Tidak
bisa dipungkiri bahwa Imam
Al-Ghazali adalah ulama yang mempunyai popularitas dan keilmuan yang
begitu tinggi. Hal ini dikarenakan kegigihannya dalam menuntut ilmu dan juga
berkarya. Sejak usia masih belia, yaitu sekitar belum genap berumur 12 tahun.
Imam Al-Ghazali sudah mulai mengenal dan tertarik untuk belajar ilmu fikih,
hadis, tafsir, bahasa Arab, tasawuf dan ilmu-ilmu rasional seperti filsafat,
kalam dan logika.
Petualangan
keilmuannya yang mendalam dan dimulai sejak usia belia, telah membuatnya melek
ilmu dengan cepat dan tumbuh dewasa sebagai ilmuwan sejati. Bahkan, sejak kecil
beliau tidak pernah menghabiskan waktunya untuk bermain dengan teman-teman
seumurannya.
Salah
satu yang menarik dari Al-Ghazali remaja adalah beliau sudah mulai gelisah dengan
berbagai persoalan pengetahuan yang berkembang pada masanya. Saat remaja,
beliau sudah mempertanyakan berbagai premis-premis filosofis dan logis,
mengotak-atik gagasan filsafat dan kalam, mencari celah kelemahannya layaknya
seorang guru besar.
Salah
satu pertanyaan dari sekian banyak pertanyaan rumit yang sudah muncul dalam
otaknya saat masih kecil adalah tentang konsep diri, Tuhan dan hukum alam.
Beliau selalu bertanya tentang pengertian fitrah, apa hukumnya, bagaimana ia
bekerja, apa peran Tuhan di dalamnya, siapa yang layak memiliki fitrah dan
seterusnya.
Beliau
juga bertanya bagaimana kita menjelaskan konsep fitrah, terutama dalam konteks
agama seseorang. Apakah kita menjadi muslim karena fitrah atau karena faktor
lain. Apakah seorang Non-Muslim memeluk agama lain karena mereka terlahir dari
orang tua mereka atau ada faktor lain.
Belum
menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya tersebut, Al-Ghazali remaja
sudah memikirkan persoalan lain yang tidak kalah rumit, terutama perihal
keyakinan dan kebenaran. Salah satu karyanya yang memperlihatkan bahwa Imam
Al-Ghazali adalah seorang yang senang bertanya yaitu kitab Mizan Al-A’mal. Sebuah
kitab yang ditulis Imam Al-Ghazali ketika belum genap berumur 18 tahun, dan
kitab ini juga mengajak pembacanya untuk memahami sebuah konsep dan ide dengan
terlebih dahulu bertanya.
Masih
di umur yang belum genap 18 tahun, Al-Ghazali yang masih galau karena belum
mampu menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya, akhirnya memotivasi
dirinya untuk belajar dan mendalami ilmu-ilmu rasional seperti filsafat
dan kalam.
Di
bawah bimbingan Abu Nasr Al-Isma’ili, Al-Ghazali muda kembali mampu
menghasilkan sebuah karya yang bernama Al-Mankhul
Min al-Ta’liqat al-Ushul. Sebuah kitab yang berisi catatan-catatan
kecil sebagai komentar atas berbagai isu dan persoalan dalam kalam dan
filsafat.
Karya-karya
tersebut ternyata juga tidak bisa meredam kegelisahan yang ada dalam dirinya,
sehingga petualangan akademiknya akhirnya dibarengi juga dengan spiritualitas.
Orang-orang dekat dan guru-guru yang selalu memantaunya, melihat Al-Ghazali
sedang bergejolak dan berpotensi menjadi liar. akhirnya menyarankan
Al-Ghazali untuk banyak dzikir dan beribadah, yaitu mengolah hati dan jiwa
selain mengolah pikiran. Salah satu sufi yang berjasa dan setia dalam membantu
perkembangan spiritual Al-Ghazali adalah Yusuf Al-Nassaj.
Tepat
ketika berumur 18 tahun, Al-Ghazali tiba di Naisabur, akan tetapi Naisabur
sudah tidak begitu rame karena sudah ditinggalkan oleh para ulamanya seperti
Imam Al-Qusyairi yang sudah meninggal dan Al-Harawi yang pindah ke Herat.
Sehingga Naisabur sudah tidak begitu menawan, khususnya dalam ilmu tasawuf.
Walaupun
sudah tidak begitu rame, Al-Ghazali masih menemukan sosok ulama besar di
Naisabur. Beliau adalah Abul Ma’ali Al-Juwaini atau Imam Haramain, ulama besar
dalam ilmu-ilmu keislaman, sosial dan politik. Berkat pertemuannya dengan
Al-Juwainilah, Al-Ghazali mampu menemukan titik kekuatannya dan arah
pemikirannya. Beliau kemudian sadar bahwa kelebihannya terletak pada pemikiran
dan rasionalitasnya.
Al-Juwaini
adalah salah satu guru yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu seperi ushul
fikih, mantiq, fikih, filsafat, logika, kalam dan retorika perdebatan kepada
Al-Ghazali. Tidak butuh waktu lama bagi Al-Ghazali untuk menguasai ilmu-ilmu
tersebut, sehingga membuat Imam Al-Juwaini sering kaget dan tertegun dengan
kecepatan Al-Ghazali dalam menguasai ilmu.
Bahkan,
hanya dalam waktu tujuh tahun, Al-Ghazali mampu mengasilkan karya-karya besar
seperti Maqashid
Al-Falasifah, Fadha’ih Al-Bathiniyyah, Al-Mustasfha. Di mana ketiga
karya besar tersebut ditulis ketika beliau berumur sekitar 18 hingga 25 tahun.
Tidak bisa dibayangkan, bagaimana beliau yang masih muda begitu produktif
berkarya dengan kualitas yang begitu besar.
Bahkan
Imam Al-Juwaini sebagai sang guru merasa tersaingi oleh muridnya tersebut, dan
pernah mengatakan kepada Imam Al-Ghazali dengan sedikit nada candaan: “Engkau telah menguburku dengan
karya-karyamu, tidakkah engkau bersabar sejenak hingga aku mati, baru engkau
menuliskan ide-idemu?”.
Al-Ghazali
adalah teladan bagi generasi muda untuk tidak malas dalam berkarya, termasuk
berkarya melalui tulisan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua penulis atau
orang yang berkarya akan meninggal, hanya karyalah yang akan abadi sepanjang
masa.
Bahkan
Imam Al-Ghazali pernah memberi wasiat dan sudah beliau praktekkan sendiri yaitu
“Jika kau bukan anak raja,
juga bukan anak ulama besar, maka menulislah”. Beliau bukan anak
raja dan bukan anak ulama besar, akan tetapi beliau menulis sejak usia muda dan
melalui karya-karyanyalah beliau menjadi ulama besar, yang pemikiran dan
karyanya bisa kita nikmati sampai saat ini. []
Sumber:
islami.co
0 komentar:
Posting Komentar