Pages

Rabu, 03 Juli 2019

Sayyidina Ali dan Cara(nya) Membela Tuhan

 
Sumber gambar: muslimoderat.net

Perang sedang berkecamuk luar bisa. Di medan perang itu terlihat darah di mana-mana, bunyi nyaring gesekan antar pedang terdengar menyayat. Di tengah kerumunan perang terlihat sosok yang sedang menghunuskan pedang pada lawannya, sebilah pedang yang ada di tangannya sudah siap menebas kepala lawan. Namun, adegan itu berakhir anti klimaks. Lelaki itu batal membunuh orang  yang ada di hadapannya setelah lawan itu meludahi wajahnya. Ia diam sejenak, lalu pergi meninggalkan musuhnya. Lawannya berteriak bertanya mengapa ia tak jadi membunuh dirinya. Lelaki itu hanya menjawab; aku takut membunuhmu bukan karena Tuhan, tapi karena kemarahanku padamu yang telah meludahi wajahku.

Lelaki yang meninggalkan lawannya itu ialah Sayidina Ali bin Abi Thalib, dan lawannya adalah Amru bin Abdul Wad. Cerita itu terjadi saat Perang Khandak, saat umat muslim ditantang oleh orang-orang Quraisy yang tertutup hatinya.

Sepenggalan cerita di atas adalah satu di antara cerita teladan dari Sayidina Ali. Ia sedang mengajarkan pada kita bagaimana menempatkan diri dalam membela Tuhan. Beliau bahkan menolak mengambil kesempatan di mana dua hal sekaligus dapat ia lakukan; membela Tuhan dan membalas kemarahannya. Sayidina Ali tidak memanfaatkan momen itu hanya semata-mata untuk dirinya, untuk menunjukkan bahwa dirinya berada pada posisi yang kuat dan bisa melakukan apa saja. Kalau saja Sayidina Ali melanjutkan ayunan padangnya, toh tidak ada yang tahu bahwa ia telah sakit hati diludahi wajahnya oleh Amru bin Abdul Wad. Tak ada yang tahu bahwa ia membunuh tidak semata-mata karena membela Tuhan, tidak ada yang melihat kemarahan yang tersamar dalam jihad itu. Tapi nyatanya kita tidak mendengar kisah itu, kita mendengar kisah peperangan yang anti klimaks. Dan kita mendengar kisah lain; Sayidina Ali berbalik dan meninggalkan sendiri Amru bin Abdul Wad.

Sayidina Ali sejatinya sedang berbicara kepada kita tentang bagaimana membersihkan hati dalam membela Tuhan. Menyucikan niat dalam segala tindakan yang berkaitan dengan Tuhan. Bahwa niat membela Tuhan haruslah lahir dari kesucian, dari niat tulus, dan tak terkotori oleh nafsu pribadi, oleh ambisi sendiri. Sayidina Ali tidak sedang berbicara tentang pencitraan, itu terlalu naif. Pencitraan adalah pekerjaan kerdil yang hanya dilakukan oleh orang-orang kerdil. Menyucikan niat itu serupa peperangan. Perang dengan diri sendiri, perang dengan nafsu sendiri, perang dengan ego sendiri. Namun, dalam peperangan ini kita tidak boleh meninggalkan nafsu, ambisi, ego begitu saja, kita harus menghunusnya dengan pedang yang tajam, dan memangkasnya sampai ke akar.

Mungkin agak sulit melakukan seperti yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib pada zaman di saat informasi begitu derasnya mengalir, kita dihadapkan pada gempuran ide, gagasan, pemikiran yang saling klaim paling benar dan merasa sedang mewakili Tuhan. Tak jarang kita jumpai satu berita datang, lalu tanpa menggali informasi lebih lanjut tetiba saja akan keluar maklumat kafir, bidah, haram.  Tapi bukan berarti itu tidak mungkin, kita memang berkewajiban untuk terus-menerus berusaha membersihkan hati dari segala kesombongan diri dan prasangka saat hendak menggapai ridha-Nya, saat hendak menjalankan perintah-Nya, saat hendak membela-Nya.

Dikutip dari tulisan Nur Hayati Aida afkaruna.id

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer