Alquran merupakan salah satu sumber
utama hukum Islam, ia adalah wahyu Allah SWT yang diturunkan melalui malaikat
Jibril kepada Nabi Muhammad Saw.
Dengan
posisinya sebagai sumber utama hukum Islam, maka Alquran harus dipahami oeh
seluruh umat Islam. Tetapi, tidak semua orang mampu memahaminya dengan benar,
karena keterbatasan dari segi akal ataupun ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Tafsir
merupakan sebuah penjelasan terhadap ayat-ayat Alquran, merincinya dan
mengambil hukumnya. Secara bahasa, para pakar ilmu tafsir mendifinisikan tafsir
adalah menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam kamus lisan al-Arab,
tafsir berarti menyingkap maksud kata yang samar.
Sedangkan
dalam kitab Mabahits fi Ulumil Qur’an karya Manna Khalil al-Qathan,
tafsir adalah ilmu yang membahas cara pengucapan lafaz Alquran,
petunjuk-petunjuknya, hukum-hukumnya baik ketika berdiri sendiri maupun
tersusun dan makna yang dimungkinkan baginya ketika tersusun, serta hal lain
yang melengkapinya.
Kegiatan penafsiran sejatinya sudah
ada sejak zaman Nabi Muhammad Saw masih hidup, dan berkembang hingga zaman
modern sekarang ini. Nabi Muhammad Saw pun menjadi sosok sentral dalam
penafsiran Alquran di masanya.
Bagi para
sahabat waktu itu, untuk mengetahui makna Alquran tidaklah terlalu sulit.
Karena mereka langsung berhadapan dengan Nabi Muhammad Saw sebagai penyampai
wahyu, atau kepada sahabat lainnya yang lebih mengetahui.
Sehingga
ciri penafsiran yang ada di kalangan sahabat adalah periwayatan yang dinukil
dari Nabi Muhammad Saw. Pada masa sahabat, sedikit sekali sahabat yang
menggunakan akal dalam menafsirkan Alquran, bahkan Abu Bakar dan Umar bin
Khatab dengan tegas menolak penggunaan akal dalam menafsirkan Al-quran. Tetapi
ada juga beberapa sahabat, yang menafsirkan Alquran dengan ijtihad akal (bi
al-ra’yi), yaitu Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas.
Secara garis
besar, di masa sahabat penafsiran Alquran berpegang pada tigal hal yaitu
Alquran, Hadis Nabi sebagai penjelas Alquran, dan ijtihad. Dan pada era ini, kajian
tafsir belum dibukukan sama sekali dan masih bagian dari salah satu cabang
hadis. Kondisinya belum tersusun secara sistematis, dan masih diriwayatkan
secara acak untuk ayat-ayat yang berbeda.
Namun
setelah generasi sahabat berlalu, muncul para ahli tafsir setelah generasi
sahabat yang disebut dengan tabi’in. Tafsir yang berkembang dimasa tabi’in
berbeda dengan yang berkembang pada masa sahabat, dimana pada masa sahabat
penafsiran Alquran hanya bersandar kepada Nabi Saw dan sahabat sendiri. Namun
penafsiran yang berkembang di masa tabi’in, mulai bersandar pada berita-berita Israiliyyat
dan Nasraniyyat.
Selain itu, tafsir di era tabi’in
banyak terkontaminasi unsur sektarian berdasarkan kawasan atau madzhab, yang
pada perkembangan berikutnya banyak muncul berbagai corak dalam penafsiran
Al-qur’an sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Hal itu dikarenakan, para
tabi’in yang pernah belajar kepada para sahabat menyebar ke berbagai daerah.
Di era
tabi’in juga terdapat tiga aliran besar dalam tafsir,
Pertama yaitu aliran Makkah yang diwakili oleh Sa’id ibn
Jubayr (w 712/713M), Ikrimah (w 723 M), dan Mujahid ibn Jabr (w 722 ). Mereka semua
berguru kepada Ibnu Abbas.
Kedua, aliran Madinah yang diwakili oleh Muhammad ibn Ka’ab
(w 735 M), Zayd ibn Aslam al-Qurashy (w. 735 M), dan Abu Aliyah (w. 708 M).
Mereka semua berguru kepada Ubay ibn Ka’ab.
Ketiga, aliran Irak yang diwakili oleh Al-Qamah ibn Qays (w
720 M), Amir al-Sha’by (w 723 M), Hasan al-Bashry (w 738 M), dan Qatadah ibn
Daimah al-Sadsy (w 735 M). Mereka berguru kepada Abdullah ibn Mas’ud.
Dalam
perkembangannya, ada pro dan kontra tentang penafsiran yang menggunakan
riwayat-riwayat yang berasal dari para tabi’in. Hal ini dikarenakan adanya
penafsiran yang dilakukan oleh para tabi’in dengan bertanya kepada ahlul kitab,
dan juga memberi porsi yang luas bagi kebebasan akal dalam menafsirkan Alquran.
Jika
penafsiran yang berasal dari tabi’in, tidak disandarkan kepada Nabi Saw dan
para sahabat sedikitpun, maka hal tersebut diragukan apakah pendapat para
tabi’in, dapat dijadikan pegangan atau tidak. Mereka yang menolak penafsiran
tabi’in, berargumen bahwa para tabi’in tidak menyaksikan peristiwa dan kondisi
pada saat ayat-ayat Alquran diturunkan. Namun bagi kalangan yang menerima dan
mendukung penafsiran tabi’in, berpendapat bahwa penafsiran tabi’in dapat
dijadikan pegangan. Mereka mengatakan bahwa para tabi’in meriwayatkan dari para
sahabat.
Tafsir pada
periode tabi’in memiliki beberapa ciri sebagai berikut, yaitu tafsir mengandung
banyak kisah-kisah israiliyyat, dan tafsir pada masa tersebut telah
menunjukkan benih-benih perbedaan madzhab. Yang mana kemudian tafsir seperti
ini diwarisi oleh generasi selanjutnya yaitu tabi’i tabi’in. Mustafa al-Maragi
menyebut periode tabi’i tabi’in sebagai periode penghimpunan tafsir sahabat dan
tabi’in.
Ciri tafsir
yang berkembang di masa tabi’i tabi’in, tidak jauh berbeda dengan dengan
generasi sebelumnya, hanya saja pada periode ini telah mengarah penghimpunan
tafsir secara khusus. Di antara para ahli tafsir yang terkenal pada masa tabi’i
tabi’in adalah Syu’bah bin Hajjaj, Waki’ bin Jarrah, Sufyan bin Uyainah, Ishaq
al-Naisaburi, Yazid bin Harun al-Sulami, Abdullah bin Hamid al-Juhni.
Diambil dari
alif.id/nur-hasan/sejarah-perkembangan-tafsir-dari-masa-ke-masa/
0 komentar:
Posting Komentar