Pages

Minggu, 11 Agustus 2019

Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam

Sumber gambar: economist.com


Hingga kini, wacana keislaman boleh dikatakan masih berkutat pada bagaimana Islam harus dipandang setelah agama tersebut berjalan lebih dari lima belas abad lamanya semenjak ia dilahirkan, dan sedang dihadapkan dengan prestasi “pihak lain” dengan berbagai keajaiban modernitasnya. Pandangan terhadap hal tersebut sangatlah penting, terutama di era-era belakangan ini.

Sebagai sebuah komunitas, umat Islam memiliki keyakinan bahwa mereka adalah umat terbaik (khair al-ummah). Akan tetapi, pada saat yang sama mereka sedang berada dalam posisi “tidak berdaya” menghadapi apa saja yang diluncurkan dari pihak lain yang oleh sebagian besar di antara mereka dianggap sebagai “musuh” yang tidak boleh didekati, dah bahkan justru harus diperangi dan disingkirkan. Mengambil begitu saja apa yang datang dari mereka akan berakibat lenyapnya jati diri yang sudah mengakar. Akan tetapi, tetap mempertahankan diri dengan bersikap eksklusif juga akan berakibat pada munculnya proses alienasi diri dari kehidupan. Jika demikian masalahnya, lantas bagimana umat Islam harus bersikap terhadap teks dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an dan Hadits) dan juga terhadap tradisi Islam, serta bagimana juga umat Islam harus mengambil posisi dalam kancah pertarungan ideologi, politik, pemikiran, dan kebudayaan modern saat ini? Jika kita harus merujuk pada masa silam Islam, pertanyaannya: Islam mana yang mungkin dapat dirujuk kembali dalam menghadapi situasi seperti itu dan juga bagaimana menarik ulang Islam tersebut ke pentas kehidupan modern?

Dalam kaitan ini, paling tidak ada tiga alternatif yang mungkin bisa dipilih dan dijadikan acuan, dan dari salah satu dari ketiganya atau bahkan dari ketiga-tiganya bisa kita terapkan dan hadirkan kembali dalam kehidupan modern sekalipun hal itu juga tidaklah mudah. Ketiga acuan tersebut adalah: pertama, merujuk pada teks dasar Islam, yaitu Al-Qur’an. Kedua, merujuk pada seluruh tradisi yang muncul pada era kenabian sebagai bentuk aplikasi dari yang pertama. Dan, ketiga, merujuk pada keseluruhan produk dari interaksi tripartit antara umat Islam, teks-teks keagamaan (Al-Qur’an, al-hadis, dan riwayat-riwayat sahabat), dan situasi yang melingkupi mereka sepanjang sejarah.

Meskipun demikian, menarik kembali apa yang mungkin disebut dengan “islam” ke dalam pentas kehidupan modern tentu tidak dapat dilakukan begitu saja dengan menghadirkan ulang secara apa adanya acuan tersebut. Hal itu karena pada saat kemunculannya, teks dasar Islam melakukan interaksi dengan ruang dan waktu sebelum kemudian membentuk tradisi. Artinya, ia sendiri sudah tidak lagi “polos” atau “telanjang”, dan tradisi bentukan teks dasar tersebut muncul dalam kondisi tertentu. Ia unik dan terbatas. Kalau saja tradisi pertama muncul secara demikian maka tradisi-tradisi berikutnya terbentuk dalam situasi yang lebih kompleks. Oleh karena begitu rumitnya persoalan tersebut maka sangat wajar jika umat Islam pada umumnya dan masyarakat muslim Arab pada khususnya sering mengalami kegamangan di dalam mengambil sikap terhadap kekayaan tradisi yang mereka miliki pada satu sisi, dan juga terhadap munculnya modernitas yang merambah dunia Arab-Islam di sisi yang lain.

Penulis buku ini, Ali Ahmad Said, atau yang lebih popular dengan nama Adonis, di dalam buku ini, memetakan watak kecenderungan masyarakat Arab-Islam dalam menyikapai persoalan tersebut ke dalam dua kategori, yaitu watak imitatif (ittiba’) dan watak kreatif (ibda’) dalam keseluruhan perwujudan budaya dan peradaban mereka Buku yang ada di tangan pembaca ini pada mulanya merupakan disertasi Adonis yang diajukan pada program Sastra Timur di St. Yosef University Beirut, untuk memperoleh gelar Doktor dalam sastra Arab. Buku ini berjudul asli Ats-Tsâbit wa al-Mutahawwil: Bahts fî al-Ibdâ’ wa al-Ittibâ’ inda al-’Arab (“Yang Mapan-Statis dan Yang BerubahDinamis: Kajian atas kreativitas dan konservativitas menurut bangsa Arab”). Di sini, “yang mapan” (ats-tsâbit) dalam bingkai kebudayaan Arab-Islam didefinisikan oleh penulis sebagai pemikiran yang berdasar pada teks, dan yang menjadikan sifat kemapanannya sebagai dasar bagi kemapanan, baik dalam memahami maupun mengevaluasi. Selain itu, “yang mapan” juga menegaskan dirinya sebagai makna satu-satunya yang benar bagi teks tersebut, dan berdasarkan hal itu, ia menjadi otoritas epistemologis. Sementara “yang berubah” (al-mutahawwil) didefinisikan oleh Adonis dalam dua pengertian: pertama, sebagai pemikiran yang berdasar pada teks, namun melalui interpretasi yang membuat teks dapat beradaptasi dengan realitas dan perubahan, dan kedua, sebagai pemikiran yang memandang teks tidak mengandung otoritas sama sekali, dan pada dasarnya pemikiran tersebut didasarkan pada akal, bukan naql (tradisi atau wahyu). Akan tetapi, berdasarkan pengamatan dan penelitian Adonis, “yang mapan” (ats-tsâbit) dalam sejarah kebudayaan Arab-Islam ternyata juga tidak selalu mapan dan statis, begitu juga dengan “yang berubah” (almutahawwil), ia tidak selalu berubah dan dinamis.

Dalam buku ini, Adonis begitu cermat menggambarkan dan memetakan kecenderungan pemikiran dan kebudayaan Arab-Islam. Ia berhasil memotret gerak kebudayaan Arab-Islam yang menurutnya selalu terjadi pertentangan dan pertarungan antara pihak atau kelompok yang menginginkan ortodoksi (kemapanan) dengan pihak atau kelompok yang menginginkan perubahan dalam semua lini (teologi, politik, budaya, hukum, dan bahasa-sastra-puisi), yang mana masing-masing kelompok merasa sebagai pihak yang benar. Tarik menarik kepentingan dan juga perebutan klaim kebenaran itulah yang membuat gerak sejarah-kebudayaan Arab-Islam menjadi berkembang dinamis, meskipun di sisi yang lain terkadang justru memunculkan anomali dan bahkan tidak jarang juga memakan korban jiwa.

Di sini harus diakui bahwa konteks kajian buku ini adalah kehidupan masyarakat Arab-Islam. Namun demikian, hal itu bukan berarti bahwa buku ini tidak memiliki konteks dan relevansi untuk masyarakat Indonesia. Sebab, masyarakat di kedua wilayah ini memiliki banyak kesamaan secara sosiologis dan juga keagamaan sehingga persoalan-persoalan yang muncul di wilayah Arab-Islam juga memiliki banyak kesamaan dengan persoalan yang muncul di negeri ini, terutama terkait dengan bagaimana memahami dan menyikapi hubungan antara teks dasar Islam (Al-Qur’an) dan tradisi keilmuan Islam dengan modernisasi yang merambah ke seluruh pelosok dunia, termasuk Indonesai.

Dalam konteks ke-Indonesia-an, pertentangan antara pihak yang menghendaki kemapanan dengan yang menghendaki perubahan serta pertarungan untuk memperebutkan apa yang diklaim sebagaai “kebenaran” juga tidak kalah kerasnya. Masing-masing pihak saling bersaing dan bahkan tidak jarang saling menjegal untuk mendapatkan apa yang diklaim oleh mereka sebagai “yang benar”. Puluhan kelompok keagamaan di negeri ini berebut klaim sebagai pihak yang memiliki kebenaran, sementara kelompok lainnya, yang berada di luar kelompoknya, dianggap sebagai pihak yang salah sehingga harus disingkirkan atau terkadang bahkan dianggap sah untuk dihancurkan.

Jika dicermati secara seksama, pertarungan untuk memperebutkan kebenaran, atau yang diklaim sebagai “yang benar”, yang terjadi di negeri ini dalam seluruh aspeknya: ideologi, politik, hukum (Islam), dan kebudayaan, juga bertitik tolak dari bagaimana masing-masing kelompok menafsirkan, memahami, dan mendudukkan teks dasar keagamaan Islam (Al-Qur’an) serta tradisi keagamaan Islam dalam kehidupan modern sekarang ini. Sebagian kelompok mendasarkan seluruh pengetahuannya tentang kebenaran pada Al-Qur’an dan as Sunnah. Sementara sebagian yang lain mendasarkan pengetahuannya pada nalar, di samping tentunya juga tetap merujuk pada AlQur’an dan as-Sunnah. Di sisi yang lain, ada juga kelompok yang mencoba memadukan dua kecenderungan di atas. Kelompok ini sering disebut atau “mengklaim diri” sebagai kelompok moderat, meskipun dalam kenyataannya kelompok yang terakhir ini lebih dekat dengan kelompok pertama, dan sering ikut memusuhi kelompok kedua.

Bagi kelompok pertama, kebenaran, seluruhnya, ada pada teks lahiriah Al-Qur’an dan as-Sunnah dan bahwa kehidupan yang ideal dalam semua aspeknya adalah kehidupan pada masa nabi. Oleh karena itu, carut-marutnya kehidupan sekarang ini dinilai oleh kelompok ini sebagai akibat dari sikap umat Islam yang tidak mau lagi menjadikan Al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai rujukan dan dasar dalam menjalani kehidupan. Begitu juga kemajuan teknologi dan juga pradaban yang terjadi pada saat ini dianggap sebagai bukan sebuah kemajuan dan tidak memiliki nilai apa pun karena dinilai menyimpang dari Al-Qur’an dan as-Sunnah: tidak Islami. Bagi kelompok ini, kemajuan dan kesempurnaan hanya ada pada masa nabi sehingga mereka selalu dan akan terus berjuang untuk mewujudkan kehidupan seperti yang terjadi pada masa nabi tersebut. Ini mengandung arti bahwa gerak kehidupan dan kebudayaan dalam seluruh aspeknya harus ditarik mundur menuju kehidupan masa nabi, yakni kehidupan yang Islami. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika di negeri kita saat ini muncul segala sesuatu yang coba diberi citra “Islam”, seperti Perda Syari’at Islam, Ekonomi Islam, Perbankan Islam (Syari’ah), matematika Islam, dan juga muncul wacana khilafah, sebuah konsep politik-kekuasaan yang khas Islam era klasik dan pertengahan.

Sementara itu, bagi kelompok kedua, kebenaran tidak selamanya bersumber dan ada pada Al-Qur’an dan as-Sunnah, tetapi nalar (al-aql) juga dapat menemukan kebenarannya sendiri. Meskipun demikian, hal itu bukan berarti bahwa kelompok ini menafikan kebenaran Al-Qur’an dan as-Sunnah. Hanya saja, bagi kelompok ini kebenaran tidak terletak pada teks lahiriah A-Qur’an dan as-Sunnah seperti yang dipahami kelompok pertama, tetapi ada pada nilai-nilai dasar yang terkandung dalam kedua sumber tersebut. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman rasional dan juga penggalian atas nilainilai dasar yang terkandung dalam A-Qur’an dan as-Sunnah, yang mana hal itu tentu tidak bisa dilakukan tanpa campur tangan nalar (al-aql). Dengan demikian, kelompok ini, berbeda dari kelompok yang pertama, mendudukkan nalar (al-aql) dalam posisi yang sangat penting di dalam proses mencari kebenaran.

Dua kecenderungan di atas, merepresentasikan adanya pertarungan wacana di antara kelompok-kelompok keagamaan yang ada di negeri ini untuk memperebutkan apa yang diklaim oleh mereka sebagai “yang benar”. Sayangnya, dalam kehidupan praksis keagamaan, pertarungan wacana tersebut sering kali diiringi dengan pertarungan urat saraf dan bahkan tidak jarang melibatkan kekuatan fisik. Kelompok yang menghendaki kemapanan sering kali menunjukkan dominasinya atas kelompok pinggiran dengan cara memberikan stereotipe negatif, seperti menuduh tokoh atau kelompok lainnya yang memiliki pandangan atau cara beragama secara berbeda sebagai ateis, ahl bid’ah, atau Islam sesat, dan bahkan tidak jarang mereka juga melakukan penghakiman terhadap pihak yang dianggap menyimpang tersebut. Ada banyak contoh mengenai hal tersebut. Peristiwa pencekalan terhadap salah seorang tokoh senior NU karena dianggap melecehkan Al-Qur’an; penghakiman terhadap salah seorang ustadz di Malang dan ustadzah di Jakarta karena dianggap mengajarkan kesesatan, pengrusakan terhadap kantor dari salah satu organisasi keagamaan yang terjadi di berapa daerah, dan peristiwaperistiwa lain yang terjadi di negeri ini, semuanya menunjukkan bahwa kelompok ini ingin meneguhkan dominasinya atas kelompokkelompok yang lain dengan semua cara. Hal ini jelas sangat mirip dengan yang terjadi di dunia Arab-Islam di mana kelompok dominan yang menghendaki kemapanan sering memaksakan kehendak dan pemikirannya pada pihak lain yang tidak sepaham.

Buku ini akan memberikan informasi yang detil dan “telanjang” atas seluruh sisi kehidupan masyarakat Arab-Islam dan juga tentang gerak kebudayaan dan pemikirannya yang disertai dengan pertentangan dan pertarungan yang begitu keras di antara kelompok yang menghendaki kemapanan (status quo) dan yang menginginkan perubahan. Begitu terbuka, detil, dan kontrvfersialnya pemberitaan yang ada dalam buku ini serta begitu kritisnya Adonis dalam melihat dan membaca setiap informasi (data) yang ada maka tidak mengherankan jika kritik dan juga cemoohan banyak dialamatkan pada buku ini dan juga kepada penulisnya. Akan tetapi sayangnya, kritikan tersebut lebih sering muncul dari tokoh yang sebenarnya tidak paham dengan gagasan yang diusung oleh Adonis. Oleh karena itu, kehadiran buku ini diharapkan akan mampu memberikan pemahaman yang lebih jelas tentang gerak kebudayaan Arab-Islam. Selain itu, buku ini juga diharapkan bisa memberikan wacana dan perspektif baru atas sejarah dan pemikiran Arab-Islam dengan segala dinamikanya.

Sumber kata pengantar buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam

Bagi pembaca yang hendak menggali lebih dalam isi buku Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam dapat mendownload versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer