Pages

Sabtu, 17 Agustus 2019

Bersuci itu Mudah


Sumber: islam.nu.or.id

Pada zamannya, Al Ghazali menyaksikan kecenderungan ekstrem dalam praktik bersuci di sebagian elite masyarakat. Mereka sangat ketat menjaga kebersihan lahiriah, seolah sebutir debu pun tak mereka izinkan hinggap di telapak kaki mereka. Bukan cuma itu, mereka memandang “kumuh” orang-orang yang tampil sederhana dalam beribadah; semisal orang yang shalat di serambi masjid tanpa sajadah, atau orang yang berwudhu dari air kendi milik seseorang yang bercelana lusuh. Mereka pun tak sudi bergaul dan makan bersama dengan orang-orang “kumuh” ini.

Di mata Al Ghazali, perilaku mereka mencerminkan sikap yang berlebihan menjaga kebersihan lahir, namun abai dengan kebersihan batin, sehingga tak merasa risih dengan kotoran riya dan sombong. Ironisnya, mereka mengklaim bahwa diri mereka lah sesungguhnya pengamal kebersihan sebagaimana dimaksud dalam hadits, “kebersihan itu setengah daripada iman.”

Al Ghazali pun amat prihatin dengan penyakit “elitisme” dalam keberagamaan ini. Di samping itu, dia juga risau oleh penyakit was-was yang menjangkiti sebagian ahli agama (ahli fikih) yang seharusnya menjadi panutan. Penyakit was-was (ragu) menjadikan penderitanya berlarut-larut dalam kegiatan bersuci, karena terlalu khawatir dan berkhayal airnya terkena najis dan wudhunya tidak kunjung sah. Hingga akhir zaman modern pun, fenomena penyakit was-was masih sering kita jumpai di sebagian masyarakat “tradisional.”

Dalam buku ini Al Ghazali mengembalikan makna esensi bersuci sesungguhnya yang seakan sudah bergeser paradigmanya, pertama-tama dengan menunjukkan praktik bersuci para sahabat r.a. dan tabi’in r.a. Ternyata, tak bisa disanggah bahwa generasi awal Islam bersikap mudah dan ringan dalam menjaga kesucian lahiriah. Mereka merasa cukup menjauhi najis saat mereka melihatnya, tanpa perlu berlebihan memikirkan kemungkinan-kemungkinan kecil adanya najis bila tak ada wujudnya. Mereka juga biasa shalat di masjid berlantai tanah.

Al Ghazali juga memperlihatkan kemudahan menjaga kesucian lahiriah dalam kesepakatan ulama fikih tentang lima jenis najis yang dima’fu (dimaafkan) karena sulit dihindari. Contohnya adalah darah atau nanah dari jerawat, atau debu di jalanan yang tercampur kotoran hewan.

Yang menarik adalah pilihan Al Ghazali dalam menetapkan syarat-syarat air yang suci dan menyucikan. Dalam hal ini, Al Ghazali memilih mazhab Maliki yang lebih longgar, meski dia seorang ahli fikih Mazhab Syafi’i. Ini pun dia lakukan demi mendukung kemudahan bersuci terutama untuk negeri-negeri yang langka air.

Dari paparan tentang kemudahan bersuci ini, jelas bahwa Al Ghazali bermaksud menekankan pentingnya melakukan kegiatan bersuci secara mudah, tidak usah berlebihan dan merepotkan diri, dengan tetap berpijak pada sikap ketat menjaga kesuican batin sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw. dan para sahabat r.a.

Yang amat teristimewa dari Al Ghazali adalah ketajamannya dalam mengungkap berbagai rahasia batin dan hikmah bersuci. Uraiannya sungguh berlimpah dengan KEINDAHAN bersuci.

Al Ghazali berkeyakinan bahwa cahaya kenabian melahirkan perhitungan yang amat cermat terhadap setiap gerak bersuci. Ambil contoh cara memotong kuku. Al Ghazali mengatakan tidak menemukan informasi tentang cara Rasulullah saw. memotong kuku tangan dari riwayat hadits-hadits yang tertulis. Namun, dia mendengar dari praktik dan tradisi yang dia terima, bahwa Nabi saw. memulainya dari telunjuk tangan kanan (dalam posisi tangan telengkup), lalu bergerak berurutan ke jari tengah hingga kelingking tangan kanan, lalu bersambung ke kelingking tangan kiri hingga jempol kiri dan akhirnya berakhir di jempol tangan kanan. Mengapa harus memulai dari telunjuk tangan kanan? Karena dibanding seluruh jari tangan kanan, telunjuklah yang paling mulia karena dia yang bergerak menunjuk ketika seseorang mengucapkan syahadat dalam tasyahud shalat.

Mengapa urutan geraknya ke kanan? Karena jemari sebelah kanan lebih mulia (kita tahu, Nabi saw. selalu mengutamakan anggota tubuh bagian kanan). Tapi, mengapa tangan kiri harus dimulai dari jari kelingking yang posisinya paling kiri? Masih kata Al Ghazali, coba tempelkan kedua telapak tangan dan jemari Anda di depan dada. Lalu cekungkan jemari kedua tangan Anda sehingga kedua kelingking dan kedua jempol tetap menempel, sementara jari tengah, manis, dan telunjuk merenggang. Lihatlah dari atas seluruh jari jemari itu, jari-jari itu akan tampak seumpama orang-orang yang sedang duduk melingkar dalam sebuah halaqah pengajian. Maka, kelingking tangan kanan memang secara estafet menyambung dengan kelingking tangan kiri, sehingga urutan pemotongan kuku itu sambung menyambung membentuk gerak melingkar. Tidakkah menakjubkan bagaimana Al Ghazali menggali hikmah di balik kegiatan memotong kuku yang tampak sepele ini?

Berdasar kecermatan perenungannya, Al Ghazali pun meyakini praktik menggunting kuku tersebut, meski tidak tertulis dalam riwayat hadits shahih bersumber dari Rasulullah saw.

Sumber: kata pengantar buku Rahasia Bersuci karya Imam Al Ghazali

Untuk mengulas lebih dalam kitab Rahasia Bersuci karya Imam Al Ghazali, pembaca bisa mengakses versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer