Secara
sederhana, pemikiran Islam yang berkembang saat ini dimulai dari filsafat, ilmu
kalam sampai tasawwuf dapat dikatakan sebagai tidak lebih dari perpanjangan
tangan pemikiran Ibnu Sina.
Konstruk
pemikiran Ibnu Sina dibangun di atas fondasi-fondasi sinkretik, sebuah fondasi
nalar yang menyatukan elemen-elemen pemikiran yang pada mulanya saling
bertentangan menjadi bisa didamaikan dan disinergikan dalam keserasian
yang utuh.
Atas
dasar fondasi inilah, kita dapat memahami bagaimana Ibnu Sina sebagai filosof
menguasai logika Aristoteles, filsafat Hermes, Neo-Platonisme, ilmu kalam dan
membahas keseluruhannya dalam bingkai yang sinkretik.
Tak
heran, sosok intelektual raksasa Islam ini menguasai berbagai bidang keilmuan
baik yang berhaluan rasional maupun irasional. Hebatnya lagi haluan rasional
dan irasional yang saling bertentangan ini melandasi bangunan pemikiran Ibnu
Sina dimana yang pertama menjadi basis epistimologis bagi yang kedua. Tak ayal
lagi, filsafat sinkretik yang dibangunnya ini memiliki dampak dan pengaruh yang
luar biasa besar bagi generasi selanjutnya.
Misalnya,
Al-Ghazali meski mengkritik filsafat Ibnu Sina secara habis-habisan dalam Tahafut al-Falasifah-nya
sebenarnya secara kosmologi keilmuannya tidak bisa lepas dari bayang-bayang
sinawiyan ini.
Tak
lupa bahwa buku-bukunya yang bercorak tasawuf dimulai dari Ihya Ulum din, al-Maqshad al-Asna,
Ma’arij al-Quds dan lain-lain merupakan perpanjangan tangan dari
kecenderungan filsafat Ibnu Sina yang sinkretis ini, dimana yang rasional
berbaur dengan yang irasional tanpa perlu ada gesekan berarti antara keduanya.
Selain
itu, karya-karya al-Ghazali tentang logika dimulai dari al-Qistas al-Mustaqim, Mi’yar al-Ilm, Mahak an-Nazhar dan
lain-lain merupakan hasil bacaan yang sangat kreatif terhadap karya-karya Ibnu
Sina, terutama as-Syifa
dan an-Najat.
Dengan
kata-kata lain, selain mengadopsi irasionalnya, al-Ghazali juga mengadopsi
kecenderungannya yang rasional. Meski demikian, yang tak boleh diabaikan juga
bahwa al-Ghazali menggunakan logika yang ia pelajari dari karya-karya Ibnu Sina
untuk menyerang Ibnu Sina sendiri selain untuk membela teologi al-Asy’ariyyah.
Namun
tetap, kecenderungan sinkretik yang ada dalam pemikiran al-Ghazali merupakan
hasil bacaannya terhadap Ibnu Sina. Dalam hal ini, Abu Bakar ibnu Arabi [Ibnu
Arabi yang ahli fikih] yang pernah belajar langsung dengan al-Ghazali mengakui
adanya keterpengaruhan kecenderungan yang singkretik ini dari Ibnu Sina. Ibnu Arabi
mengatakan: “Guru kita al-Ghazali telah menelan mentah-mentah filsafat namun
tidak bisa memuntahkannya kembali.”
Jika
al-Ghazali mengadopsi kerangka referensial yang utuh dari Ibnu Sina baik yang
rasional maupun yang irasional, maka Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi mencukupkan
diri dengan mengadopsi aspek-aspek irasional dari Ibnu Sina.
Dengan
demikian, Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi yang mewakili iluminasionisme Islam tak
kalah dari al-Ghazali dalam mengais pengaruh Ibnu Sina dalam
pemikiran-pemikiran mereka.
Seperti
yang dibuktikan oleh al-Jabiri dalam Bunyat
al-Aql al-Arabiy-nya, Ibnu Arabi dan as-Suhrawardi mewarisi
filsafat kebatinan Ibnu Sina yang irasional secara menyeluruh. Hal demikian
secara nyata terejawantahkan ke dalam buku al-Futuhat
al-Makkiyah karya Ibnu Arabi dan buku al-Ghurbat al-Gharbiyyah karya as-Suhrawardi
sendiri.
Dalam
al-Futuhat al-Makkiyah,
misalnya, Ibnu Arabi menjelaskan berbagai macam aspek yang berkenaan dengan
kemungkinan benda-benda langit dapat berfikir, berimaginasi dan berpengaruh
terhadap kejadian yang ada di bumi. Ibnu Arabi juga menjelaskan tentang
kemungkinan para wali dapat mendatangkan keramat-keramat yang mungkin dapat
melebihi mukjizat para nabi.
Selain
itu, pandangan kesamaan antara wali dan nabi sangat dipegang teguh dalam kitab
ini. Pandangan-pandangan seperti ini sebenarnya masih dalam kerangka Ibnu Sina
yang irasional.
Tak
hanya dalam filsafat, tasawuf dan kebatinan pengaruh Ibnu Sina tampak
memanifestasikan dirinya namun juga dalam ilmu kalam. Ibnu Sina dalam
karya-karyanya yang membahas tentang metafisika melibatkan persoalan-persoalan
ilmu kalam sehingga filsafat yang dia bangun sebenarnya juga merupakan rintisan
ke arah bagaimana ilmu kalam bercampur dengan istilah-istilah filsafat.
Tak
lupa pula bahwa aliran kalam pasca-Ibnu Sina, terutama pasca kritik al-Ghazali
terhadapnya, berubah dari yang berhaluan sangat bayani yang lepas dari
pemikiran-pemikiran filsafat menjadi bercampur baur dengan filsafat. Secara
ringkasnya, ilmu kalam pasca Ibnu Sina bercampur baur dengan konsep-konsep
filsafat.
Inilah
yang kemudian disinyalir oleh Ibnu Khaldun dalam kitabnya yang terkenal, al-Muqaddimah, yang
intinya bahwa terjadi pergeseran paradigma dalam bangunan pemikiran ahli kalam
dari yang bersifat kalami menjadi yang bersifat kalam-filsafat yang disebutnya
sebagai “tariqat
al-mutaddimin” dan “tariqat
al-muta’akhirin” dimana yang kedua lahir dari bangunan filsafat
sinawian ini.
Haluan
pemikiran seperti ini dapat dengan mudah kita temukan dalam karya-karya
Fakhrudin al-Razi dalam al-Muhassal-nya,
al-Iji dalam al-Mawaqif-nya
dan lain-lain dimana konsep-konsep kalam bercampur aduk dengan konsep-konsep
filsafat. Semua ini terjadi karena pengaruh besar dari filsafat Ibnu Sina yang
sinkretik ini.
Coba
bandingkan kedua karya tersebut dengan karya-karya ulama asy’ariyyah dari
kalangan mutaqaddimin seperti al-Baqillani, Abdul Qahir, al-Juwaini dan
lain-lain. Kita akan menemukan tumpah tindih antara konsep kalam dan konsep
filsafat dalam pembahasan ilmu kalam di kalangan asy’ariyah muta’akhirin.
Sebagian
ahli beranggapan bahwa kemunduran nalar yang terjadi dalam jagad pemikiran
Islam tidak lepas dari pengaruh Ibnu Sina yang teramat besar ini. Sampai saat
ini kita tidak pernah mendengar intelektual Islam di masa silam yang mencoba
menghidupkan kembali gagasan-gagasan al-Farabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Haytham, Ibnu
Khaldun dan kecenderungan berfikir mereka yang rasional.
Yang
selama ini kita warisi hanyalah kecenderungan sinkretik Ibnu Sina melalui
karya-karya al-Ghazali, Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, as-Suhrawardi dan yang satu
bangunan pemikiran dengan mereka ditambah lagi dengan para pemikir asy’ariyyah
dari kalangan mutaakhirin yang mengadopsi logika dan tasawuf secara bersamaan
dalam bangunan pemikiran mereka (seperti yang tercermin dalam karya-karya
Fakhrudin ar-Razi).
Akibatnya,
hilanglah kreatifitas berfikir dan rasionalitas pemikiran. Yang hadir terus
ialah kecenderungan untuk selalu melebur dalam irasionalisme tak terbatas.
[Tulisan
ini dikutip dari bincangsyariah.com]
0 komentar:
Posting Komentar