Pages

Kamis, 11 Juli 2019

Meresapi Makna "Allahu Akbar"

 
Sumber gambar: nu.or.id
Kalimat “Allahu akbar” disebut juga sebagai takbir: menyebut, mengingat, dan menggemakan kebesaran Allah Swt. sebagai Tuhan semesta alam. Di samping itu, menggemakan hal tadi merupakan penegasan hakiki tentang betapa kecilnya kita sebagai makhluk di hadapan Sang Pencipta. Bagi mereka yang mengenal Allah, meresapi makna “Allahu akbar” bukanlah perihal memekikkannya sekencang mungkin di depan lawan politik atau bergerumul massa menyombongkan dada: “takbir!”

Maha Besar dalam pengertian takbir sifatnya tak terbatas bagi Allah. Besar dalam artian super-besar, sangat besar, dan maha besar. Jika ukuran besar menurut kita adalah bumi, maka kebesaran Allah tak bisa diartikan sebesar alam semesta. Karena alam semesta meskipun besar dan mengembang, ia tetaplah ruang. Maka mencari kebesaran Allah sejatinya tak akan pernah ada habisnya. Allah Maha Besar, dan kebesaran itu tak ada satu pun pembandingnya, parameternya.

Menurut Imam Ja’far, Kemahabesaran Allah tidak bisa diukur dengan suatu hal apapun. Merasakan kebesaran Allah adalah dengan cara meresapinya lewat akhlak dan akidah kita. Karena jika kita benar-benar meresapi hal itu, kalimat takbir yang sering kita ucap secara langsung membuat kita merasa kerdil, kecil, dan tiada daya upaya.

Mengucap kalimat takbir sejatinya adalah bentuk untuk mengingatkan diri kita agar kembali kepada hal-hal yang baik. Mengingat kebesaran Allah dan keperkasaannya, harusnya kita malu jika kalimat takbir yang besar itu justru kita pakai sebagai perhiasan dan nafsu berdebat, berpolitik yang salah, dan saling menyerang. Karena ketika lidah kita berucap “Allahu akbar”, jiwa dan alam bawah sadar kita ikut terenyuh. Malu. Betapa kecilnya kita.

Saat bertakbir jiwa kita harus kembali mengingat bahwa Allah adalah Sang Pencipta, Pendidik, Pemelihara, dan segalanya.

Menyombongkan dada dengan takbir ataupun memekikkan takbir sebagai hiasan nafsu berpolitik, secara langsung akan membuat jiwa kita absen untuk kembali meresapi kebesaran Allah. Kita lupa siapa diri kita, dari mana kita, dan apa akhir hidup kita jika alpa meresapi makna takbir secara benar. Apa alasan kita untuk tidak kembali meresapi kebesaran Allah? Kita berilmu, berpangkat, terhormat?

Jika itu parameternya, maka kita telah kehilangan makna besar dari takbir. Takbir yang kita ucap setiap hari dalam salat dan zikir ini jangan sampai hanya bagian dari struktur kata-kata yang kehilangan makna. Hati dan jiwa kita harus kembali mencari makna itu, jangan sampai hilang dari sanubari.

Kalimat takbir adalah penerang sanubari, ketukan pengingat diri di saat kita tahu masalah datang bertubi-tubi namun kita masih punya Rabb yang besar tak tertandingi. Kalimat takbir bukan alat politik apalagi alat ‘pukul’ memerangi orang-orang yang tidak sepaham tidak sejalan dengan kita. Kalimat takbir menjadi kecil maknanya jika disandingkan dengan urusan politik yang usang dan menjenuhkan.

Jika realita politik kita terus-menerus dipenuhi kata-kata saling serang yang membawa-bawa takbir, ada baiknya untuk sejenak kita berdiam diri. Merenungi apa-apa yang terjadi, mencari kesalahan diri kita sendiri, dan memohon ampun pada Illahi Rabbi. Menarik sebuah perenungan dari sufi Maulana Jalaludin Rumi mengenai kontemplasi: “Untuk sejenak kita hidup bersama orang-orang, tapi tiada tanda ketetapan jiwa dari mereka. Maka, mari sembunyi, seperti air dalam logam, atau api dalam batu. Kadang uzlah (menyepi) diperlukan untuk memelihara diri dari kotoran-kotoran interaksi. []

Sumber: bincangsyariah.com

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer