Kita meyakini
bahwasanya Islam adalah agama yang mudah. Ia sama sekali tidak menghendaki
adanya kesukaran dan kesusahan bagi setiap pemeluknya. Allah Swt dalam
firman-Nya juga menginginkan kemudahan dan tidak menginginkan kesulitan atas
hamba-Nya. Sebagaimana yang tertuang di ayat berikut ini:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“…Allah menghendaki kemudahan bagimu,
dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…” [Al-Baqarah: 185]
Di samping itu, citra Islam juga diakui
sebagai agama yang moderat, tidak kaku, progressif dan sangat terbuka dengan
perkembangan zaman, baik dalam tataran kebudayaan maupun kemajuan teknologi.
Bicara tentang kemudahan ini, sudah
barang tentu tidak bisa dipisahkan lagi dari jalan tumbuh kembangnya peradaban
umat manusia. Sementara itu, kaidah atau prinsip utama yang menjadi pegangannya
adalah mampu menghadirkan dampak positif guna kemaslahatan umat bersama, dapat
mendatangkan kemudahan-kemudahan dan menghilangkan berbagai kesulitan.
Rasanya, tidak ada satu alasan pun yang
tepat untuk kita mesti bersikap menutup diri dengan sifat eksklusif terhadap
kemajuan teknologi, baik yang datang dari internal Islam sendiri ataupun
selainnya.
Salah satu bukti keterbukaan ini ialah
menyangkut sejarah penggunaan “keran” sebagai alat wudlu. Percaya atau tidak
lompatan ini adalah bentuk inovasi yang cukup revolusioner. Selain itu, hal ini
juga erat hubungannya dengan silang pendapat dari keempat madzab besar dunia.
Keran yang banyak dijumpai di
suaru-surau, mushola dan masjid sebagaimana sekarang ini, jika dilacak secara
historis memiliki banyak kontroversi yang telah berlangsung lebih dari satu
abad lamanya. Lantas, Apa asal dan sejarah kata ini, dan dari mana asalnya?
Pelacakan tersebut akan membawa kita ke
sejarah transformasi sosial di mana pengaruh ahli hukum dan otoritas "teks
yurisprudensi" mempunyai efek besar pada kehidupan masyarakat.
Terdapat beberapa versi mengenai titik
berangkat sejarah ini bermula. Bagi sebagian kalangan berpendapat bahwa
peristiwa ini terjadi di era dinasti Mamluk (Mesir), sebagian lagi berkiblat
pada masa khalifah Abassiayah dan sisanya mengaitkan kepada sosok Muhammad Ali
Pasha. Namun, berdasarkan kisah termasyhur, kebenaran cerita ini lebih mengacu
pada pilihan yang terakhir.
Dulu, pada masa pemerintahan Muhammad
Ali Pasha, dalam upayanya membangun Masjid Muhammad Ali di sebuah benteng. Ia
membuatkan keran sebagai ganti media berwudlu bagi para jamaah yang umum
berlaku pada waktu itu, yang mana hanya terdiri dari kolam.
Alasan lain yang menguatkan penggunaan
keran tak lain juga sebagai usaha pencegahan penyakit kolera yang merebak subur
pada kala itu. Karena wabah penyakit ini terjadi akibat infeksi bakteri yang
mengontaminasi air penduduk sekitar. Regulasi tak cukup di situ saja, perbaikan
jamban juga menjadi sasaran prioritas agar masyarakat memiliki sanitasi
pembuangan yang memadai dan layak pakai.
Mengenai pembaharuan ini terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqih. Pihak pertama, para ulama dari
madzab Hanbali, Syafii dan Maliki menentang keras tekait pandangan ini, karena
hal sedemikian itu termasuk praktik bid'ah dalam agama Islam. Terlebih lagi,
mereka tidak pernah melihat para ulama salaf dari negara-negara muslim
menggunakan metode ini.
Bersandar pada hadits: "Setiap
bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka." Ketiga
ulama madzab tadi menolak hadirnya keran sebagai alat wudlu.
Menempuh jalan berbeda, pihak kedua,
golongan ulama madzab Hanafi berargumentasi lain. Menurutnya hal tersebut
diperbolehkan atau sah-sah saja untuk dilaksanakan, sebab keran yang
difungsikan sebagai perangkat kemudahan dalam berwudlu ini bisa mengenyahkan
kesulitan bagi umat muslim. Di sisi lain, berwudlu dengan air yang mengalir itu
jauh lebih utama.
Atas dasar peristiwa
bersejarah tersebut, di kemudian hari banyak orang menisbahkan “keran”
dengan madzab Hanafi. Tentang sejarah ini, orang Mesir pun tak ingin mandeg
hanya sebatas ingatan di tempurung kepala saja tanpa adanya pengabadian.
Akhirnya, dibuatlah derivasi kata lain keran dan tercetus hanafiyah yang
merujuk dari nama pendiri madzab Hanafi sendiri yaitu Nu'man bin Tsabit bin
Zuta bin Mahan at-Taymi, atau yang lebih dikenal dengan nama Abū ḤanīfahNamun,
yang sahih, bahasa Arab keran adalah shanbur yang merupakan bentuk
tunggal dari shanabir. Sebab, apabila ditilik dari bahasa Arab fusha hanafiyah sendiri
berasal dari kata hanfun yang bermakna tegak, lurus, seimbang,
konsekuen, dan jujur. Akan tetapi, sebagian yang lain mengatakan hanafiyah berasal
dari bahasa koptik hunafa yang artinya shanbur (selang).
Dan menurut kalangan awam, itu berarti bazbuz, derivatif dari al buz yang
artinya mulut.
Berkaca pada sekelumit
uraian di atas, menunjukan kepada kita bahwasanya keran menjadi simbol
keterbukaan Islam dalam menghadapi serba serbi perkembangan zaman. Meskipun,
acapkali disertai dengan perselisihan yang panas dan memusingkan kening di
antara beberapa golongan. Pada akhirnya, melalui cerminan satu contoh
kecil tersebut, Islam menolak bentuk sikap eksklusif, kejumudan berpikir dan
laku kolot bagi pengikutnya terhadap temuan-temuan baru yang lebih baik.
Diambil dari
harakahislamiyah.com
0 komentar:
Posting Komentar