Diriwayatkan
pada suatu hari, Abu Hanifah duduk dengan menjulurkan kakinya. Lalu datang
seorang syekh yang mengenakan sorban, sehingga tampaklah ia seorang yang
berilmu.
Melihat
kedatangannya, Abu Hanifah
langsung menarik kakinya karena menghormati syekh itu. Kemudian syekh tersebut
mendekati Abu Hanifah dan bertanya, “Wahai
Abu Hanifah, kapan orang berpuasa boleh berbuka?”
Abu
Hanifah lalu menjawab, “Ketika
matahari tenggelam.” Syekh tersebut bertanya lagi, “Bagaimana jika
hingga pertengahan malam matahari tidak tenggelam?” Abu Hanifah lantas
menjawab, “Kalau begitu,
kini saatnya aku kembali menjulurkan kaki!”
Cerita
ini menarik untuk kita bahas dan mengambil ibrah darinya. Paling tidak untuk
kita berterima kasih kepada Abu Hanifah. Sedikitnya ada tiga hal yang kita
dapat dari cerita Abu Hanifah dan syekh ini.
Pertama,
Abu Hanifah memiliki sifat tawadhu dan rendah hati. Ia memiliki ilmu yang luas sehingga
ia diberi gelar sebagai Imam Abu Hanifah, peletak dasar Mazhab Hanafi. Namun
begitu, kepada siapa saja yang berilmu ia akan tetap menghormatinya.
Kedua,
syekh yang digambarkan di atas adalah orang yang sedang berperan di panggung
sandiwara kehidupan yang seakan-akan. Yaitu seakan-akan ia adalah orang yang
berilmu. Padahal tidak begitu.
Kita
pun sebagai manusia kerap kali salah persepsi dalam menilai seseorang. Kadang
yang kita anggap baik ternyata tidak. Atau yang kita anggap buruk ternyata
baik. Begitulah kenyataan hidup, seperti sang syekh yang dianggap berilmu
tersebut di atas. Memang hanya Allah yang mampu melihat manusia dari hatinya.
Ketiga,
Abu Hanifah memberi pelajaran bagaimana kita bersikap terhadap orang yang tidak
berilmu dan ngeyel. Ia tidak memberikan jawaban atas pertanyaan syekh yang
terakhir. Waktu memang terlalu mahal untuk dihabiskan dengan hal yang sia-sia.
Kaidah yang satu ini tepat untuk menggambarakan sikap Abu Hanifah dalam cerita
di atas yaitu: “Tidak
menjawab pertanyaan bodoh adalah sebuah jawaban.”
Diambil dari bincangsyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar