Kalimat
“Allahu akbar” disebut juga sebagai takbir: menyebut, mengingat, dan
menggemakan kebesaran Allah Swt. sebagai Tuhan semesta alam. Di samping itu,
menggemakan hal tadi merupakan penegasan hakiki tentang betapa kecilnya kita
sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta. Bagi mereka yang mengenal Allah,
meresapi makna “Allahu akbar” bukanlah perihal memekikkannya sekencang mungkin
di depan lawan politik atau bergerumul massa menyombongkan dada: “takbir!”
Maha
Besar dalam pengertian takbir sifatnya tak terbatas bagi Allah. Besar dalam
artian super-besar, sangat besar, dan maha besar. Jika ukuran besar menurut
kita adalah bumi, maka kebesaran Allah tak bisa diartikan sebesar alam semesta.
Karena alam semesta meskipun besar dan mengembang, ia tetaplah ruang. Maka
mencari kebesaran Allah sejatinya tak akan pernah ada habisnya. Allah Maha
Besar, dan kebesaran itu tak ada satu pun pembandingnya, parameternya.
Menurut
Imam Ja’far, Kemahabesaran Allah tidak bisa diukur dengan suatu hal apapun.
Merasakan kebesaran Allah adalah dengan cara meresapinya lewat akhlak dan
akidah kita. Karena jika kita benar-benar meresapi hal itu, kalimat takbir yang
sering kita ucap secara langsung membuat kita merasa kerdil, kecil, dan tiada
daya upaya.
Mengucap
kalimat takbir sejatinya adalah bentuk untuk mengingatkan diri kita agar
kembali kepada hal-hal yang baik. Mengingat kebesaran Allah dan keperkasaannya,
harusnya kita malu jika kalimat takbir yang besar itu justru kita pakai sebagai
perhiasan dan nafsu berdebat, berpolitik yang salah, dan saling menyerang.
Karena ketika lidah kita berucap “Allahu akbar”, jiwa dan alam bawah sadar kita
ikut terenyuh. Malu. Betapa kecilnya kita.
Saat
bertakbir jiwa kita harus kembali mengingat bahwa Allah adalah Sang Pencipta,
Pendidik, Pemelihara, dan segalanya.
Menyombongkan
dada dengan takbir ataupun memekikkan takbir sebagai hiasan nafsu berpolitik,
secara langsung akan membuat jiwa kita absen untuk kembali meresapi kebesaran
Allah. Kita lupa siapa diri kita, dari mana kita, dan apa akhir hidup kita jika
alpa meresapi makna takbir secara benar. Apa alasan kita untuk tidak kembali
meresapi kebesaran Allah? Kita berilmu, berpangkat, terhormat?
Jika
itu parameternya, maka kita telah kehilangan makna besar dari takbir. Takbir
yang kita ucap setiap hari dalam salat dan zikir ini jangan sampai hanya bagian
dari struktur kata-kata yang kehilangan makna. Hati dan jiwa kita harus kembali
mencari makna itu, jangan sampai hilang dari sanubari.
Kalimat
takbir adalah penerang sanubari, ketukan pengingat diri di saat kita tahu
masalah datang bertubi-tubi namun kita masih punya Rabb yang besar tak tertandingi. Kalimat
takbir bukan alat politik apalagi alat ‘pukul’ memerangi orang-orang yang tidak
sepaham tidak sejalan dengan kita. Kalimat takbir menjadi kecil maknanya jika
disandingkan dengan urusan politik yang usang dan menjenuhkan.
Jika
realita politik kita terus-menerus dipenuhi kata-kata saling serang yang
membawa-bawa takbir, ada baiknya untuk sejenak kita berdiam diri. Merenungi
apa-apa yang terjadi, mencari kesalahan diri kita sendiri, dan memohon ampun
pada Illahi Rabbi.
Menarik sebuah perenungan dari sufi Maulana Jalaludin Rumi mengenai
kontemplasi: “Untuk sejenak kita hidup bersama orang-orang, tapi tiada tanda
ketetapan jiwa dari mereka. Maka, mari sembunyi, seperti air dalam logam, atau
api dalam batu. Kadang
uzlah (menyepi) diperlukan untuk memelihara diri dari
kotoran-kotoran interaksi. []
Sumber: bincangsyariah.com
0 komentar:
Posting Komentar