Beragama di Zaman Kacau
Jebakan
kulit agama telah mengantarkan manusia hanya menangkap yang dangkal dari agama.
Jebakan itu membuat manusia saling membenci. Perasaan saling membenci itu
kemudian dikokohkan menjadi ideologi kebencian (ideologi takfiri). Ideologi
inilah yang mendorong sebagian umat beragama menjadi radikal dan melakukan
teror.
Spiritualisme
Untuk
menangkal ideologi takfiri, umat beragama harus menghidupkan spiritualisme (hal
229). Spiritualisme itulah esensi agama. Mengapa spiritualisme bisa menangkal
ideologi takfiri dengan segala eksesnya yang berupa terorisme dan radikalisme?
Sebab, spiritualisme menawarkan tiga hal, yakni cinta, damai, dan kerja sama.
Jika ingin menghentikan kekacauan, kembalilah pada agama. Tetapi, jangan pilih
bagian kulitnya. Pilihlah spiritualnya. Semua agama beresensikan spiritualitas
yang sama, yakni cinta, damai, dan kerja sama. Para pendiri bangsa memiliki
jalan pikiran yang mementingkan spiritualitas itu. Bung Hatta, misalnya,
menyatakan “jika orang ingin memperjuangkan ajaran Islam di Indonesia, pakailah
ilmu garam, tidak ilmu gincu” (A Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai
Dasar Negara, 2017: xi). Agama lain juga selayaknya demikian.
Semua
pemeluknya sebaiknya lebih mementingkan isi agama yang berupa nilai keluhuran
bukan kulit agama. Pandangan Bung Hatta itu relevan dengan ide dasar buku ini.
Gagasan semacam ini sesungguhnya berakar kuat pada pe- mahaman para Walisongo
atas Islam yang secara turun-temurun dilanjutkan oleh para ulama dan
tokoh-tokoh pejuang termasuk Pangeran Diponegoro. Jika dirunut ke belakang
lagi, pandangan Islam Walisongo itu berakar pada ajaran Panteisme Ibnu Arabi
yang mengakui irfan (gnosticism) sebagai jalan ilmu pengetahuan (hal 218).
Panteisme yang mengajarkan wahdatul wujud (monism) itu mengajarkan harmoni
semua makhluk mengingat semua makhluk adalah pancaran cahaya Allah (emanasi).
Semua makhluk bersumber dari satu titik tunggal. Oleh karena itu tidak mungkin
saling bertentangan. Inilah akar yang pernah disampaikan Gus Dur dan sering
dikutip berbagai media, bahwa: “Jika kamu membenci orang karena dia tidak bisa
membaca Al Quran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi Al Quran.
Jika
kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu
pertuhankan itu bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang
melanggar moral, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tapi moral.
Pertuhankanlah Allah, bukan lainnya. Dan, pembuktian bahwa kamu mempertuhankan
Allah, kamu harus menerima semua makhluk. Karena begitulah Allah.” Dengan kata
lain, Gus Dur mendorong manusia berperilaku sebagaimana Allah berperilaku
terhadap makhluk-makhluk-Nya. Dalam diri manusia dan perilakunya hendaknya bisa
ditemukan sifat-sifat Allah dengan segala kemuliaan dan keluhuran-Nya terutama
dalam hal kasih sayang pada semua makhluk.
Moderat
Akar
harmoni yang kuat pada bangsa Indonesia sejak dahulu kala itu mestinya menurun
pada seluruh anak bangsa untuk bersikap moderat. Islam Indonesia pada dasarnya
adalah Islam moderat sebagaimana Islam Andalusia tempo doeloe yang mampu meramu
spiritualisme, local culture, dan ilmu pengetahuan (hal 222). Bangsa ini tidak
mengenal dikotomi dalam semua aspek kehidupan. Semua hal harus dibangun secara
utuh baik jiwa maupun raga, baik urusan dunia maupun akhirat. Itu sebabnya,
lagu “Indonesia Raya” berbunyi: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya, untuk
Indonesia Raya”. Secara tidak langsung, buku ini mengungkapkan bahwa terdapat
pergeseran paradigma pemikiran keagamaan di Indonesia kontemporer. Paradigma
pemikiran agama yang lebih mengedepankan harmoni itu kini sedang digantikan
oleh paradigma takfiri. Penulis buku ini memperingatkan pembaca untuk tidak
tergiur dengan paradigma baru itu. Paradigma ini bersumbu pada ideologi takfiri
yang suka mempropagandakan kebencian (hal 168-169). Ideologi ini mengancam
ideologi Pancasila dan NKRI (hal 172). Selain untuk bersikap moderat, buku ini
juga mengajak pembaca untuk tidak gegabah dalam melihat masalah. Fenomena agama
di Indonesia kontemporer cukup rumit. Banyak hal yang harus dipahami secara
cermat. Relasi Sunni-Syi’ah, misalnya, yang beberapa waktu lalu mengeras
sesungguhnya bukanlah berakar dari esensi, bukan pula berakar dari
keindonesiaan kita. Esensi relasi keduanya adalah relasi penuh perdamaian. Kekacauan
relasi keduanya di Tanah Air sesungguhnya lebih dipicu oleh faktor eksternal,
yakni mengerasnya relasi Arab Saudi dan Iran (hal 159-175).
Jika kita tidak kembali pada Pancasila, maka apa yang terjadi di Suriah dan
beberapa negeri Timur Tengah lainnya bisa menular di sini. Ajakan untuk tidak
gegabah ini pernah pula disampaikan oleh pemikir muslim lain seperti Khaled
Aboe el-Fadhl (Atas Nama Tuhan: Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
2001:210). Sebagai kumpulan tulisan, buku ini menunjukkan ke-lihai-an
penyuntingnya. Walaupun tulisan yang disajikan membahas topik yang luas dan
beragam, masih bisa ditangkap struktur kemasuk-akalannya (plausibility
structure). Ide-ide penulisnya bisa diramu secara padu. Kesinambangunan
pikiran bisa disajikan secara logis dan nyaris tanpa lompatan. Walaupun
memberikan bacaan yang penuh gizi, buku ini masih memiliki kelemahan. Banyak
topik yang mestinya dibahas secara lebih mendalam hanya dibicarakan dalam
beberapa halaman saja. Klaim Arab Saudi yang mendaulat dirinya sebagai imam
kalangan Sunni, misalnya, merupakan topik yang membutuhkan penjelasan mendalam,
tetapi buku ini hanya membahasnya sambil lalu (hal 160-168).
Ketidaktuntasan
pembahasan ini menuntut pembaca untuk membaca buku lain, misalnya buku Khaled
Aboe el-Fadhl (The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists, 2005).
Kelemahan lain dari buku ini adalah rentang topik yang amat luas dan beragam
yang meliputi bidang filsafat/pemikiran Islam/agama, tafsir, hukum/fikih,
ideologi, politik, sosial, dan budaya, membuat pembaca merasa berat untuk
memahami keseluruhan topik. Pembaca yang belum pernah bersentuhan dengan
topik-topik itu akan merasa klieng-klieng (pusing). Namun, kelemahan itu adalah
wajar untuk sebuah buku pemikiran yang berkualitas. Kelemahan itu tidak akan
mengurangi kandungan gizinya
Sumber: Resensi Buku Islam Tuhan
Islam Manusia karya Haidar Bagir oleh Muchyar Fanani Dekan FISIP UIN Walisongo
Semarang
Bagi pembaca yang hendak menggali
lebih dalam isi buku Islam Tuhan Islam Manusia dapat mendownload versi luring/
offline pada link pdf di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar