Usai membaca buku Kisah-kisah
Ajaib Imam Al-Ghazali karya Mukti Ali Qusyairi, saya menemukan posisi
teologi Al-Ghazali di antara kaum literalis dan rasionalis pada masanya.
Kelompok pertama diwakili kaum Khawarij dan Hawasyi sementara kelompok kedua
adalah Muktazilah.
Imam Al-Ghazali membangun ilmu kalam
moderat yang bisa mengkolaborasikan antara rasionalitas Muktazilah dan
tekstualitas Khawarij. Ia tidak menghendaki tekstualitas dalam ilmu kalam
sampai tidak menggunakan akal sama sekali seperti Khawarij, dan sebaliknya,
tidak menghendaki memberikan otoritas akal secara total sebagaimana Muktazilah
dan filsuf.
Menurutnya, Muktazilah berlebihan
dalam memberikan otoritas pada akal sehingga mereka mengingkari bahwa akal
memiliki batasan. Kritik Al-Ghazali bahwa akal sangat lemah dan tidak pernah
netral, sementara Muktazilah menyadarkan pada akal dan bagi mereka akal adalah
segalanya. Bagi Al-Ghazali akal sangat subyektif, tergantung siapa yang
menggunakan dan untuk apa digunakan. Apa yang dianggap baik oleh satu kelompok
belum tentu sama dalam pandangan kelompok lain, sehingga tidak pernah
memberikan solusi yang tunggal dan permanen. Akal juga terikat ruang dan waktu
sehingga akal pada prasejarah akan berbeda dengan akal manusia modern sekarang
karena sifatnya yang dinamis, subyektif dan sulit mencari kepastian. Untuk itu
menurut Al-Ghazali akal membutuhkan wahyu untuk mengetahui batasan benar dan
salah, baik dan buruk karena dalam beragama manusia membutuhkan kepastian.
Al-Ghazali pun mengkritik tajam
kalangan yang memahami teks-teks agama secara harfiyah (literalis). Kelompok
ini ada dan berhimpun dalam sekte Khawarij yang lahir pada masa fitnah kubro
pasca tahkim atau arbitrase antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
serta kelompok Hawasyi, kelompok pinggiran/sempalan yang berada diluar
mainstream umat Islam karena pergaulan, pemahaman keagamaannya yang rigid,
kaku, literalis dan ekstrim.
Imam Al-Ghazali mengkritik golongan
tersebut dengan mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak hanya memiliki makna lahiriyah
tetapi juga makna bathin (makna tersurat dan makna yang tersirat). Bahkan
menurutnya selaras dengan hadits Nabi, bahwa “Al-Qur’an memiliki makna lahir, bathin,
had dan mathla.” Disamping itu menurut Al-Ghazali dalam memahami bahasa agama
(Al-Qur’an dan Hadits) tidak sesederhana hanya tahu makna literalnya saja itu
belum dianggap cukup, tapi juga harus menguasai asbab nuzul, ulumul qur’an,
ulumul hadits, dan ushul fiqih. Disamping maqhasid syariah,
mantiq, balaghah dan perangkat ilmu lainnya untuk menghasilkan pemahaman
dan penafsiran dengan baik.
Pemikiran Al-Ghazali sampai hari ini
masih sangat relevan, dan dua teologi yang dikritik Al-Ghazali sampai hari ini
pun masih hidup walaupun dalam wujud yang berbeda. Kelompok tekstualis dewasa
ini sebagaimana Khawarij menjadi kelompok kaku dan ekstrim dalam beragama,
sehingga memunculkan radikalisme dimana-mana, sementara pada posisi sebaliknya
para pendewa akal memunculkan kelompok liberalis yang banyak membuat
keragu-raguan dan ketidakpastian dalam beragama.
Sumber nu.or.id disarikan dari
tulisan alumnus Pondok Pesantren Lirboyo dan Krapyak Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar