Tak terasa bulan Ramadan telah
meninggalkan kita semua. Dalam kalender Hijriah, urutan setelah bulan Ramadan
adalah bulan Syawal. Secara alami, kita tidak bisa terus berada dalam bulan
Ramadan yang penuh rahmat dan ampunan Allah. Oleh karena itu, kita diharapkan
bisa terus meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan-bulan setelahnya yang
salah satunya adalah bulan Syawal.
Perkataan "Syawal" berasal
dari kata Arab, yaitu syala
yang berarti irtafa’a,
naik atau meninggi. Orang Arab biasa berkata,
syala al-mizan
(naik timbangan), idza
irtafa’a (apabila ia telah meninggi).
Lalu, yang menjadi pertanyaan,
mengapa bulan setelah Ramadan itu dinamai Syawal, bulan yang naik atau
meninggi? Ada dua alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:
Pertama, karena derajat kaum Muslim meninggi
di mata Allah. Hal ini disebabkan mereka mendapat pengampunan (maghfirah) dari Allah
setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Sebagaimana sabda Rasulullah,“Barang
siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan tulus kepada Allah, maka
dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” Ampunan Allah tersebut, dapat
diibaratkan seperti kaca yang dibersihkan oleh kain yang diberi pewangi,
sehingga kaca tersebut menjadi bersih dan kembali mengkilap seperti baru.
Kedua, karena secara moral dan spiritual,
kaum Muslim harus mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliah Ramadan
pada bulan ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadan tahun depan.
Dalam hal ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah dan amal saleh
sebagai kelanjutan dari pendidikan moral dan spiritual yang dilakukan selama
Ramadan, sebulan penuh.
Secara etimologi, arti kata syawal
adalah peningkatan. Hal itu merupakan target ibadah puasa. Pasca-Ramadan
diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat ketakwaan, seorang Muslim
yang terlahir kembali seperti kertas yang masih bersih, sehingga di bulan
Syawal ini kualitas keimanannya mengalami peningkatan. Tidak hanya kualitas
ibadah, tetapi juga kualitas pribadinya, yang selama di bulan Ramadan dilatih
secara lahir batin.
Makna dan semangat peningkatan amal
ini dapat dilihat dari perintah puasa di bulan ini, walaupun hukumnya sunah,
tetapi sangat dianjurkan (sunnah
muakkad). Setelah berlebaran pada 1 Syawal, kaum Muslim dianjurkan
agar berpuasa dalam bulan Syawal selama enam hari, tidak mesti berturut-turut.
Sebab, puasa tersebut amat besar pahalanya. Rasulullah bersabda,"Barang
siapa berpuasa di bulan Ramadan lalu berpuasa lagi enam hari di bulan Syawal,
maka ia seolah-olah berpuasa selama satu tahun.”
Namun tidak demikian yang terjadi di
masyarakat, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Syawal, seakan-akan bulan
yang ditunggu-tunggu agar terlepas dari belenggu dan bebas melakukan kegiatan
apa saja seperti sedia kala. Indikatornya yang sangat jelas, antara lain adanya
perayaan Idul Fitri dengan pesta atau dengan kegiatan yang bertentangan dengan
nilai-nilai ke-Islam-an, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan
sebelumnya ditutup. Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari
petama bulan Syawal.
Na’udzubillah! Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi
dari jemaah salat lima waktu. Lantunan ayat suci Alquran juga tidak lagi
terdengar. Yang ada justru umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali
membudaya. Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci
dengan bersih kembali penuh noda?
Dengan demikian, Idul Fitri dan
Syawal sesungguhnya mengandung semangat peningkatan ibadah dan amal saleh. Oleh
sebab itu, sayang rasanya apabila di antara kaum Muslim pasca-Ramadan, malah
kembali melakukan dosa-dosa dan berpaling dari petunjuk Allah. Memang, pada
dasarnya manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan dosa. Tetapi,
hendaknya kita berusaha untuk meminimalkannya agar tidak larut dalam hal
tersebut. Begitu pula, kesucian diri kita harus dijaga dan dipelihara sepanjang
waktu, sesuai dengan prinsip istikamah yang diajarkan oleh Islam.
Sikap istikamah dalam beribadah dan
berbuat baik harus kita jaga sampai malaikat maut mencabut nyawa kita. Semakin
hari, seharusnya kita semakin giat lagi dalam beribadah dan mendekatkan diri
pada Allah SWT, karena usia kita tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawab.
Artikel ini pernah dipublikasikan di
beritasatu.com yang ditulis oleh Fajar Shofari Nugraha
Kami sertakan link unduhan pdf di
bawah ini agar pembaca bisa mengakses dan memahami lebih jauh makna dan segala
hal yang berkaitan dengan bulan Syawal
0 komentar:
Posting Komentar