Pages

Sabtu, 15 Juni 2019

Syawal: Bulan Spirit Peningkatan Ibadah



Tak terasa bulan Ramadan telah meninggalkan kita semua. Dalam kalender Hijriah, urutan setelah bulan Ramadan adalah bulan Syawal. Secara alami, kita tidak bisa terus berada dalam bulan Ramadan yang penuh rahmat dan ampunan Allah. Oleh karena itu, kita diharapkan bisa terus meningkatkan kualitas ibadah kita di bulan-bulan setelahnya yang salah satunya adalah bulan Syawal.
Perkataan "Syawal" berasal dari kata Arab, yaitu syala yang berarti irtafa’a, naik atau meninggi. Orang Arab biasa berkata, syala al-mizan (naik timbangan), idza irtafa’a (apabila ia telah meninggi).
Lalu, yang menjadi pertanyaan, mengapa bulan setelah Ramadan itu dinamai Syawal, bulan yang naik atau meninggi? Ada dua alasan yang dapat dikemukakan, yaitu:
Pertama, karena derajat kaum Muslim meninggi di mata Allah. Hal ini disebabkan mereka mendapat pengampunan (maghfirah) dari Allah setelah menunaikan ibadah puasa Ramadan. Sebagaimana sabda Rasulullah,“Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan karena iman dan tulus kepada Allah, maka dosa-dosanya akan diampuni oleh Allah.” Ampunan Allah tersebut, dapat diibaratkan seperti kaca yang dibersihkan oleh kain yang diberi pewangi, sehingga kaca tersebut menjadi bersih dan kembali mengkilap seperti baru.
Kedua, karena secara moral dan spiritual, kaum Muslim harus mempertahankan dan meningkatkan nilai-nilai amaliah Ramadan pada bulan ini dan bulan-bulan berikutnya hingga datang Ramadan tahun depan. Dalam hal ini, Syawal justru bermakna bulan peningkatan ibadah dan amal saleh sebagai kelanjutan dari pendidikan moral dan spiritual yang dilakukan selama Ramadan, sebulan penuh.
Secara etimologi, arti kata syawal adalah peningkatan. Hal itu merupakan target ibadah puasa. Pasca-Ramadan diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat ketakwaan, seorang Muslim yang terlahir kembali seperti kertas yang masih bersih, sehingga di bulan Syawal ini kualitas keimanannya mengalami peningkatan. Tidak hanya kualitas ibadah, tetapi juga kualitas pribadinya, yang selama di bulan Ramadan dilatih secara lahir batin.
Makna dan semangat peningkatan amal ini dapat dilihat dari perintah puasa di bulan ini, walaupun hukumnya sunah, tetapi sangat dianjurkan (sunnah muakkad). Setelah berlebaran pada 1 Syawal, kaum Muslim dianjurkan agar berpuasa dalam bulan Syawal selama enam hari, tidak mesti berturut-turut. Sebab, puasa tersebut amat besar pahalanya. Rasulullah bersabda,"Barang siapa berpuasa di bulan Ramadan lalu berpuasa lagi enam hari di bulan Syawal, maka ia seolah-olah berpuasa selama satu tahun.”
Namun tidak demikian yang terjadi di masyarakat, fenomena yang terjadi justru sebaliknya. Syawal, seakan-akan bulan yang ditunggu-tunggu agar terlepas dari belenggu dan bebas melakukan kegiatan apa saja seperti sedia kala. Indikatornya yang sangat jelas, antara lain adanya perayaan Idul Fitri dengan pesta atau dengan kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai ke-Islam-an, dibukanya kembali tempat-tempat hiburan yang sebulan sebelumnya ditutup. Kemaksiatan seperti itu justru langsung ramai sejak hari petama bulan Syawal. Na’udzubillah! Lalu setelah itu, masjid-masjid akan kembali sepi dari jemaah salat lima waktu. Lantunan ayat suci Alquran juga tidak lagi terdengar. Yang ada justru umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali membudaya. Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan bersih kembali penuh noda?
Dengan demikian, Idul Fitri dan Syawal sesungguhnya mengandung semangat peningkatan ibadah dan amal saleh. Oleh sebab itu, sayang rasanya apabila di antara kaum Muslim pasca-Ramadan, malah kembali melakukan dosa-dosa dan berpaling dari petunjuk Allah. Memang, pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari berbuat salah dan dosa. Tetapi, hendaknya kita berusaha untuk meminimalkannya agar tidak larut dalam hal tersebut. Begitu pula, kesucian diri kita harus dijaga dan dipelihara sepanjang waktu, sesuai dengan prinsip istikamah yang diajarkan oleh Islam.
Sikap istikamah dalam beribadah dan berbuat baik harus kita jaga sampai malaikat maut mencabut nyawa kita. Semakin hari, seharusnya kita semakin giat lagi dalam beribadah dan mendekatkan diri pada Allah SWT, karena usia kita tidak ada yang mengetahui, kecuali Allah SWT. Wallahu a’lam bisshawab.

Artikel ini pernah dipublikasikan di beritasatu.com yang ditulis oleh Fajar Shofari Nugraha

Kami sertakan link unduhan pdf di bawah ini agar pembaca bisa mengakses dan memahami lebih jauh makna dan segala hal yang berkaitan dengan bulan Syawal

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer