Hemat kata,
santri, kiai dan pesantren merupakan entitas yang kemudian menjadi penopang
berdirinya dan bertahannya sebuah peradaban yang ada di Indonesia
Dalam kesejarahan maupun peradaban
yang ada di Indonesia, posisi dan peran pesantren tidak bisa dilepaskan. Sebab
apa? Di sanalah berkumpulnya para santri—menempa diri, belajar, menjalani
proses dalam kehidupan, melatih daya tahan hidup (survive) hingga menemukan sebuah jati diri
yang kemudian memberikan kebermanfaatan dalam tataran masyarakat maupun
lingkungannya dalam konteks kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama sesuai
dengan kapasitas dan kemampuan yang mereka miliki.
Buku berjudulkan Peradaban Sarung ini laik
dijadikan sebagai sebuah referensi maupun objek bagi siapa saja yang mau
mengenal maupun menelusuri—napak tilas hal-ihwal dunia pesantren. Ach. Dhofir
Zuhry menyajikan tulisan demi tulisan yang reflektif, informatif, dan dengan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami yang memungkinkan setiap pembaca dapat
gamblang memaknai setiap pesan dan makna yang hendak ia sampaikan.
Dalam buku tersebut, Gus Dhofir
membagi menjadi ke dalam empat bagian, yang masing-masing adalah: Veni, Vidi, Santri; Pemimpin Orkestra;
Citra Rasa Pesantren
serta Menjadi Santri,
Menjadi Indonesia. Perlu diketahui, sang penulis berangkat dari
sebuah pengalaman—di sisi lain pernah berada pada posisi sebagai seorang
santri, ia juga merupakan sosok yang mengawali kelahiran sebuah pondok
pesantren yang ada di Kepanjen, Kabupaten Malang—Pesantren Luhur Baitul Hikmah
serta Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Al Farabi.
Santri, kiai, dan pesantren menjadi
tiga hal pokok dan substantif dari tulisan demi tulisan yang ada dalam buku tersebut.
Gus Dhofir mengajak para pembaca untuk mendedah kesederhanaan demi
kesederhanaan, perjuangan demi perjuangan, pelajaran demi pelajaran serta
keugaharian demi keguagarian dalam tiga subjek tersebut. Yang mana, bisa jadi
apa yang terjadi dalam dunia mereka tidak banyak ditemukan pada
kehidupan-kehidupan sehari-hari kita.
Istilah santri tidak terlepas dari
tradisi cantrik yang ada di agama Hindu. Ia bermula dari “shastri” dalam bahasa
Sansekerta yang berarti orang yang mempelajari Shastra (Kitab Suci) di pe-shastri-an atau
pesantren. Lebih lanjut, Dhofir menjelaskan bahwa istilah “santri” merupakan
gabungan dari huruf Arab Sin,
Nun, Ta’, Ra’, dan Ya’. Sin artinya Salik ilal-Akhirah
(menempuh jalan spiritual menuju akhirat), Nun
bermakna Na-ib ‘anil-Masyayikh
(penerus para guru), Ta’
berarti Tarik ‘anil-Ma’ashi
(meninggalkan maksiat), Ra’
akronim dari Raghib
ilal-Khayr (selalu menghasrati kebaikan) dan Ya’ adalah Yarjus-Salamah (optimis
terhadap keselamatan).
“Kita tahu bahwa santri yang belajar
di pesantren datang dari berbagai latar belakang ekonomi, ragam suku, budaya,
bahasa, bahkan aliran. Namun demikian, mereka disatukan oleh kiai dalam sebuah
orkestra kehidupan pesantren sebagai bekal membangun bangsa dan mendidik umat
manusia. Anda tahu, orkestra terdiri atas banyak alat musik dan instrumen,
tetapi tujuannya hanya satu: harmoni.” (hlm. 12).
Fakta tersebut tak bisa ditampik.
Jutaan santri yang tersebar di pelbagai pesantren yang ada di Indonesia terus
bertungkus-lumus dalam tiap tapak demi tapak pada proses yang mereka hadapi.
“Umumnya, pesantren berawal dari sosok kiai di suatu tempat, kemudian datang
santri yang ingin belajar agama kepadanya, mula-mula orang tua, kemudian
remaja. Setelah semakin hari semakin banyak santri berduyun-duyun, timbullah
inisiatif untuk mendirikan pondok atau asrama di samping kediaman kiai” (hlm.
159).
Abdurrahman Wahid pernah menuliskan
esai berjudulkan Asal-Usul
Tradisi Keilmuan di Pesantren (Isam
Kosmopolitan, 2007). Dalam tulisan tersebut, Gus Dur banyak
mengetengahkan hal-ihwal dunia pesantren, baik dari aspek kesejarahan, metode
keilmuan yang ada hingga perkembangan yang berlangsung. Salah satu hal yang
disampaikan Gus Dur dalam tulisan tersebut adalah terkait mengenai sumber
tradisi keilmuan Islam yang ada di pesantren yang terdiri dari dua gelombang.
Yang mana—pertama, gelombang
pengetahuan keislaman yang datang ke kawasan Nusantara dalam abad ke-13 Masehi,
bersamaan dengan masuknya Islam ke kawasan Nusantara dalam lingkup cukup luas.
Kedua, gelombang ketika para ulama kawasan Nusantara menggali ilmu di
Semenanjung Arabia, khususnya di Makkah dan kembali setelah itu ke tanah air
untuk mendirikan pesantren-pesantren besar.
Senada dengan apa yang ditulis oleh
Gus Dhofir—banyak tulisan yang juga mengetengahkan perkembangan demi
perkembangan yang ada di dunia pesantren. Seperti diantaranya pada tulisan yang
berjudul Pesantren Itu…,
ia memaparkan jumlah perkembangan pesantren yang ada di Indonesia. Ada dua
sumber yang diuliskan oleh Gus Dhofir. Pertama, berasal dari peneliti
pendidikan Islam dari Jerman, Manfred Ziemek—mengutip temuan UNESCO yang
mengatakan pada 1954 tercatat ada 53.077 pesantren di seluruh Indonesia.
Kedua, Pusat Pengembangan Penelitian
dan Pendidikan Pelatihan (P-5) Kementerian Agama pernah melakukan rilis
bahwasannya jumlah pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai
28.000 pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,85 juta jiwa. Hal tersebut
tentu saja memberikan gambaran dan keoptimisan dunia pesantren dalam jangka ke
depan akan terus menjadi peran sentral dalam pendidikan yang ada di Indonesia.
Selain itu, perlu dirinci lebih
mendalam tentang apa yang menjadi pembeda antara pendidikan di pesantren dengan
pendidikan lain di luar pesantren—sekolah umum maupun formal dengan pelbagai
ragam jenisnya. Salah satu hal yang membedakan adalah pengajaran kitab-kitab
klasik. “Oleh karena keberadaannya menjadi unsur utama dan sekaligus menjadi
ciri pembeda antara pesantren dan lembaga pendidikan lainnya, berdasarkan
catatan sejarah, pesantren telah mengajarkan kitab-kitab klasik, khususnya yang
bernuansa Ahlus-Sunnah
wal-Jamaah” (hlm. 19).
Kiprah dan peran kiai tak luput juga
menjadi bahasan dalam tulisan-tulisan Gus Dhofir. Salah satunya, kita bisa
mendapati penjelasan melali tulisan yang berjudulkan Kiai Kampung—yang mana
dijelaskan bahwasannya dalam bahasa Gus Dhofir menyebut sebagai “kiai
klasik”—mereka lah yang menyepi dari keramaian, mendirikan pesantren di
pinggiran negeri, jauh dari ingar-bingar modernitas yang acapkali mengasingkan
diri pada kepentingan maupun kemaslahatan umat. “Pada saat yang sama, mubalig
bukan semata agamawan, ia adalah seorang ilmuwan, teolog, orator, intelektual,
penjaga tradisi, dan kearifan lokal” (hlm. 76).
Hemat kata, santri, kiai dan
pesantren merupakan entitas yang kemudian menjadi penopang berdirinya dan
bertahannya sebuah peradaban yang ada di Indonesia. Sejarah panjang yang pernah
dilalui oleh merka sangatlah banyak—katakanlah bagaimana mereka terlibat dalam
melawan maupun mengusir penjajah baik berupa kolonialisme, imperialisme maupun
isme-isme lainnya yang mengancam keutuhan Nusantara. Di luar itu tentu saja
adalah pada aktualisasi dari adagium, al
muhafadzatu ‘alal qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil aslah,
menjaga tradisi lama dan menerima tradisi baru yang lebih baik.
Judul
: Peradaban Sarung
Penulis
: Ach. Dhofir Zuhry
Penerbit
:
Elex Media Komputido
Cetakan
:
Pertama, 2018
Jumlah
Halaman : xvi + 256 halaman
ISBN
: 978-602-04-7705-3
Dikutip
dari harakatuna.com
0 komentar:
Posting Komentar