Pages

Rabu, 03 Juli 2019

Agama dan Kegalauan Masa Depan Manusia

Sumber gambar: ekonomi.kompas.com

Melihat kehancuran alam dan perilaku manusia yang semakin nyata, semakin sah kita mengajukan sebuah pertanyaan tentang masa depan manusia. Kemana ras manusia ini akan menuju dan bagaimana nasib mereka di tengah kerusakan yang menyelimuti mereka baik pada tingkat ekologis dan juga moral? Memang ada baiknya kita tetap optimistik bahwa ras manusia akan baik-baik saja, tapi kita juga memiliki alasan yang cukup untuk resah melihat geliat masa depan manusia yang semakin suram.

Optimisme muncul karena kita yakin manusia akan mengambil tindakan untuk menyelaraskan hidupnya baik dengan dirinya sendiri maupun dengan lingkungannya. Keadaan yang menekan akan memaksa manusia untuk memperbaiki diri guna menyelamatkan dirinya. Namun, pada saat yang sama, manusia memiliki potensi untuk bersikap amoral karena seringkali tidak mampu menghadapi tekanan hidup yang dialaminya. Pada tatanan sosial, sering kekuatan jahat lebih dominan daripada kekuatan baik. Karena alasan inilah Khalifah Umar ibn Khattab pernah mengadu kepada Tuhan seraya mengatakan “Ya Allah, aku mengadu kepada-Mu karena kekuatan para pendosa, dan ketidakberdayaan orang yang dapat dipercaya.” (Ibn Taimiyyah 1995, 18).

Hampir tidak ada jaminan dalam sejarah kehidupan manusia bahwa kebenaran, keadilan, keselarasan akan menang atas kejahatan, kezaliman, dan ketimpangan. Kadang terjadi sebaliknya, kejujuran dicemooh demi melanggengkan kebohongan; kepentingan publik dikerdilkan demi kepentingan individu. Sebaiknya kita melakukan upaya interpretatif dalam rangka memahami gejala kemanusiaan sekaligus mencarikan suatu tawaran solusi bagi persoalan inti yang dihadapi manusia saat ini.

Manusia tidak bisa lepas dari ketergantungan pada alam. Manusia dapat berkembang dan maju karena alam. Seperti halnya makhluk hidup lainnya, manusia merupakan bagian integral dari alam tempat ia hidup. Melalui alam, manusia dapat mengenal Tuhan, karena alam merupakan tanda-tanda konkret atas kebesaran-Nya. Oleh karena itu, alam bukanlah tanpa makna dan tujuan. Ia ada dan diciptakan untuk membantu manusia menemukan dirinya dan mencapai jalan yang ingin ditujunya. Secara teologis, alam sebagai penyedia yang arif bagi kebutuhan manusia dan seluruh makhluk hidup. Namun, kearifan alam terhadap manusia itu justru dibalas oleh manusia dengan keburukan. Manusia mengeksploitasi alam secara egois tanpa batas, padahal alam memiliki aturan main yang harus dihormati.

Satu hal yang mendorong manusia untuk bersifat eksploitatif—di samping ketamakannya—adalah kebebasannya. Kebebasan ini membukakan jalan untuk melakukan apa saja guna mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam diri manusia ada kehendak bersifat motivasional yang mendasari tindakannya. Kehendak itu bisa saja dipengaruhi oleh agama, politik, atau budaya, sehingga sebuah kehendak dapat kita sebut sebagai kehendak agamis, politis, atau budaya. Sebuah konsekuensi dari kehendak yang dipengaruhi oleh agama akan berbeda dengan konsekuensi kehendak yang dipengaruhi oleh politik atau budaya. Sebuah kehendak yang didorong oleh ajaran agama akan berbeda-beda pula konsekuensinya. Islam menghasilkan konsekuensi yang berbeda dari Kristen. Struktur sebuah masyarakat berikut norma dan kebiasaan manusia yang terbangun atas dasar ajaran Islam akan berbeda dengan struktur masyarakat yang dibangun atas dasar ajaran Kristen. Seperti materialisme telah memunculkan orang yang materialistis sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka hanya melihat kepentingan pribadi dan pertimbangan untung-rugi belaka.

Manusia juga makhluk yang independen yang tidak bisa dipengaruhi oleh apa pun termasuk agama, politik, dan budaya. Dalam konteks ini, kita dapat mengatakan bahwa apa yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari adalah murni hasil dari kebebasan manusia sebagai manusia. Ini ada benarnya jika kita melihat manusia sebagai makhluk rasional yang memiliki kesadaran dalam bertindak. Sebagai manusia, kita selalu sadar dalam menentukan tindakan kita, sehingga apa pun yang kita lakukan bisa saja tidak ada sangkut pautnya dengan ajaran agama tertentu atau dengan dogma politik, budaya, atau aliran pemikiran. 

Kedua pendapat ini akan memengaruhi pandangan kita tentang pola sejarah manusia. Pendapat pertama mengatakan bahwa sejarah manusia bersifat deterministik, yaitu ditentukan oleh kekuatan lain dari luar manusia seperti agama, politik dan budaya.  Pendapat kedua meyakini pola dan nasib sejarah amat tergantung pada sikap dan perilaku manusia sebagai makhluk yang independen.

Yang pertama meyakini manusia tidak mampu untuk menentukan nasib dan membuat aturan mainnya sendiri dalam kehidupannya. Kendati manusia memiliki kebebasan, ia tidak selalu mampu untuk mengupayakan yang terbaik bagi dirinya.  Determinisme mutlak memang tidak bisa diterima karena manusia harus diakui independensinya.  Dan independensi mutlak pun tidak berlaku bagi manusia sebab banyak hal di dunia ini yang manusia tidak memiliki otoritas apa pun. Seperti kelahiran, kematian, dan perkawinan merupakan wilayah yang manusia tidak memiliki campur tangan di dalamnya, manusia takluk pada kehendak Tuhan yang Mahakuasa. Untuk itulah, independensi manusia harus dibatasi karena tidak dapat menerobos semua wilayah yang ada di dalam kehidupannya.

Pada sisi lain, manusia juga harus diberi kebebasan untuk memelihara dan memperjuangkan nasibnya sendiri secara independen.  Setiap manusia memiliki tujuan hidup sendiri-sendiri yang tidak bisa dibatasi atau diatur oleh apa pun termasuk agama.  Apalagi tujuan hidup itu terkait dengan kebutuhan yang paling mendasar, yaitu keinginan untuk bertahan hidup. Namun, sekali lagi, kebebasan manusia harus ada koridor dan batas. Jika setiap individu dibiarkan untuk bersikap secara independen, maka yang akan terjadi adalah kekacauan. Setiap manusia akan mengejar keinginannya dengan caranya sendiri yang bisa saja berlawanan dengan cara orang lain bahkan dengan norma sosial dan agama. Akan terjadi penabrakan norma yang sudah ada dan penjebolan tanggul pengaman “social cement” lalu melubernya lumpur kekacauan ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat. 

Manusia adalah makhluk agresif yang memiliki keinginan untuk maju melalui persaingan yang ketat. Jika persaingan itu tidak diatur, maka akibatnya sudah dapat diprediksi.  Tidak seperti binatang yang berperilaku atas dasar naluri, manusia bertindak atas dasar keinginan. Keinginan itu kadangkala bersifat liar dan tidak terkontrol yang karenanya seseorang dapat bersikap destruktif. Acap kali maksud dan tujuan perbuatan kita lebih ditentukan oleh energi negatif yang ada dalam diri kita ketimbang oleh kalkulasi rasional. Permasalahannya menjadi lebih rumit ketika dalam menentukan perbuatannya manusia tidak lagi peduli pada hukum alam, sosial, dan agama. Padahal manusia diciptakan dan dibesarkan oleh alam dan serangkaian norma yang mengelilinginya. Manusia hendaknya tunduk pada serangkaian norma, lebih-lebih kepada aturan agama yang mengikatnya.

Sepanjang sejarah, tidak pernah ada bukti manusia dapat hidup secara mandiri. Ia membutuhkan Sang Khaliq. Manusia tidak bisa hidup dan memiliki masa depan tanpa aturan Tuhan yang diramu dalam Syariat. Kita memiliki alasan yang cukup untuk tetap optimis dengan masa depan manusia karena ada agama yang melandasi dan mengatur kehidupannya. Tanpa agama, hidup adalah kekacauan. Agama apa yang harus dianut oleh manusia untuk menuju kepada keselamatan bukanlah permasalahan yang ingin kita bahas di sini. Kita lebih tertarik pada sebuah kenyataan bahwa agama dengan sistem metafisika yang dimilikinya megandung kekuatan transendental yang dapat memengaruhi nasib dan arah hidup manusia.

Tuhan telah membuat peta kehidupan bagi segenap umat manusia. Tugas manusia adalah mengikuti peta tersebut dan menelusuri perjalanan hidupnya sesuai dengan rambu-rambu di dalamnya. Pandangan ini memang terkesan deterministik. Tapi sebetulnya tidak. Kita yakin bahwa kehidupan adalah serangkaian norma. Kehidupan bukan wujud dan realitas yang kosong akan norma. Berbeda dengan kaum empirik seperti David Hume yang meyakini bahwa dunia ini adalah murni fakta dan tidak ada wujud yang hakiki di luar fakta, tetapi kita meyakini bahwa di atas fakta ada norma. Kaum empirik membatasi cara pandang pada ranah fakta saja sehingga perspektif mereka terhalang untuk melihat dunia fakta sebagai medium menuju dunia norma. Padahal esensi dari fakta adalah norma. Konklusi faktual muncul karena seseorang melihat suatu benda hanya sebatas sebagai fakta empirik yang memberikan data atau statistik, sehingga yang didapatkan hanyalah data. Norma yang semestinya bisa diambil dari sebuah fakta menjadi tersembunyi. Contoh pandangan faktual, seperti kita melihat mahasiswa, yang akan kita cari dari dia adalah data yang relevan dengan statusnya sebagai mahasiswa. Seperti daerah asal, umur, kampus, jurusan, prestasi kuliah, dan seterusnya. Pandangan faktual berhenti di sini dan tidak mengembangkan observasinya. 

Sementara itu, pandangan normatif akan melangkah lebih jauh. Umpama, jika mahasiswa berprestasi, maka pendekatan normatif dapat memunculkan suatu konklusi yang baik karena prestasi dapat—misalnya—membuka peluang lebih besar bagi yang bersangkutan untuk mendapat pekerjaan.  Statemen “prestasi adalah sesuatu yang baik” adalah konklusi normatif.  Kata “baik” mengandung arti norma.  Konklusi normatif ini sekali lagi tidak bisa didapat dengan pendekatan empirik, dan hanya bisa dilakukan melalui pendekatan normatif.  “Pendekatan empirik” kata David Hume “tidak dapat menghasilkan konklusi normatif”.

Lebih dari itu, karena pendekatan empirik tidak pernah berhasil mengambil kesimpulan normatif, maka pilar norma pun tidak pernah mendapatkan tempat. Yang saya maksud dengan pilar norma adalah agama. Dalam mazhab empirisme, agama tidak diakui keabsahannya. Bukan hanya itu, Tuhan yang merupakan pewahyu agama juga tidak diakui keberadaannya karena Ia tidak dapat diindera. Yang diakui keberadaan dan keabsahannya adalah benda dan dunia fakta. Untuk itulah, mazhab empirisme yang mewakili jumlah besar ahli filsafat di Barat dan kalangan awam di sana, tidak menerima pandangan normatif tentang wujud lebih-lebih pandangan normatif yang meyakini adanya realitas di balik realitas empirik. 

Pandangan empirik tentang wujud ini berimplikasi panjang. Di antaranya adalah anggapan hidup ini bermula dan berakhir pada benda saja. Atau dalam ungkapan lain, karena benda merupakan realitas satu-satunya yang hakiki, maka makna dan tujuan hidup ada pada benda itu sendiri. Perlu dicatat bahwa kaum empirisme memasukkan manusia dalam kategori benda. Empirisme memandang makna dan tujuan hidup ada pada manusia, bukan pada entitas lain.  Untuk itu, manusia berhak untuk menentukan tujuan hidupnya sendiri sekaligus membuat serangkaian aturan yang dapat mewujudkan tujuan hidupnya. Sikap ini merupakan pemberontakan terhadap agama dan Sang Pencipta yang menurunkannya.

Pandangan ini tidak dapat dipisahkan dari pengaruh filsafat Emmanuel Kant.  Kant menegaskan bahwa manusia adalah sumber norma dan aturan kehidupan.  Dengan tegas ia mendorong dan mengeluarkan imperatif kepada sesamanya untuk “bertindak sedemikian rupa sehingga engkau dapat menghendaki agar patokannya menjadi hukum umum”. Ungkapan ini bermakna, manusia adalah standar satu-satunya bagi norma dan pengadaan hukum umum.  Di luar kehendak manusia tidak ada hukum dan norma, dan—jika ada—maka itu tidak dapat diterima. Setiap individu memiliki otoritas untuk berkehendak dan membuat hukum umum. Menurut Kant, manusia sebagai individu benar-benar menjadi patokan dan sumber hukum. 

Pada saat yang sama, imperatif itu merupakan penolakan kepada agama atau budaya sebagai sumber norma dan hukum, juga kepada manusia secara kolektif yang—dalam sistem politik—tercermin dalam bentuk negara. Ini kesalahan yang dilakukan Kant. Ia tidak sadar ketika individu menjadi sumber hukum maka yang akan terjadi adalah kekacauan sosial. Kehendak individu pasti berbeda-beda. Dan jika setiap individu menghendaki agar tindakannya menjadi standar hukum umum, maka itu akan mengakibatkan adanya benturan dan konflik. Konflik horisontal akan mudah terjadi jika setiap individu dalam sebuah masyarakat menghendaki dan memaksa agar tindakannya-lah yang harus diakui sebagai patokan.

Pada tingkatan yang paling sederhana, pandangan Kant itu bertentangan dengan konsep demokrasi dan pluralisme. Pandangan Kant egoistik dan tertutup, yang tidak mengakui adanya karakter kehidupan manusia yang serba plural. Pluralisme berarti mengakui adanya keberagaman. Agama Islam mengakui keberagaman dengan tegas dan menganggapnya sebagai salah satu bukti kebesaran Tuhan. Karena itu melebihi filsafat Barat, Islam sebagai tatanan lebih siap menghadapi tantangan zaman dan menjadi sistem sosial yang dapat menampung berbagai unsur dalam masyarakat. Jika Islam dimaknai secara diskriminatif, maka itu adalah kesalahan sejarah yang tidak dapat diampuni. Dalam ungkapan Ernest Gellner, “Islam adalah cetak biru tatanan sosial”

Written by Abdul Kadir Riyadi, Ph.D

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer