Pages

Kamis, 11 Juli 2019

Ibn Sina dan Kemunduran Nalar Kritis



Secara sederhana, pemikiran Islam yang berkembang saat ini dimulai dari filsafat, ilmu kalam sampai tasawwuf dapat dikatakan sebagai tidak lebih dari perpanjangan tangan pemikiran Ibnu Sina.

Konstruk pemikiran Ibnu Sina dibangun di atas fondasi-fondasi sinkretik, sebuah fondasi nalar yang menyatukan elemen-elemen pemikiran yang pada mulanya saling bertentangan menjadi bisa didamaikan dan disinergikan dalam keserasian yang utuh.

Atas dasar fondasi inilah, kita dapat memahami bagaimana Ibnu Sina sebagai filosof menguasai logika Aristoteles, filsafat Hermes, Neo-Platonisme, ilmu kalam dan membahas keseluruhannya dalam bingkai yang sinkretik.

Tak heran, sosok intelektual raksasa Islam ini menguasai berbagai bidang keilmuan baik yang berhaluan rasional maupun irasional. Hebatnya lagi haluan rasional dan irasional yang saling bertentangan ini melandasi bangunan pemikiran Ibnu Sina dimana yang pertama menjadi basis epistimologis bagi yang kedua. Tak ayal lagi, filsafat sinkretik yang dibangunnya ini memiliki dampak dan pengaruh yang luar biasa besar bagi generasi selanjutnya.

Misalnya, Al-Ghazali meski mengkritik filsafat Ibnu Sina secara habis-habisan dalam Tahafut al-Falasifah-nya sebenarnya secara kosmologi keilmuannya tidak bisa lepas dari bayang-bayang sinawiyan ini.

Tak lupa bahwa buku-bukunya yang bercorak tasawuf  dimulai dari Ihya Ulum din, al-Maqshad al-Asna, Ma’arij al-Quds dan lain-lain merupakan perpanjangan tangan dari kecenderungan filsafat Ibnu Sina yang sinkretis ini, dimana yang rasional berbaur dengan yang irasional tanpa perlu ada gesekan berarti antara keduanya.

Selain itu, karya-karya al-Ghazali tentang logika dimulai dari al-Qistas al-Mustaqim, Mi’yar al-Ilm, Mahak an-Nazhar dan lain-lain merupakan hasil bacaan yang sangat kreatif terhadap karya-karya Ibnu Sina, terutama as-Syifa dan an-Najat.

Dengan kata-kata lain, selain mengadopsi irasionalnya, al-Ghazali juga mengadopsi kecenderungannya yang rasional. Meski demikian, yang tak boleh diabaikan juga bahwa al-Ghazali menggunakan logika yang ia pelajari dari karya-karya Ibnu Sina untuk menyerang Ibnu Sina sendiri selain untuk membela teologi al-Asy’ariyyah.

Namun tetap, kecenderungan sinkretik yang ada dalam pemikiran al-Ghazali merupakan hasil bacaannya terhadap Ibnu Sina. Dalam hal ini, Abu Bakar ibnu Arabi [Ibnu Arabi yang ahli fikih] yang pernah belajar langsung dengan al-Ghazali mengakui adanya keterpengaruhan kecenderungan yang singkretik ini dari Ibnu Sina. Ibnu Arabi mengatakan: “Guru kita al-Ghazali telah menelan mentah-mentah filsafat namun tidak bisa memuntahkannya kembali.”

Jika al-Ghazali mengadopsi kerangka referensial yang utuh dari Ibnu Sina baik yang rasional maupun yang irasional, maka Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi mencukupkan diri dengan mengadopsi aspek-aspek irasional dari Ibnu Sina.

Dengan demikian, Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi yang mewakili iluminasionisme Islam tak kalah dari al-Ghazali dalam mengais pengaruh Ibnu Sina dalam pemikiran-pemikiran mereka.

Seperti yang dibuktikan oleh al-Jabiri dalam Bunyat al-Aql al-Arabiy-nya, Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi mewarisi filsafat kebatinan Ibnu Sina yang irasional secara menyeluruh. Hal demikian secara nyata terejawantahkan ke dalam buku al-Futuhat al-Makkiyah karya Ibnu Arabi dan buku al-Ghurbat al-Gharbiyyah karya as-Suhrawardi sendiri.

Dalam al-Futuhat al-Makkiyah, misalnya, Ibnu Arabi menjelaskan berbagai macam aspek yang berkenaan dengan kemungkinan benda-benda langit dapat berfikir, berimaginasi dan berpengaruh terhadap kejadian yang ada di bumi. Ibnu Arabi juga menjelaskan tentang kemungkinan para wali dapat mendatangkan keramat-keramat yang mungkin dapat melebihi mukjizat para nabi.

Selain itu, pandangan kesamaan antara wali dan nabi sangat dipegang teguh dalam kitab ini. Pandangan-pandangan seperti ini sebenarnya masih dalam kerangka Ibnu Sina yang irasional.

Tak hanya dalam filsafat, tasawuf dan kebatinan pengaruh Ibnu Sina tampak memanifestasikan dirinya namun juga dalam ilmu kalam. Ibnu Sina dalam karya-karyanya yang membahas tentang metafisika melibatkan persoalan-persoalan ilmu kalam sehingga filsafat yang dia bangun sebenarnya juga merupakan rintisan ke arah bagaimana ilmu kalam bercampur dengan istilah-istilah filsafat.

Tak lupa pula bahwa aliran kalam pasca-Ibnu Sina, terutama pasca kritik al-Ghazali terhadapnya, berubah dari yang berhaluan sangat bayani yang lepas dari pemikiran-pemikiran filsafat menjadi bercampur baur dengan filsafat. Secara ringkasnya, ilmu kalam pasca Ibnu Sina bercampur baur dengan konsep-konsep filsafat.

Inilah yang kemudian disinyalir oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah, yang intinya bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam bangunan pemikiran ahli kalam dari yang bersifat kalami menjadi yang bersifat kalam-filsafat yang disebutnya sebagai “tariqat al-mutaddimin” dan “tariqat al-muta’akhirin” dimana yang kedua lahir dari bangunan filsafat sinawian ini.

Haluan pemikiran seperti ini dapat dengan mudah kita temukan dalam karya-karya Fakhrudin al-Razi dalam al-Muhassal-nya, al-Iji dalam al-Mawaqif-nya dan lain-lain dimana konsep-konsep kalam bercampur aduk dengan konsep-konsep filsafat. Semua ini terjadi karena pengaruh besar dari filsafat Ibnu Sina yang sinkretik ini.

Coba bandingkan kedua karya tersebut dengan karya-karya ulama asy’ariyyah dari kalangan mutaqaddimin seperti al-Baqillani, Abdul Qahir, al-Juwaini dan lain-lain. Kita akan menemukan tumpah tindih antara konsep kalam dan konsep filsafat dalam pembahasan ilmu kalam di kalangan asy’ariyah muta’akhirin.

Sebagian ahli beranggapan bahwa kemunduran nalar yang terjadi dalam jagad pemikiran Islam tidak lepas dari pengaruh Ibnu Sina yang teramat besar ini. Sampai saat ini kita tidak pernah mendengar intelektual Islam di masa silam yang mencoba menghidupkan kembali gagasan-gagasan al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Haytham, Ibnu Khaldun dan kecenderungan berfikir mereka yang rasional.

Yang selama ini kita warisi hanyalah kecenderungan sinkretik Ibnu Sina melalui karya-karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, as-Suhrawardi dan yang satu bangunan pemikiran dengan mereka ditambah lagi dengan para pemikir asy’ariyyah dari kalangan mutaakhirin yang mengadopsi logika dan tasawuf secara bersamaan dalam bangunan pemikiran mereka (seperti yang tercermin dalam karya-karya Fakhrudin ar-Razi).

Akibatnya, hilanglah kreatifitas berfikir dan rasionalitas pemikiran. Yang hadir terus ialah kecenderungan untuk selalu melebur dalam irasionalisme tak terbatas.

[Tulisan ini dikutip dari bincangsyariah.com]

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer