Seorang
netijen yang sedang kuliah di al-Azhar, Mesir memberitahu saya akan buku karya
Habib Ali al-Jifri. Saya berterima kasih atas informasi tersebut dan segera
melacak dan kemudian membacanya. Buku ini semacam kompilasi makalah dan ceramah
beliau. Topik yang di bahas singkat dan aktual. Beberapa tulisan dalam buku itu
juga berasal dari respon Habib Ali akan pertanyaan atau komentar di Facebook.
Secara
umum, saya memiliki kesesuaian pandangan dengan Habib Ali. Bukan saja beliau
luas pandangannya tapi juga luwes sikapnya. Santun dalam berdakwah, tajam dalam
berargumen, dan konon kabarnya — menurut guru beliau Habib Umar bin Hafizh —
wajah Habib Ali mirip datuknya, Rasulullah Saw. Wa Allahu a’lam bis shawab.
Judul
yang dipilih Habib Ali mengundang kontroversi: al-Insaniyyah qabla at-tadayyun.
Kemanusiaan mendahului sikap religius. Beliau mengklarifikasi dalam berbagai
kesempatan bahwa beliau tidak mengatakan al-Insaniyyah qabla ad-din
(kemanusian mendahului agama). Karena bagi beliau tetap agama itu nomor satu.
Namun beliau hendak memisahkan antara agama dengan pandangan dan sikap
keberagamaan. Religion dan religiosity itu dua hal yang terkait
tapi tetap harus dibedakan.
Teks
agama dalam al-Qur’an dan al-Hadis itu benar dan suci, tapi pandangan dan sikap
kita belum tentu benar, apalagi suci. Kegagalan memisahkan ini akan membuat apa
yang kita pahami akan kitab suci seolah dianggap sama mutlaknya dengan
kebenaran kitab suci. Contoh praktis saja: banyak yang merasa membela Islam,
padahal boleh jadi yang dia bela adalah sikap dan pandangannya tentang Islam.
Jadi,
jelas yah jangan digoreng dan dipelintir: Habib Ali al-Jifri tetap mengutamakan
agama (ad-din).
Nah,
apa dalil dari pandangan Habib Ali tentang kemanusiaan didahulukan atas
religiositas? Dalam bukunya beliau mengutip penjelasan dari Hadis Nabi Saw.
Beliau sampaikan versi ringkasnya. Di bawah ini saya kutip versi lengkapnya.
Musnad
Ahmad, Hadis Nomor 16402
١٦٤٠٢ - حَدَّثَنَا
أَبُو الْيَمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ عَيَّاشٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ
أَبِي عَمْرٍو السَّيْبَانِيِّ عَنْ أَبِي سَلَّامٍ الدِّمَشْقِيِّ وَعَمْرِو بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُمَا سَمِعَا أَبَا أُمَامَةَ الْبَاهِلِيَّ يُحَدِّثُ عَنْ
حَدِيثِ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ السُّلَمِيِّ قَالَ رَغِبْتُ عَنْ آلِهَةِ قَوْمِي
فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَذَكَرَ الْحَدِيثَ قَالَ فَسَأَلْتُ عَنْهُ فَوَجَدْتُهُ
مُسْتَخْفِيًا بِشَأْنِهِ فَتَلَطَّفْتُ لَهُ حَتَّى دَخَلْتُ عَلَيْهِ
فَسَلَّمْتُ عَلَيْهِ فَقُلْتُ لَهُ مَا أَنْتَ فَقَالَ نَبِيٌّ فَقُلْتُ وَمَا النَّبِيُّ
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ فَقُلْتُ وَمَنْ أَرْسَلَكَ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
قُلْتُ بِمَاذَا أَرْسَلَكَ فَقَالَ بِأَنْ تُوصَلَ الْأَرْحَامُ وَتُحْقَنَ
الدِّمَاءُ وَتُؤَمَّنَ السُّبُلُ وَتُكَسَّرَ الْأَوْثَانُ وَيُعْبَدَ اللَّهُ
وَحْدَهُ لَا يُشْرَكُ بِهِ شَيْءٌ قُلْتُ نِعْمَ مَا أَرْسَلَكَ بِهِ
وَأُشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ آمَنْتُ بِكَ وَصَدَّقْتُكَ أَفَأَمْكُثُ مَعَكَ أَمْ
مَا تَرَى فَقَالَ قَدْ تَرَى كَرَاهَةَ النَّاسِ لِمَا جِئْتُ بِهِ فَامْكُثْ فِي
أَهْلِكَ فَإِذَا سَمِعْتُمْ بِي قَدْ خَرَجْتُ مَخْرَجِي فَأْتِنِي فَذَكَرَ
الْحَدِيثَ
16402.
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman berkata; Telah menceritakan kepada
kami Isma'il bin 'Ayyasy dari Yahya bin Abu 'Amr As-Syaibani dari Abu Sallam
Ad-Dimasyqi dan 'Amr bin Abdullah sesungguhnya keduanya telah mendengar Abu
Umamah Al Bahili menceritakan dari hadis 'Amr bin 'Abasah As-Sulami berkata;
"Saya sangat membenci tuhan-tuhan kaumku pada Masa Jahiliyyah, " lalu
dia menyebutkan haditsnya. ('Amr bin 'Abasah As-Sulami) berkata; lalu saya
bertanya tentang keberadaan nabi, dan saya pun mendapatkan Nabi dalam keadaan
menyembunyikan diri dari keramaian orang. Saya berusaha menemuinya dengan cara
menyamar hingga saya bisa menemuinya, saya ucapkan salam kepadanya, lalu saya
bertanya,
"Apa
(status/kedudukan) anda?”Beliau menjawab, "Nabi."
Saya ('Amr bin 'Abasah) berkata; "Apakah Nabi itu?"
Beliau menjawab, "Rasulullah."
Saya ('Amr bin 'Abasah) berkata; "Apakah Nabi itu?"
Beliau menjawab, "Rasulullah."
Saya
bertanya, "Siapakah yang mengutus kamu?."
Beliau menjawab, "Allah Azzawajalla."
Beliau menjawab, "Allah Azzawajalla."
Saya bertanya, "Dengan apa?" beliau menjawab, "Agar kamu
menyambung silaturrahim, melindungi darah, mengamankan jalan, berhala
dihancurkan, Allah semata yang disembah dan tidak ada sekutu bagi-Nya
sesuatupun."
Saya
berkata; "Sangat bagus risalah yang karenanya kau diutus. Saya bersaksi
sesungguhnya saya beriman kepadamu, dan saya mempercayaimu, apakah saya harus
tinggal bersamamu atau bagaimana pendapatmu?" Maka beliau bersabda:
"Kamu telah melihat kebencian orang-orang atas apa yang saya bawa, maka
tinggallah di keluargamu. Jika suatu hari nanti kamu mendengarku dan saya telah
keluar dari tempat persembunyianku, datangilah saya, " lalu dia
menyebutkan hadis secara lengkap.”
Habib
Ali menjelaskan bahwa cara Rasulullah menjelaskan risalahnya itu dengan
menyebut ketiga hal mendasar dulu.
1.
Menyambung Silaturrahim. Ini dimaknai Habib Ali jaminan keamanan masyarakat.
2. Melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan
3. Mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali, keamanan publik.
2. Melindungi darah. Ini dimaknai Habib Ali sebagai perlindungan terhadap kehidupan
3. Mengamankan jalan. Ini berarti, menurut Habib Ali, keamanan publik.
Setelah
itu barulah Rasul menjawab mengenai religiositas, yaitu menghancurkan
berhala (ini bagian amar ma’ruf nahi munkar), dan sikap kukuh bertauhid hanya
menyembah Allah (ini masuk wilayah dakwah).
Berdasarkan
riwayat, yang menurut Syekh Arnaut statusnya Sahih ini, Habib Ali al-Jifri
menyampaikan pesan-pesan kemanusiaannya. Kita pun memahami bahwa semua manusia
dijamin keamanan dan kehormatannya, baik di level keluarga-kolega, maupun
masyarakat. Setiap orang harus dihormati darahnya, hartanya, keluarganya,
status sosialnya. Islam menghendaki setiap orang aman dan nyaman berjalan-jalan
di pasar, jalan raya, dan area publik lainnya tanpa khawatir akan dibully,
dinistakan, atau diserang kehormatannya maupun terkena tindak kriminal seperti
pencopetan, serangan teroris, atau bahkan sekadar sandal hilang di Masjid.
Dengan
jaminan sosial, kehidupan dan keamanan publik itu barulah kemudian orang bisa
beragama dengan khusyu’ dan aman serta nyaman. Hati yang adem akan membuat
sikap keberagamaan kita juga adem.
Dengan
kata lain, problem yang kita hadapi dewasa ini bukan soal teks keagamaan, tapi
soal kemanusiaan kita yang merasa terancam, tidak aman dan tidak nyaman. Ini
menggerus kemanusiaan kita sehingga kita tidak lagi jernih, adil dan beradab
dalam memahami teks keagamaan. Pada gilirannya, sikap keberagamaan kita
dipengaruhi oleh sehat atau sakitnya kemanusiaan kita. Itu sebabnya Rasulullah
menyentuh sisi kemanusiaan kita terlebih dahulu dengan ajaran menyambung
silaturrahmi, melindungi darah sesama manusia, dan mengamankan jalan raya.
Pesan
Habib Ali dalam bukunya ini cocok dengan penjelasan para Kiai NU seperti Gus
Mus, misalnya, yang menekankan dakwah kita itu bertujuan untuk memanusiakan
kembali kemanusiaan kita. Sayang, saat ini kita mengalami krisis kemanusiaan
dan malah asyik memaki dengan sebutan yang tidak sepantasnya.
Dikutip
dari nadirhosen.net
0 komentar:
Posting Komentar