Pages

Kamis, 11 Juli 2019

Al Ghazali, Hermetisme, dan Dualisme Ketuhanan



Ibnu Taymiyyah, dalam karyanya yang terkenal, Majmu al-Fatawa, mengulas dengan sangat menarik pemikiran al-Ghazali yang telah terkontaminasi oleh aliran-aliran kebatinan pasca kritiknya terhadap filsafat.

Dalam hal ini, Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa ada beberapa karya akhir al-Ghazali yang menyebutkan pandangan-pandangan yang diklaim al-Ghazali sendiri sebagai rahasia-rahasia kebenaran (asrar al-haqa’iq) yang diisyaratkan beberapa ayat Alquran. Padahal, kata Ibnu Taymiyyah, pandangan-pandangan tersebut tidak lain merupakan:

قول الصابئة المتفلسفة بعينه قد غيرت عبارتهم وترتيباتهم

“Pandangan kaum filosof Sabean itu sendiri yang kemudian secara lihai istilah-istilahnya diubah [oleh al-Ghazali]”

Tak hanya itu, Ibnu Taymiyyah menilai bahwa al-Ghazali:

يميل إلى الفلسفة لكنه أظهرها في قالب التصوف والعبارات الإسلامية

“Lebih cenderung ke pandangan filsafat namun bahasanya dikemas ke dalam istilah-istilah tasawuf dan istilah-istilah Islami”

Bahkan lebih jauh lagi, Ibnu Taymiyyah, masih dalam Majmu Fatawa, mengatakan:

وقد حكى عنه من القول بمذاهب الباطنية ما يوجد تصديق ذلك في كتبه

“Konon, al-Ghazali banyak mengadopsi pandangan aliran-aliran kebatinan. Hal demikian memang benar adanya jika kita mencoba menilik langsung karya-karyanya.”

Dalam pengamatan Ibnu Taymiyyah yang sangat jeli di atas, kita temukan beberapa kata kunci penting yang digunakannya dalam menilai pandangan-pandangan al-Ghazali, misalnya kata qoul as-sabiah al-mutafalsifah “pandangan kaum filosof Sabean”, yamil ila al-falsafah “lebih cenderung ke pandangan filsafat”, dan kata al-qaul bi-madzahib al-Batiniyyah “pandangan aliran-aliran kebatinan”.

Tiga pilihan kata ini mengundang tanda tanya sebenarnya apa yang dimaksudkan Ibnu Taymiyyah dengan kata-kata seperti filsafat, Sabean, dan aliran-aliran kebatinan.

Namun untuk menjawab ini, perlu kita perhatikan sejenak pandangan al-Biruni bahwa dalam sejarahnya, warisan kebudayaan asing yang pertama kali hadir secara kuat dalam kebudayaan Islam ialah warisan aliran-aliran irasional kuna yang disebut sebagai filsafat keagamaan Hermes.

Dalam karya-karya Ikhwan as-Shofa disebut sebagai Hirmis Muthallath al-Hikmah (dalam bahasa Perancis diterjemahkan Hermes Trismejiste).

Kekayaan intelektual kuna yang irasional ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa Arab di masa Muawiyah II. Pandangan demikian kemudian dipertegas lagi oleh Louis Massignon dalam karyanya Inventaire de La Litterature Hermetique Arabe dan Festugiere dalam karyanya La Revelation d’Hermes Trismejiste.

Hermes ini dalam tahap tertentu, ajaran-ajarannya juga bercampur baur dengan Neo-Platonisme dengan wajah ketimurannya.

Dengan kata-kata lain, ketiga pilihan diksi di atas yang digunakan Ibnu Taymiyyah dalam menilai pemikiran al-Ghazali tidak lain maksudnya ialah filsafat Hermes itu sendiri, filsafat kebatinan yang al-Ghazali adopsi dari hasil pembacaannya terhadap filsafat Ibnu Sina, al-Hallaj, al-Junaid, al-Busthami dan dari hasil pembacaannya terhadap aliran kebatinan Syiah Isma’iliyyah, suatu aliran yang pernah dikritiknya habis-habisan dalam kitabnya yang terkenal, Fada’ih al-Batiniyyah.

Aliran kebatinan yang dikritiknya ini pada tahap selanjutnya, tahap pasca krisis intelektual dan spiritual, diadopsi secara langsung oleh al-Ghazali dalam beberapa karya akhirnya seperti Misykat al-Anwar, al-Maqsad al-Asna, Jawahir al-Quran, al-Ma’arif al-Aqliyyah, Ma’arij al-Quds, al-Munqidz min ad-Dalal dan al-Madnun bihi ala Ghair Ahlihi.

Menariknya, dalam al-Madnun bi-hi ala Ghairi Ahlihi ini, pasca menulis kitab Tahafut al-Falasifah dan Fadaih al-Batiniyyah, al-Ghazali mengadopsi pandangan filsafat yang dulu pernah dikafirkannya; yakni pandangan mengenai kekekalan alam semesta dan pandangan bahwa Tuhan tidak dapat mengetahui wujud partikular (juz’iyyat).

Al-Ghazali mengadopsi dua pandangan ini bukan melalui cara-cara yang argumentatif tapi melalui jalur kebatinan atau metode irfani. Hebatnya, al-Ghazali menggunakan istilah-istilah yang quranik untuk mendukung pandangannya tersebut.

Sebagian ahli menilai bahwa karya ini bukan karya original al-Ghazali karena di dalamnya mengandung pandangan-pandangan yang pernah ditentang oleh al-Ghazali sendiri dalam karya-karyanya terdahulu.

Namun seperti yang diklarifikasi oleh Ibnu Taymiyyah sendiri yang membaca secara keseluruhan karya-karya al-Ghazali dan yang paham betul dengan gaya berfikir dan gaya bahasanya al-Ghazali menegaskan bahwa al-Madnun merupakan karya original al-Ghazali.

Jauh di kemudian hari, pandangan Ibnu Taymiyyah ini kemudian dipertegas oleh Abdur-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat al-Ghazali, sebuah karya yang fokus  mengidentifikasi karya-karya yang pernah ditulis al-Ghazali.

Pembacaan singkat terhadap al-Ghazali melalui Ibnu Taymiyyah di atas jelas tidak adil jika kita tidak membuktikan secara langsung kebenaran penilaian yang disampaikan Ibnu Taymiyyah.

Karena itu, pertanyaan yang muncul ialah benarkah al-Ghazali mengadopsi pandangan Hermes dalam pemikirannya? Jika benar, apa saja istilah-istilah Hermes yang diislamkan oleh al-Ghazali dan yang disebutnya sebagai asrar al-haqa’iq dalam karya-karya akhirnya? Dua pertanyaan ini jelas tujuannya ialah untuk menguji pandangan Ibnu Taymiyyah di atas.

Untuk menjawab dua pertanyaan ini, kiranya kita hanya akan memfokuskan perhatian pada konsep ketuhanan menurut Hermes untuk kemudian dicarikan titik temunya dengan pandangan al-Ghazali yang diklaim Ibnu Taymiyyah telah terkontaminasi dengan aliran filsafat kebatinan tersebut.

Coba kita simak yang ditulis oleh Festugiere dalam La Revelation d’Hermes Trismejiste dalam paparannya mengenai dualitas ketuhanan yang dianut oleh Hermetisme.

Hermetisme, kata Festugiere, memandang bahwa di alam semesta ini hanya ada dua entitas ketuhanan di mana yang satu bergantung kepada yang lain. Dua tuhan ini yang menjadi prinsip dasar ajaran Hermes mengenai metafisikanya:

Pertama, Tuhan transendental (dalam bahasa Arab disebut al-ilah al-muta’ali), Tuhan yang tidak bisa disifati dan tidak terjangkau oleh akal dan pengamatan. Konsekuensinya, Ia tidak bisa diketahui, kata Festugiere, kecuali dengan teologi negatif: Ia Maha Suci dari segala keserupaan dengan yang ada di alam.

Ia tidak memiliki hubungan dengan seluk beluk alam, dan dalam ilmu-Nya tidak ada relasi sedikitpun dengan alam karena alam diliputi segala kekurangan, sementara Tuhan Hermes ini Maha Suci dari segala keterkaitan dengan segala sesuatu yang kurang. Oleh karena itu, tidak akan mungkin kita mengetahui-Nya melalui proses merenungkan alam dan tatanannya (melalui akal dan indera).

Alam tidak akan mendorong manusia untuk sampai kepada-Nya karena tidak ada hubungan Tuhan yang transenden ini dengan alam.

Kedua, Tuhan Pencipta (dalam bahasa Arab disebut al-ilaah al-shani’). Ia adalah Tuhan yang menciptakan alam dan menampakan diri dalam alam sehingga bisa dijangkau melalui perenungan terhadap alam dan tatanannya.

Karena boleh dikata, Tuhan Pencipta ini berada di segala tempat, kemana arah manusia menghadap ia akan melihat-Nya, segala hal yang ada di dunia ini memberi kesaksian atas keberadaannya. Pengertian semacam ini, kata Festugiere, dapat kita pahami dalam teks Hermes “jika engkau hendak melihat Allah lihatlah langit, pergerakan bulan dan susunan bintang-bintang. Kemudian tanyakan kepada dirimu sendiri, siapakah yang menciptakan dan menjaga semua itu?”

Dalam teks lain, ketika Hermes berdialog dengan muridnya disebutkan “apakah engkau menyatakan bahwa Tuhan [Pencipta] itu tidak bisa dijangkau oleh nalar dan indera? Jangan berkata begitu. Siapa dan apa di dunia ini yang penampakannya lebih jelas dan terang dari Tuhan? Ia menciptakan segala sesuatu hanya karena ingin dikenali dan bisa dilihat oleh seluruh makhluk-Nya.”

Dengan kata-kata lain, ada dualisme ketuhanan dalam metafisika Hermes; Tuhan Transendental dan Tuhan Pencipta. Lalu apa kaitannya konsep ketuhanan ini dengan al-Ghazali? Dalam bukunya yang terkenal, Misykat al-Anwar, al-Ghazali menjelaskan tiga kelompok manusia yang terhalang untuk memahami hakikah ketuhanan;

Pertama, kelompok manusia yang tidak mengenal Allah dan hari akhir karena mereka berpandangan bahwa tidak ada wujud selain alam dan zaman. Mereka ini, kata al-Ghazali, terhalang untuk memahami Tuhan.

Kedua, kelompok manusia yang mengakui wujud Tuhan namun mereka memiliki persepsi yang keliru tentang Tuhan. Mereka mengandalkan panca indera, imaginasi atau argumentasi akal untuk memahami wujud Tuhan sehingga mereka terjebak dalam paham bahwa Tuhan ber-jisim atau bahkan mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluknya atau menyifati sifat Tuhan dengan sifat makhluknya seperti yang dilakukan oleh kaum mutakallimun.

Ketiga, kelompok manusia yang memahami Tuhan dengan menggunakan akal murni. Para filosof termasuk kepada kelompok ini. Mereka memahami Tuhan bukan dengan menyandarkan sifat-sifat kepada-Nya seperti ilmu, kekuasaan, pendengaran, berbicara dan lain-lain. Mereka memahami Tuhan melalui manifestasinya dalam alam semesta ini. bahkan di kalangan mereka, kata al-Ghazali, ada yang berpandangan bahwa Tuhan ialah penggerak alam semesta berikut tata surya di dalamnya.

Sebagian lain berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mungkin yang menggerakkan semesta secara langsung. Harus ada perantara seperti malaikat yang mematuhi segala perintah-Nya. Mereka menjadikan Allah sebagai zat yang ditaati (al-Mutha’) oleh makhluk penggerak alam ini. Menurut al-Ghazali, mereka masih tetap terhalang dalam memahami ketuhanan karena mereka masih terpenjara oleh akal.

Setelah menjelaskan tiga kelompok manusia ini, al-Ghazali langsung menjelaskan kelompok keempat, atau dengan kata-kata lain, kelompok manusia yang tidak ada hijab atau tirai dalam hubungannya dengan Tuhan. al-Ghazali menamai kelompok ini sebagai al-Washilun, ‘orang-orang yang sampai kepada Tuhan’.

Manusia pada kelompok ini melihat Zat yang Ditaati (al-Mutha’) bukan sekadar sebagai Tuhan namun juga sebagai entitas ketuhanan yang lain yang berbeda dari yang disebutnya  sebagai Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (dalam bahasa al-Ghazali al-Munazzah al-A’la) yang tidak bisa disifati dan dijangkau oleh nalar. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan:

الواصلون….تجلى أيضا لهم أن هذا المطاع موصوف بصفة تنافي الوحدانية المحضة والكمال البالغ

“Orang-orang yang sampai kepada Tuhan…tampak di hadapan mereka bahwa Zat yang Ditaati ini tersifati oleh sifat yang berlawanan dengan Keesaan Murni dan Kemahasempurnaan.”

Kutipan ini menunjukkan bahwa tidak ada keesaan mutlak dalam ketuhanan. Yang ada hanyalah dualitas ketuhanan yang pasti. Hal demikian karena Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (Al-Awwal al-A’la) tidak boleh baginya mengurusi alam semesta karena jika mengurusi alam semesta yang rendah ini sama saja dengan merendahkan diri-Nya yang Maha Tinggi.

Karena itu, Zat Yang Ditaati-lah (al-Mutha) yang menciptakan dan menggerakan langit dan seluruh tatanan surya ini.

Hubungan Zat Yang Ditaati dengan Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (Al-Awwal al-A’la) ibarat hubungan pancaran cahaya-cahaya matahari dengan matahari itu sendiri.  Dan dari pancaran cahaya-cahaya ini, atau dengan kata lain dari Zat yang Ditaati ini, al-Washilun menghadap ke Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (Al-Awwal al-A’la).

فوصلوا إلى موجود منزه عن كل ما أدركه بصر قبلهم فأحرقت سبحات وجهه (الأول الأعلى) جميع ما أدركه بصر الناظرين وبصيرتهم إذ وجدوه مقدسا منزها عن جميع ما وصفناه قبل.

“Akhirnya sampailah mereka kepada maujud yang Maha Suci dari jangkauan orang-orang selain mereka. Lalu al-Awwal al-A’la ini membakar setiap jangkauan penglihatan orang-orang yang melihat dan membakar mata batin mereka sehingga yang mereka temukan hanyalah Yang Maha Suci dari segala sifat yang kita lekatkan kepadanya”.



Al-Awwal al-A’la ini menurut al-Ghazali tidak dapat diketahui kecuali melalui teologi negatif. Hal demikian sama persis dengan pandangan filsafat Hermes seperti yang dikemukakan sebelumnya tentang Tuhan transendental.

Simpulanya, penjelasan di atas paling tidak memberikan kepada kita dua gambaran utuh. Pertama, kesamaan konsep Tuhan transendental yang digunakan Hermes dengan al-Awwal al-A’la yang digunakan oleh al-Ghazali; Kedua, kesamaan konsep Tuhan Pencipta dalam filsafat Hermes dengan al-Mutha’ dalam bangunan pemikiran sufistiknya al-Ghazali.

Berangkat dari sini penilaian Ibnu Taymiyyah dapat dibenarkan. Selain penggunaan al-Mutha untuk menunjuk kepada Tuhan Pencipta ini, dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali juga menggunakan kata al-amr, al-kalimah dan al-Qalam yang merujuk pada konsep yang sama dalam konsep ketuhanan dalam filsafat Hermes.

Dengan kata-kata lain, al-Ghazali sangat lihai menciptakan kata-kata Islami untuk menunjuk kepada konsep-konsep kebatinan di luar Islam, terutama filsafat Hermes.

Bahkan ada yang menafsirkan bahwa di masa-masa krisis jiwanya yang mendorong al-Ghazali untuk uzlah (menyepi) dan pergi meninggalkan Bagdad disebabkan karena kekhawatiran akan dirinya sendiri.

Karyanya yang mengkritik aliran kebatinan “tidak mendapat perkenan dari sang khalifah karena kandungannya lebih membela aliran kebatinan itu sendiri daripada mengkritiknya secara mendasar,” demikian kata Ahmad as-Syarbashi dalam bukunya al-Ghazali wa at-Tasawwuf al-Islamiyy.

Artikel ini diambil dari bincangsyariah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer