Siapa
pun yang punya keberanian meski tanpa literasi agama, asalkan menguasai aspek
teknologi digital, komunikatif dan didukung marketing yang handal, bisa menjadi
dai.
Generasi milenial yang lahir mulai 1980-an sampai awal
tahun 2000 adalah generasi yang sebagian besar dari mereka akrab dengan
teknologi (terutama digital) seperti handphone, game, komputer dan internet.
Karenanya,
milenial sangat terampil menggunakanya sehingga disebut sebagai digital native (penduduk asli yang sejak lahir
fasih dengan dunia digital). Istilah ini diperkenalkan oleh Mark Prensky pada
2001 untuk membedakan dengan digital
imigrant, yaitu
mereka yang lahir sebelum teknologi digital dipakai tetapi harus pindah ke
dunia digital ketika teknologi ini sudah dipakai secara luas.
Kita
tentu mengenal dakwah sebagai sebuah kegiatan mengajak masyarakat untuk
memperdalam ajaran Islam atau mengajak non-muslim untuk masuk Islam. Dakwah
banyak macamnya, umumnya berbentuk ceramah yang diadakan di rumah, masjid atau
diluar ruangan.
Ketika
teknologi cetak dan elektronik analog muncul, dakwah menyasar masyarakat luas
melalui buku, kaset, radio dan televisi analog. Dakwah model ini bisa diartikan
sebagai dakwah konversional atau era dakwah 1.0, di mana dakwah masih
mengandalkan kehadiran fisik, baik itu pendakwah (dai) ataupun jamaah yang
didakwahi.
Dalam
sejarah dakwah di Indonesia, tokoh yang mencerminkan dakwah 1.0 adalah KH.
Zainudiddin MZ. Mulai berdakwah pada medio tahun 1970an, KH. Zainuddin MZ
awalnya berdakwah di daerah Jabodetabek.
Kiai
yang dijuluki “Dai Sejuta Umat” mulai dikenal ketika perusahaan rekaman seperti
Virgo record dan Naviri record merekam ceramahnya kemudian menyebarnya seantero
Indonesia.
Dia
semakin populer ketika banyak ceramahnya diputar di radio dan televisi. Satu
ciri khas dari dakwah 1.0 adalah dibutuhkannya kemampuan otoritatif dalam
bidang agama dari seorang dai, baik itu melalui pembelajarannya di pesantren
ataupun secara otodidak. Yang jelas, seorang dai era dakwah 1.0 harus punya
literasi kuat terhadap literatur keagamaan agar dia bisa berdakwah. Model
dakwah seperti ini sebenarnya punya sebutan khusus, yakni tablig, orangnya
melakukan tablig disebut mubalig atau orang yang menyampaikan. Dakwah itu
istilah lebih umum, bentuknya macam-macam. Orang kasih mie instan agar tidak
nakal itu dakwah, musisi mengajak kebaikan itu dakwah. Tablig bagian dari
dakwah.
Era Dakwah 2.0
Ketika
dunia memasuki era milenium dan kehidupan manusia dipenuhi dengan teknologi
digital, metode dakwah mulai beradaptasi dengan tidak hanya mengandalkan
fasilitas yang terbatas oleh ruang dan waktu ataupun teknologi analog, tetapi
juga mengandalkan dunia digital terutama media sosial (medsos) seperti YouTube, Facebook,
Twitter dan Instagram.
Apa Perbedaan antara Dakwah 1.0 dan 2.0?
Menurut
peneliti Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Hew Wai Weng (2015), selain
tetap menggunakan tipologi dakwah konvensional, dakwah 2.0 ditandai dengan
penekanan pada tiga aspek penting: estetika visual, menggunakan cara yang
komunikatif (seperti forum tanya jawab) dan strategi marketing.
Siapa
representasi dai yang masuk kategori dakwah 2.0 ini? Untuk menyebut beberapa:
Abdul Somad Batubara, Adi Hidayat dan Felix Xiauw.
Kita
semua pasti sudah kenal nama tiga orang dai ini. Ketiga dai ini menggunakan
tiga aspek yang saya sebut diatas: estetika visual yang bagus dengan kualitas
audio-video yang mumpuni sehingga tidak membosankan, selalu ada forum tanya
jawab (meski untuk Felix Xiauw tidak selalu ada), dan yang terakhir dibarengi
strategi marketing yang tepat.
Untuk
marketing, tidak semua dai memakai strategi marketing. Tetapi strategi ini
diperlukan agar kunjungan warganet (netizen) di setiap akun media sosial semakin
banyak dan tentu saja supaya semakin dikenal.
Strategi
ketiga ini khususnya dipakai oleh Felix Xiauw, seorang dai zaman now yang setelah lulus dari Institut Pertanian Bogor (IPB)
bekerja di Biotis Agrindo sebagai marketing manajer.
Kemampuan
profesional marketing inilah yang ia gunakan ketika memutuskan sepenuhnya
berdakwah pada tahun 2012. Metode dai yang dihubungkan dengan Hizbut Tahrir
Indonesia (HTI) ini terbukti berhasil, dan saat ini Felix Xiauw bisa dikatakan
sebagai salah satu dai yang punya pengaruh besar di kalangan milenial.
Selain
ketiga aspek itu, satu karakteristik tambahan dari ketiga dai di atas adalah
semuanya mempunyai tim dakwah yang bekerja di belakang mereka. Abdul Somad
dengan tim “Tafaquh”, Adi Hidayat dengan Akhyar TV dan Felix Xiau dengan tim
‘Yuk Ngaji’.
Semua
ini menjadi pendukung ketiganya agar dikenal oleh para warganet. Sebagaimana para
Youtuber sukses karena dibelakangnya ada tim
yang solid, maka dai era dakwah 2.0 tidak akan mudah dikenal oleh warganet jika
dirinya tidak dukung tim agar videonya punya kualitas estetika yang bagus,
model komunikasi yang menarik dan pemasaran online
yang kuat.
Jika
kita melihat masing-masing akun tiga dai di atas, ketiganya punya subscriber yang berjibun. Tafaquh telah masuk
kategori ‘Gold Play Button’ dari YouTube dengan jumlah pengikut lebih 1 juta,
sedangkan Akhyar TV dan akun pribadi Felix Xiauw masing masing masuk kategori
‘Silver Play Button’ dengan jumlah pengikut di atas 100 ribu orang.
Jumlah
pengikut ini menunjukkan popularitas mereka di mata warganet terutama kaum
milenial yang sudah akrab dengan dunia digital. Selain itu, kategori peringkat di
atas berbanding lurus dengan pendapatan masing masing akun dari Youtube. Contoh
akun Tafaquh, menurut investigasi New Mandala, dalam setahun pendapatannya dari
iklan di kisaran angka US$75,000–$100,000.
Siapa pun Bisa Jadi Dai
Sebelum
dunia medsos ‘menyerang’ (era dakwah 1.0), menjadi dai terbilang sulit karena
harus punya literasi yang kuat di bidang agama. Namun di era dakwah 2.0,
otoritas keagamaan bukan lagi satu-satunya ukuran orang bisa berdakwah.
Memang
betul, orang yang mempunyai kemampuan literasi agama akan punya peluang lebih
besar apalagi jika didukung tiga aspek yang saya sebut di atas.
Tetapi,
siapa pun yang punya keberanian meski tanpa literasi agama, asalkan menguasai
aspek teknologi digital, komunikatif dan didukung marketing yang handal, bisa
menjadi dai.
Bagi
beberapa, Felix Xiauw masuk kategori ini, berhasil menjadi dai terkenal
meskipun tanpa sanad keilmuan yang jelas. Di luar dirinya, kita pun kenal sosok
Sugi Nur Raharja (Gus Nur) yang kontroversial, meskipun literasi agamanya pas-pasan,
namun dia aktif di medsos, dan nyatanya berhasil menjadi ‘dai’ dan punya banyak
pengikut.
Mengikis
tipikal pendakwah seperti ini membutuhkan kerja keras, terutama bagi para
santri yang merasa punya sanad keilmuan tetapi kurang kreatif untuk bersaing di
dunia digital.
Kuncinya
kemudian pada asah diri untuk melek dunia digital dan mempersiapkan tiga aspek
penting dakwah 2.0 agar bisa mencerahkan umat dari jebakan dai tanpa sanad.
Gus
Baha, Gus Muwafiq, dan Gus Miftah adalah sedikit dari para santri dengan sanad
yang telah berhasil masuk jajaran dai yang mulai dikenal di medsos. Tentu kita
menunggu para santri lain untuk berbuat yang sama dan aktif berdakwah di dunia
digital
Dikutip dari alif.id
0 komentar:
Posting Komentar