Terminologi “Islam Populer” merupakan bentuk pengaruh
modernisasi terhadap nilai-nilai budaya Islam dalam masyarakat. Akulturasi
tersebut kemudian secara langsung maupun tidak langsung mengubah budaya Islam
yang semula dipersepsikan sebagai budaya konservatif, kovensional, dan
eksklusif menjadi lebih dinamis dan modernis. Ada berbagai contoh budaya Muslim
populer tersebut mulai dari fashion, musik, gaya bahasa, maupun juga perilaku
sehari-hari. Munculnya berbagai ragam produk Islam modern menunjukkan bahwa
budaya Islam sebenarnya berjalan dinamis. Hadirnya Islam Populer sendiri dapat
dikatakan sebagai strategi adaptasi masyarakat Muslim dalam menghadapi dinamika
zaman tanpa harus menanggalkan status sebagai umat. Komodifikasi nilai-nilai
modernis dalam budaya Islam ternyata menghasilkan adanya masyarakat Kelas
Menengah sebagai kelas yang memiliki karakteristik unik.
Islam Populer tersebut kemudian berkembang menjadi
identitas dan habitus dalam kasus Kelas Menengah kontemporer. Adapun Islam
Populer sebagai politik identitas sendiri dapat dimaksudkan sebagai bentuk
konstruksi yang dilekatkan sebagai bentuk simbol komunal yang mengikat bersama.
Secara lebih luas, pemaknaan terhadap konstruksi dimaksudkan bentuk
“penempelan” simbol-simbol kultural yang kemudian menjadi identitas pribadi maupun
kolektif. Pemaknaan terhadap konstruksi tersebut bisa disematkan baik dari
kalangan internal maupun eksternal. Adanya konstruksi terhadap identitas
tersebut erat dengan kebutuhan representasi dan juga rekognisi. Selama ini
adanya stigmatisasi yang dialamatkan kepada umat Islam sebagai umat yang kolot
dan koservatif setidaknya memberikan pengaruh negatif terhadap eksistensi umat
Islam itu sendiri.
Kalangan Muslim Kelas Menengah ingin diakui sebagai
masyarakat modern dengan menggunakan simbol-simbol modern. Namun demikian,
modernitas yang simetris dengan adanya liberalisme, hedonisme, dan pengaruh
westernisasi memberikan ruang negosiasi bagi Muslim Kelas Menengah
berimprovisasi. Hasilnya kemudian Muslim Kelas Menengah yang memegang nilai
shar‘î sebagai pedoman nilai dan norma. Adapun Islam Populer sebagai “habitus”
dimaknai sebagai bentuk perilaku yang kemudian berkembang menjadi kebiasaan
tersendiri yang membedakan dengan kelas lainnya. Konstruksi habitus itulah yang
kemudian menjadikan posisi Muslim Kelas Menengah mengalami diferensiasi
tersendiri. Pada akhirnya, pembahasan Muslim Kelas Menengah yang dibingkai
dalam paradigma “Islam Populer” berkembang sebagai komunitas hibrid yang
memadukan unsur Islam dan modernitas.
Sumber:
Wasiato Raharjo, “Islam Populer Sebagai Pencarian Identitas Muslim Kelas
Menengah Indonesia”, Jurnal Teosofi, Vol. 5, No, 1 (Juni 2015).
Berikut kami sertakan link pdf jurnal teosofi Islam
Populer
0 komentar:
Posting Komentar