مُسْتَوِيَ الطَّرَفَيْنِ فَيُكْرَهُ النَّظَرُ إلَيْهِ بِلَا حَاجَةٍ،
وَإِلَى بَاطِنِهِ أَشَدُّ كَرَاهَةٍ {قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى
عَنْهَا مَا رَأَيْت مِنْهُ وَلَا رَأَى مِنِّي} أَيْ الْفَرْجَ
Artinya, “Bagian kedua yaitu melihatnya seorang suami pada tubuh istrinya dan tubuh budak perempuannya yang halal baginya untuk ia buat senang-senang, hukumnya boleh melihat kepada tubuh kedua orang tersebut saat mereka masih hidup, karena itulah tempat untuk bersenang-senang, selain farji (vagina) yang diperbolehkan bagi mereka. Jika melihat vagina hukumnya tidak boleh dengan prosentase 50-50. Melihat vagina itu hukumnya makruh jika tanpa ada keperluan. Sedangkan melihat bagian dalam vagina sangat dimakruhkan.
Sayyidah 'Aisyah RA berkata, ‘Aku tak pernah melihat punyanya Rasul dan ia
juga tak pernah melihat punyaku,’ (farji),” (Lihat Muhammad bin Ahmad
As-Syarbini, matan dari Hasyiyah Al-Bujairimi Alal Khatib, Darul Fikr,
juz IV, halaman 103).
Melihat kemaluan istri, menurut sebagian ulama bisa menyebabkan kebutaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
Melihat kemaluan istri, menurut sebagian ulama bisa menyebabkan kebutaan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits,
النَّظَرُ إلَى الْفَرْجِ يُورِثُ الطَّمْسَ ) أَيْ
الْعَمَى
Artinya “Melihat kelamin seorang wanita itu bisa menyebabkan kebutaan.”
Ulama berbeda pendapat tentang buta yang dimaksud di
sini, ada yang menyebut buta mata bagi si pelaku itu sendiri, ada yang
mengatakan buta pada mata anaknya kelak. Ada pula yang menjelaskan bahwa buta
yang dimaksud di hadits tersebut adalah buta mata hatinya.
Ibnu Hibban dan imam-imam yang lain menganggap bahwa
kualitas hadis tersebut adalah dhaif. Bahkan Ibnul Jauzi memasukkan hadits ini
ke dalam kitabnya Al-Maudlu‘at yang berarti hadits ini adalah hadits
maudlu‘. Begitu pula Ibnu Adiy, hadits yang sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnul
Qatthan tersebut merupakan hadis munkar.
Ibnus Shalah mempunyai pandangan berbeda dengan ulama di atas. Ia menjelaskan bahwa hadits ini mempunyai level derajat hasan. Yang berarti bisa dipakai untuk tendensi.
Perlu diketahui, polemik perbedaan pendapat dalam memandang hadits di atas hanya berhenti pada masalah menyebabkan kebutaan atau tidaknya. Sedangkan masalah kemakruhan melihat vagina bagi suami tetap makruh jika tidak ada hajat (kebutuhan).
Ibnus Shalah mempunyai pandangan berbeda dengan ulama di atas. Ia menjelaskan bahwa hadits ini mempunyai level derajat hasan. Yang berarti bisa dipakai untuk tendensi.
Perlu diketahui, polemik perbedaan pendapat dalam memandang hadits di atas hanya berhenti pada masalah menyebabkan kebutaan atau tidaknya. Sedangkan masalah kemakruhan melihat vagina bagi suami tetap makruh jika tidak ada hajat (kebutuhan).
Artikel ini diambill dari nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar