Jawabannya
adalah iya. Kenapa ya? Nah, setidaknya di sini ada dua alasan
Pertama,
penghitungan jadwal haid berupa pada jam berapa haid datang, hari apa dan
tanggal berapa atau minggu ke berapa dan bulan apa, hal tersebut sangat
berhubungan dengan shalat wajib apa sajakah yang harus diganti (qadha’) dan
ditunaikan sebab datangnya haid. Loh, bukannya tidak harus mengganti
shalat yang ditinggalkan sebab haid? Yup benar. Akan tetapi mari kita buat
contoh.
Misalnya
yaitu Mba Beti mengalami datang bulan jam 12.15 dan belum melaksanakan shalat
zuhur. Jika kasusnya seperti itu, maka Mba Beti wajib untuk mengganti
shalat zuhur dan asar. Wah kenapa asar juga? Karena zuhur dapat digabungkan
pelaksanaannya dengan shalat asar (dijamak). Nah, jika kita tidak mencatat jam
berapa haid datang dan jam berapa atau kapan haid selesai, ditakutkan kita lupa
sehingga kita ragu salat apa saja yang harus diganti.
Kedua,
pentingnya mencatat jadwal haid, nifas dan istihadoh akan berhubungan
dengan cara mengganti puasa bagi perempuan-perempuan yang lupa jadwal dan
jumlah hari saat mengalami haid, nifas dan istihadoh serta berhubungan
dengan penetapan jenis darah apakah darah tersebut disebut darah haid, nifas
atau istihadah. Wah, bingung ya?
Begini,
dalam kitab haid, nifas dan istihadoh mazhab Syafi’i terdapat tiga kategori
terkait hal tersebut, di antaranya yaitu: 1) hukum perempuan yang lupa jadwal
(waktu) dan jumlah masa haid, nifas dan istihadohnya. Contoh: Aida sama sekali
tidak ingat kapan hari dan jam pertama haid, hari terakhir haid serta lupa
jumlah keseluruhan hari ia mengalami haid. 2) hukum perempuan yang lupa jumlah
masa haid, nifas dan istihadohnya, akan tetapi ingat jadwal atau waktunya.
Contoh: Aida lupa jumlah keseluruhan hari selama ia haid, akan tetapi Aida
ingat bahwa pada hari selasa, 25 Juni 2019, jam 13.00 haidnya datang dan pada
tanggal 28 Juni 2019 jam 15.00 ia bersuci dari haid 3) hukum
perempuan yang lupa jadwal atau waktu datang dan selesainya masa haid, nifas
dan istihadoh, akan tetapi masih ingat jumlah masanya. Contoh: Aida lupa
tanggal, hari dan jam saat hari pertamanya haid serta hari ia suci, akan tetapi
Aida ingat bahwa ia mengalami haid selama 7 hari.
Nah,
dari pencatatan jadwal haid, nifas dan istihadoh yang rutin, maka akan didapat
catatan riwayat haid, nifas dan istihadohnya secara berpola sehingga menjadi
suatu kebiasaan bagi setiap perempuan. Karena memang setiap perempuan memiliki
kebiasaan masa haid, nifas dan istihadoh yang berbeda-beda. Ada perempuan yang
tidak pernah mengalami istihadoh.
Kemudian,
penetapan cara mengganti puasa dan salat yang sempat tertinggal diambil dari
jadwal dan jumlah haid dan nifas di bulan-bulan sebelumnya tersebut
(berdasarkan jadwal kebiasaan sebelumnya). Selain itu, jadwal kebiasaan haid,
nifas dan istihadoh juga digunakan untuk menetapkan jenis darah kapan darah
tersebut disebut haid, nifas dan kapan disebut istihadah. Nah oleh sebab itu,
jika kita tidak pernah mencatat kapan dan jumlah hari masa haid atau nifas maka
kita tidak memiliki riwayat valid masa haid dan nifas kita di bulan-bulan
sebelumnya. Hal tersebut akan menyulitkan kita dalam mengganti puasa dan salat
serta menyulitkan dalam menetapkan jenis darah.
Jadi,
alangkah baiknya dan sangat dianjurkan bagi perempuan untuk mencatat kapan
haid, nifas dan istihadoh datang berikut jadwal selesainya, juga mencatat
jumlah berapa lama masanya. Supaya kita tidak dikenakan hukum perempuan yang
termasuk dalam tiga kategori di atas. Selain itu, supaya kita tidak lupa, ragu
juga tidak bingung dalam menentukan jumlah shalat dan puasa yang sudah
tertinggal dan harus diganti. Bahaya kan kalau kita meninggal dunia dan belum
sempat mengganti shalat dan puasa?
Diambil
dari islami.co
0 komentar:
Posting Komentar