Jika
wanita bisa memasak, itu biasa. Tapi jika laki-laki yang bisa memasak, jadi
luar biasa. Wanita mengerjakan pekerjaan rumah itu biasa. Tapi jika laki-laki
mengerjakan pekerjaan rumah, jadi luar biasa.
Wanita
bekerja/berkarir dipandang luar biasa. Laki-laki bekerja/berkarir biasa saja.
Wanita berpendidikan tinggi (sarjana, S2, S3) dianggap luar biasa, sedangkan
laki-laki dianggap biasa. Lalu, apakah kodrat wanita hanya memasak, mengerjakan
pekerjaan rumah, serta tidak perlu bekerja atau berpendidikan? Dan, apakah
wanita jika bekerja dan berpendidikan tinggi bisa dikatakan melanggar kodratnya
sendiri? Mari kita luruskan!
Sejenak,
kita pahami dulu seperti apa kodrat itu. Kodrat wanita jika kita runtut dari
KBBI memiliki 2 arti yaitu, kekuasaan dan kemampuan alami. Hal ini bisa dilihat
dari aspek fisik, emosional, dan general.
Secara fisik, bentuk fisik wanita berbeda dengan laki-laki. Itulah kodrat
wanita. Jika diubah, maka melanggar takdir dan kodratnya. Dalam agama,
perubahan itu tidak akan berpengaruh dengan penilaian Tuhan, karena bukan fisik
yang dilihat, tapi hati. Kemudian secara alami, wanita memasak, mencuci
pakaian, mengerjakan pekerjaan rumah, bersikap lemah lembut, mengasuh, dan
mendidik anak adalah kodrat wanita.
Lalu,
bagaimana dengan wanita yang berpendidikan tinggi dan berkarir, apakah itu
melanggar kodrat karena dinilai tidak biasa? Jawabannya adalah tidak.
Setiap
manusia yang lahir di dunia memiliki potensi yang sama untuk berkembang, baik
laki-laki maupun wanita. Ini adalah sisi general
dari kodrat. Wanita punya akal, perasaan, dan potensi.
Begitupun
laki-laki. Dalam hak asasi, tidak ada kekhususan bahwa laki-laki harus lebih
tinggi pendidikannya dari wanita, atau laki-laki harus lebih tinggi
pekerjaannya dari wanita. Jadi, wanita berhak memiliki pekerjaan dan pendidikan yang layak.
Sederhana
saja, jika wanita tidak berpendidikan,
bagaimana bisa dia mendidik anak-anaknya menjadi pintar! Biarpun anak itu
mempunyai potensi IQ superior, kalau tidak dipoles hanya akan menjadi emas
karatan.
Lihatlah
anak-anak jalanan, asal usul mereka macam-macam. Ada yang kabur dari rumah
karena perceraian orang tua,ada anak dari hasil perbuatan "haram",
dan tidak sedikit anak-anak buangan dari orang tua yang menikah dini. Semua itu
jelas kesalahan orang tua. Dan aspek yang fundamental adalah pendidikan. Jadi
masih mau beropini bahwa wanita tidak perlu berpendidikan tinggi?
Sejenak
kita perhatikan sebuah penelitian dari independet.co.uk:
Genetika
seorang ibu menentukan seberapa pintar anak-anaknya, menurut para peneliti, dan
sang ayah tidak membuat perbedaan. Wanita lebih mungkin untuk menularkan gen
kecerdasan kepada anak-anak mereka karena mereka dibawa pada kromosom X dan
wanita memiliki dua gen ini, sedangkan pria hanya memiliki satu.
Tanpa
mendiskriminasikan laki-laki, ternyata kepintaran anak itu diwariskan dari ibu,
alias wanita. Wajar saja, jika kita hitung secara matematis gabungan gen ayah
dan ibu itu 2:1.
Artinya,
wanita/ibu menularkan 60-70% peluang kecerdasan kepada anak, dan sisanya dari
ayah. Tidak cukup sampai disitu, mewanitakan wanita dengan pendidikan itu juga
penting terutama ketika seorang wanita telah memiliki anak.
Wanita
harus memiliki ilmu psikologi perkembangan dalam mendidik anak. Mulai dari
pendekatannya, pola asuhnya, pola pendidikannya, hingga mengupayakan
ketercapaian tugas-tugas perkembangan anak sesuai tingkat umur.
Meski
secara teoritis demikian, wanita yang berpendidikan tinggi dianggap memiliki
derajat lebih tinggi, sehingga dimata masyarakat lebih "mahal"
nilainya. Karena "mahal" inilah, beberapa orang tua seakan menjadikan
anak wanitanya bahan "lelang" dengan mematok harga tinggi kepada
pelamarnya. Terang saja, sebagian laki-laki menjadi minder karena perbedaan
derajat ini.
Misalnya
saja, laki-laki tamatan sarjana dan wanitanya tamatan magister, itupun sudah
ada kecenderungan "gengsi", apalagi jika pekerjaan si wanita dianggap
lebih mapan dari laki-laki.
Maka
dari itu, tidak sedikit laki-laki memilih mundur dan memutuskan perjuangan
cintanya. Padahal, gelar maupun pekerjaan tidak menjamin kehidupan seseorang
bahagia dan sejahtera. Lagi-lagi kembali kepada perspektif masyarakat.
Polemik
ini seakan tidak bisa diubah, karena mulai mengakar di sebagian besar kalangan
masyarakat. Demikianlah adanya, tetap kita ambil hikmah bahwa meskipun secara
kodrati laki-laki dianggap lebih "tinggi" dari perempuan, pendidikan
tetap menjadi hak asasi manusia.
Memanusiakan
manusia bukan berarti memberikan pendidikan lebih dan khusus hanya untuk
laki-laki saja, melainkan juga untuk mewanitakan
wanita. Semua itu bertujuan untuk menciptakan manusia ideal,
sesuai dengan harapan bangsa, negara, dan orang tua serta Tuhan selaku Sang
Pencipta.
Diambil
dari kompasiana.com
0 komentar:
Posting Komentar