Perang sedang berkecamuk luar bisa. Di medan perang
itu terlihat darah di mana-mana, bunyi nyaring gesekan antar pedang terdengar
menyayat. Di tengah kerumunan perang terlihat sosok yang sedang menghunuskan
pedang pada lawannya, sebilah pedang yang ada di tangannya sudah siap menebas
kepala lawan. Namun, adegan itu berakhir anti klimaks. Lelaki itu batal
membunuh orang yang ada di hadapannya setelah lawan itu meludahi
wajahnya. Ia diam sejenak, lalu pergi meninggalkan musuhnya. Lawannya berteriak
bertanya mengapa ia tak jadi membunuh dirinya. Lelaki itu hanya menjawab; aku
takut membunuhmu bukan karena Tuhan, tapi karena kemarahanku padamu yang telah
meludahi wajahku.
Lelaki yang meninggalkan lawannya itu ialah Sayidina
Ali bin Abi Thalib, dan lawannya adalah Amru bin Abdul Wad. Cerita itu terjadi
saat Perang Khandak, saat umat muslim ditantang oleh orang-orang Quraisy yang
tertutup hatinya.
Sepenggalan cerita di atas adalah satu di antara
cerita teladan dari Sayidina Ali. Ia sedang mengajarkan pada kita bagaimana
menempatkan diri dalam membela Tuhan. Beliau bahkan menolak mengambil
kesempatan di mana dua hal sekaligus dapat ia lakukan; membela Tuhan dan
membalas kemarahannya. Sayidina Ali tidak memanfaatkan momen itu hanya
semata-mata untuk dirinya, untuk menunjukkan bahwa dirinya berada pada posisi
yang kuat dan bisa melakukan apa saja. Kalau saja Sayidina Ali melanjutkan
ayunan padangnya, toh tidak ada yang tahu bahwa ia telah sakit hati diludahi
wajahnya oleh Amru bin Abdul Wad. Tak ada yang tahu bahwa ia membunuh tidak
semata-mata karena membela Tuhan, tidak ada yang melihat kemarahan yang
tersamar dalam jihad itu. Tapi nyatanya kita tidak mendengar kisah itu, kita
mendengar kisah peperangan yang anti klimaks. Dan kita mendengar kisah lain;
Sayidina Ali berbalik dan meninggalkan sendiri Amru bin Abdul Wad.
Sayidina Ali sejatinya sedang berbicara kepada kita
tentang bagaimana membersihkan hati dalam membela Tuhan. Menyucikan niat dalam
segala tindakan yang berkaitan dengan Tuhan. Bahwa niat membela Tuhan haruslah
lahir dari kesucian, dari niat tulus, dan tak terkotori oleh nafsu pribadi,
oleh ambisi sendiri. Sayidina Ali tidak sedang berbicara tentang pencitraan,
itu terlalu naif. Pencitraan adalah pekerjaan kerdil yang hanya dilakukan oleh
orang-orang kerdil. Menyucikan niat itu serupa peperangan. Perang dengan diri
sendiri, perang dengan nafsu sendiri, perang dengan ego sendiri. Namun, dalam
peperangan ini kita tidak boleh meninggalkan nafsu, ambisi, ego begitu saja,
kita harus menghunusnya dengan pedang yang tajam, dan memangkasnya sampai ke
akar.
Mungkin agak sulit melakukan seperti yang dilakukan
oleh Ali bin Abi Thalib pada zaman di saat informasi begitu derasnya mengalir,
kita dihadapkan pada gempuran ide, gagasan, pemikiran yang saling klaim paling
benar dan merasa sedang mewakili Tuhan. Tak jarang kita jumpai satu berita
datang, lalu tanpa menggali informasi lebih lanjut tetiba saja akan keluar
maklumat kafir, bidah, haram. Tapi bukan berarti itu tidak mungkin, kita
memang berkewajiban untuk terus-menerus berusaha membersihkan hati dari segala
kesombongan diri dan prasangka saat hendak menggapai ridha-Nya, saat hendak
menjalankan perintah-Nya, saat hendak membela-Nya.
Dikutip dari
tulisan Nur Hayati Aida afkaruna.id
0 komentar:
Posting Komentar