Ibnu
Taymiyyah, dalam karyanya yang terkenal, Majmu
al-Fatawa, mengulas dengan sangat menarik pemikiran al-Ghazali yang
telah terkontaminasi oleh aliran-aliran kebatinan pasca kritiknya terhadap
filsafat.
Dalam
hal ini, Ibnu Taymiyyah menjelaskan bahwa ada beberapa karya akhir al-Ghazali
yang menyebutkan pandangan-pandangan yang diklaim al-Ghazali sendiri sebagai
rahasia-rahasia kebenaran (asrar
al-haqa’iq) yang diisyaratkan beberapa ayat Alquran. Padahal, kata
Ibnu Taymiyyah, pandangan-pandangan tersebut tidak lain merupakan:
قول الصابئة المتفلسفة بعينه قد غيرت عبارتهم وترتيباتهم
“Pandangan
kaum filosof Sabean itu sendiri yang kemudian secara lihai istilah-istilahnya
diubah [oleh al-Ghazali]”
Tak
hanya itu, Ibnu Taymiyyah menilai bahwa al-Ghazali:
يميل إلى الفلسفة لكنه أظهرها في قالب التصوف والعبارات الإسلامية
“Lebih
cenderung ke pandangan filsafat namun bahasanya dikemas ke dalam
istilah-istilah tasawuf dan istilah-istilah Islami”
Bahkan
lebih jauh lagi, Ibnu Taymiyyah, masih dalam Majmu
Fatawa, mengatakan:
وقد حكى عنه من القول بمذاهب الباطنية ما يوجد تصديق ذلك في كتبه
“Konon,
al-Ghazali banyak mengadopsi pandangan aliran-aliran kebatinan. Hal demikian
memang benar adanya jika kita mencoba menilik langsung karya-karyanya.”
Dalam
pengamatan Ibnu Taymiyyah yang sangat jeli di atas, kita temukan beberapa kata
kunci penting yang digunakannya dalam menilai pandangan-pandangan al-Ghazali,
misalnya kata qoul
as-sabiah al-mutafalsifah “pandangan kaum filosof Sabean”, yamil ila al-falsafah
“lebih cenderung ke pandangan filsafat”, dan kata al-qaul bi-madzahib al-Batiniyyah “pandangan
aliran-aliran kebatinan”.
Tiga
pilihan kata ini mengundang tanda tanya sebenarnya apa yang dimaksudkan Ibnu
Taymiyyah dengan kata-kata seperti filsafat, Sabean, dan aliran-aliran
kebatinan.
Namun
untuk menjawab ini, perlu kita perhatikan sejenak pandangan al-Biruni bahwa
dalam sejarahnya, warisan kebudayaan asing yang pertama kali hadir secara kuat
dalam kebudayaan Islam ialah warisan aliran-aliran irasional kuna yang disebut
sebagai filsafat keagamaan Hermes.
Dalam
karya-karya Ikhwan as-Shofa disebut sebagai Hirmis
Muthallath al-Hikmah (dalam bahasa Perancis diterjemahkan Hermes Trismejiste).
Kekayaan
intelektual kuna yang irasional ini pertama kali diterjemahkan ke dalam bahasa
Arab di masa Muawiyah II. Pandangan demikian kemudian dipertegas lagi oleh
Louis Massignon dalam karyanya Inventaire
de La Litterature Hermetique Arabe dan Festugiere dalam karyanya La Revelation d’Hermes Trismejiste.
Hermes
ini dalam tahap tertentu, ajaran-ajarannya juga bercampur baur dengan
Neo-Platonisme dengan wajah ketimurannya.
Dengan
kata-kata lain, ketiga pilihan diksi di atas yang digunakan Ibnu Taymiyyah
dalam menilai pemikiran al-Ghazali tidak lain maksudnya ialah filsafat Hermes
itu sendiri, filsafat kebatinan yang al-Ghazali adopsi dari hasil pembacaannya
terhadap filsafat Ibnu Sina, al-Hallaj, al-Junaid, al-Busthami dan dari hasil
pembacaannya terhadap aliran kebatinan Syiah Isma’iliyyah, suatu aliran yang
pernah dikritiknya habis-habisan dalam kitabnya yang terkenal, Fada’ih al-Batiniyyah.
Aliran
kebatinan yang dikritiknya ini pada tahap selanjutnya, tahap pasca krisis
intelektual dan spiritual, diadopsi secara langsung oleh al-Ghazali dalam
beberapa karya akhirnya seperti Misykat
al-Anwar, al-Maqsad al-Asna, Jawahir al-Quran, al-Ma’arif al-Aqliyyah, Ma’arij
al-Quds, al-Munqidz min ad-Dalal dan al-Madnun bihi ala Ghair Ahlihi.
Menariknya,
dalam al-Madnun bi-hi ala
Ghairi Ahlihi ini, pasca menulis kitab Tahafut al-Falasifah dan Fadaih al-Batiniyyah,
al-Ghazali mengadopsi pandangan filsafat yang dulu pernah dikafirkannya; yakni
pandangan mengenai kekekalan alam semesta dan pandangan bahwa Tuhan tidak dapat
mengetahui wujud partikular (juz’iyyat).
Al-Ghazali
mengadopsi dua pandangan ini bukan melalui cara-cara yang argumentatif tapi
melalui jalur kebatinan atau metode irfani. Hebatnya, al-Ghazali menggunakan
istilah-istilah yang quranik untuk mendukung pandangannya tersebut.
Sebagian
ahli menilai bahwa karya ini bukan karya original al-Ghazali karena di dalamnya
mengandung pandangan-pandangan yang pernah ditentang oleh al-Ghazali sendiri
dalam karya-karyanya terdahulu.
Namun
seperti yang diklarifikasi oleh Ibnu Taymiyyah sendiri yang membaca secara
keseluruhan karya-karya al-Ghazali dan yang paham betul dengan gaya berfikir
dan gaya bahasanya al-Ghazali menegaskan bahwa al-Madnun merupakan karya original
al-Ghazali.
Jauh
di kemudian hari, pandangan Ibnu Taymiyyah ini kemudian dipertegas oleh
Abdur-Rahman Badawi dalam bukunya Muallafat
al-Ghazali, sebuah karya yang fokus mengidentifikasi
karya-karya yang pernah ditulis al-Ghazali.
Pembacaan
singkat terhadap al-Ghazali melalui Ibnu Taymiyyah di atas jelas tidak adil
jika kita tidak membuktikan secara langsung kebenaran penilaian yang
disampaikan Ibnu Taymiyyah.
Karena
itu, pertanyaan yang muncul ialah benarkah al-Ghazali mengadopsi pandangan
Hermes dalam pemikirannya? Jika benar, apa saja istilah-istilah Hermes yang
diislamkan oleh al-Ghazali dan yang disebutnya sebagai asrar al-haqa’iq dalam
karya-karya akhirnya? Dua pertanyaan ini jelas tujuannya ialah untuk menguji
pandangan Ibnu Taymiyyah di atas.
Untuk
menjawab dua pertanyaan ini, kiranya kita hanya akan memfokuskan perhatian pada
konsep ketuhanan menurut Hermes untuk kemudian dicarikan titik temunya dengan
pandangan al-Ghazali yang diklaim Ibnu Taymiyyah telah terkontaminasi dengan
aliran filsafat kebatinan tersebut.
Coba
kita simak yang ditulis oleh Festugiere dalam
La Revelation d’Hermes Trismejiste dalam paparannya mengenai
dualitas ketuhanan yang dianut oleh Hermetisme.
Hermetisme,
kata Festugiere, memandang bahwa di alam semesta ini hanya ada dua entitas
ketuhanan di mana yang satu bergantung kepada yang lain. Dua tuhan ini yang
menjadi prinsip dasar ajaran Hermes mengenai metafisikanya:
Pertama,
Tuhan transendental (dalam bahasa Arab disebut al-ilah al-muta’ali), Tuhan yang tidak bisa
disifati dan tidak terjangkau oleh akal dan pengamatan. Konsekuensinya, Ia
tidak bisa diketahui, kata Festugiere, kecuali dengan teologi negatif: Ia Maha
Suci dari segala keserupaan dengan yang ada di alam.
Ia
tidak memiliki hubungan dengan seluk beluk alam, dan dalam ilmu-Nya tidak ada
relasi sedikitpun dengan alam karena alam diliputi segala kekurangan, sementara
Tuhan Hermes ini Maha Suci dari segala keterkaitan dengan segala sesuatu yang
kurang. Oleh karena itu, tidak akan mungkin kita mengetahui-Nya melalui proses
merenungkan alam dan tatanannya (melalui akal dan indera).
Alam
tidak akan mendorong manusia untuk sampai kepada-Nya karena tidak ada hubungan
Tuhan yang transenden ini dengan alam.
Kedua,
Tuhan Pencipta (dalam bahasa Arab disebut al-ilaah
al-shani’). Ia adalah Tuhan yang menciptakan alam dan menampakan
diri dalam alam sehingga bisa dijangkau melalui perenungan terhadap alam dan
tatanannya.
Karena
boleh dikata, Tuhan Pencipta ini berada di segala tempat, kemana arah manusia
menghadap ia akan melihat-Nya, segala hal yang ada di dunia ini memberi
kesaksian atas keberadaannya. Pengertian semacam ini, kata Festugiere, dapat
kita pahami dalam teks Hermes “jika engkau hendak melihat Allah lihatlah
langit, pergerakan bulan dan susunan bintang-bintang. Kemudian tanyakan kepada
dirimu sendiri, siapakah yang menciptakan dan menjaga semua itu?”
Dalam
teks lain, ketika Hermes berdialog dengan muridnya disebutkan “apakah engkau
menyatakan bahwa Tuhan [Pencipta] itu tidak bisa dijangkau oleh nalar dan
indera? Jangan berkata begitu. Siapa dan apa di dunia ini yang penampakannya
lebih jelas dan terang dari Tuhan? Ia menciptakan segala sesuatu hanya karena
ingin dikenali dan bisa dilihat oleh seluruh makhluk-Nya.”
Dengan
kata-kata lain, ada dualisme ketuhanan dalam metafisika Hermes; Tuhan
Transendental dan Tuhan Pencipta. Lalu apa kaitannya konsep ketuhanan ini
dengan al-Ghazali? Dalam bukunya yang terkenal, Misykat al-Anwar, al-Ghazali menjelaskan
tiga kelompok manusia yang terhalang untuk memahami hakikah ketuhanan;
Pertama,
kelompok manusia yang tidak mengenal Allah dan hari akhir karena mereka
berpandangan bahwa tidak ada wujud selain alam dan zaman. Mereka ini, kata
al-Ghazali, terhalang untuk memahami Tuhan.
Kedua,
kelompok manusia yang mengakui wujud Tuhan namun mereka memiliki persepsi yang
keliru tentang Tuhan. Mereka mengandalkan panca indera, imaginasi atau
argumentasi akal untuk memahami wujud Tuhan sehingga mereka terjebak dalam
paham bahwa Tuhan ber-jisim
atau bahkan mereka menyerupakan Tuhan dengan makhluknya atau menyifati sifat
Tuhan dengan sifat makhluknya seperti yang dilakukan oleh kaum mutakallimun.
Ketiga,
kelompok manusia yang memahami Tuhan dengan menggunakan akal murni. Para
filosof termasuk kepada kelompok ini. Mereka memahami Tuhan bukan dengan
menyandarkan sifat-sifat kepada-Nya seperti ilmu, kekuasaan, pendengaran,
berbicara dan lain-lain. Mereka memahami Tuhan melalui manifestasinya dalam
alam semesta ini. bahkan di kalangan mereka, kata al-Ghazali, ada yang
berpandangan bahwa Tuhan ialah penggerak alam semesta berikut tata surya di
dalamnya.
Sebagian
lain berkeyakinan bahwa Tuhan tidak mungkin yang menggerakkan semesta secara
langsung. Harus ada perantara seperti malaikat yang mematuhi segala
perintah-Nya. Mereka menjadikan Allah sebagai zat yang ditaati (al-Mutha’) oleh makhluk
penggerak alam ini. Menurut al-Ghazali, mereka masih tetap terhalang dalam
memahami ketuhanan karena mereka masih terpenjara oleh akal.
Setelah
menjelaskan tiga kelompok manusia ini, al-Ghazali langsung menjelaskan kelompok
keempat, atau dengan kata-kata lain, kelompok manusia yang tidak ada hijab atau
tirai dalam hubungannya dengan Tuhan. al-Ghazali menamai kelompok ini sebagai al-Washilun, ‘orang-orang
yang sampai kepada Tuhan’.
Manusia
pada kelompok ini melihat Zat yang Ditaati (al-Mutha’)
bukan sekadar sebagai Tuhan namun juga sebagai entitas ketuhanan yang lain yang
berbeda dari yang disebutnya sebagai Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi
(dalam bahasa al-Ghazali al-Munazzah
al-A’la) yang tidak bisa disifati dan dijangkau oleh nalar. Dalam
hal ini al-Ghazali mengatakan:
الواصلون….تجلى أيضا لهم أن هذا المطاع موصوف بصفة تنافي الوحدانية المحضة
والكمال البالغ
“Orang-orang
yang sampai kepada Tuhan…tampak di hadapan mereka bahwa Zat yang Ditaati ini
tersifati oleh sifat yang berlawanan dengan Keesaan Murni dan
Kemahasempurnaan.”
Kutipan
ini menunjukkan bahwa tidak ada keesaan mutlak dalam ketuhanan. Yang ada
hanyalah dualitas ketuhanan yang pasti. Hal demikian karena Zat Yang Maha Awal
lagi Maha Tinggi (Al-Awwal
al-A’la) tidak boleh baginya mengurusi alam semesta karena jika
mengurusi alam semesta yang rendah ini sama saja dengan merendahkan diri-Nya
yang Maha Tinggi.
Karena
itu, Zat Yang Ditaati-lah (al-Mutha)
yang menciptakan dan menggerakan langit dan seluruh tatanan surya ini.
Hubungan
Zat Yang Ditaati dengan Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (Al-Awwal al-A’la) ibarat
hubungan pancaran cahaya-cahaya matahari dengan matahari itu sendiri. Dan
dari pancaran cahaya-cahaya ini, atau dengan kata lain dari Zat yang Ditaati
ini, al-Washilun
menghadap ke Zat Yang Maha Awal lagi Maha Tinggi (Al-Awwal al-A’la).
فوصلوا إلى موجود منزه عن كل ما أدركه بصر قبلهم فأحرقت سبحات وجهه (الأول
الأعلى) جميع ما أدركه بصر الناظرين وبصيرتهم إذ وجدوه مقدسا منزها عن جميع ما
وصفناه قبل.
“Akhirnya
sampailah mereka kepada maujud yang Maha Suci dari jangkauan orang-orang selain
mereka. Lalu al-Awwal
al-A’la ini membakar setiap jangkauan penglihatan orang-orang yang
melihat dan membakar mata batin mereka sehingga yang mereka temukan hanyalah
Yang Maha Suci dari segala sifat yang kita lekatkan kepadanya”.
Al-Awwal al-A’la ini menurut al-Ghazali tidak dapat
diketahui kecuali melalui teologi negatif. Hal demikian sama persis dengan
pandangan filsafat Hermes seperti yang dikemukakan sebelumnya tentang Tuhan
transendental.
Simpulanya,
penjelasan di atas paling tidak memberikan kepada kita dua gambaran utuh. Pertama, kesamaan konsep
Tuhan transendental yang digunakan Hermes dengan al-Awwal al-A’la yang digunakan oleh
al-Ghazali; Kedua,
kesamaan konsep Tuhan Pencipta dalam filsafat Hermes dengan al-Mutha’ dalam bangunan
pemikiran sufistiknya al-Ghazali.
Berangkat
dari sini penilaian Ibnu Taymiyyah dapat dibenarkan. Selain penggunaan al-Mutha untuk menunjuk
kepada Tuhan Pencipta ini, dalam karya-karyanya yang lain, al-Ghazali juga
menggunakan kata al-amr,
al-kalimah dan al-Qalam
yang merujuk pada konsep yang sama dalam konsep ketuhanan dalam filsafat
Hermes.
Dengan
kata-kata lain, al-Ghazali sangat lihai menciptakan kata-kata Islami untuk
menunjuk kepada konsep-konsep kebatinan di luar Islam, terutama filsafat
Hermes.
Bahkan
ada yang menafsirkan bahwa di masa-masa krisis jiwanya yang mendorong
al-Ghazali untuk uzlah (menyepi)
dan pergi meninggalkan Bagdad disebabkan karena kekhawatiran akan dirinya
sendiri.
Karyanya
yang mengkritik aliran kebatinan “tidak mendapat perkenan dari sang khalifah
karena kandungannya lebih membela aliran kebatinan itu sendiri daripada
mengkritiknya secara mendasar,” demikian kata Ahmad as-Syarbashi dalam bukunya al-Ghazali wa at-Tasawwuf al-Islamiyy.
Artikel
ini diambil dari bincangsyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar