Pages

Sabtu, 17 Agustus 2019

Puasa dan Zakat sebagai Tazkiyatun Nafs

Sumber gambar: infografis.republika.co.id


Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS Al-Baqarah [2]: 188)

Kalau mau diteliti kembali, ajaran dan perintah ibadah puasa ternyata memiliki korelasi positif dengan iba­dah-ibadah lain dalam Islam, seperti salat, zakat, dan sede­kah, yakni selalu dibarengi oleh dimensi konsekuen­sial atau ikutan. Seperti ibadah puasa, perintah menjalankan ibadah salat juga selalu diiringi dengan perintah berzakat—maksudnya zakat kekayaan.

Hal itu dapat dilihat dari ba­nyak­­nya ayat dalam Al-Quran yang memerintahkan mendi­ri­kan atau mengerjakan salat, yang kemudian diiringi de­ngan pe­rintah mengeluarkan zakat, seper­ti, dan dirikanlah sa­­lat, tunaikanlah zakat, dan ruku‘lah beser­ta orang-orang yang ruku‘ (QS Al-Baqarah [2]: 43). Dan, banyak lagi pada ayat lain dalam Al-Quran, seperti Surah Al-Hajj (22): 78, Yû­nus (10): 87, dan Al-Nûr (24): 56.

Dalam menjalankan praktik ibadah puasa, kita juga dianjurkan mengeluarkan zakat fitrah yang tujuannya ada­lah pembuktian keima­nan kita. Sementara itu, dalam praktik ibadah salat, kita juga disuruh menyertainya dengan me­nge­luarkan zakat. Kalau dalam ibadah puasa kita menge­luar­kan zakat fitrah sebagai perwujudan nilai kemanusiaan, dimensi horizontal, maka dalam salat hal itu disimbolisasi­kan dengan salam pada akhir salat.

Itulah sebabnya, ada yang beranggapan bahwa nilai atau pahala puasa tidak sah kalau tidak disertai menge­luar­kan zakat fitrah, dengan menganalogikan salam pada salat. Dalam salat, seseorang dinilai tidak sah kalau tidak meng­ucap­kan salam.

Baik ibadah puasa maupun salat, sebagai perwujud­an keimanan dan ketakwaan yang kemudian harus diwujud­kan dalam bentuk lahiriahnya, adalah amal saleh atau kerja sosial. Dengan sendirinya, terdapat paralelisme antara iman, takwa, dan amal saleh atau lebih populer dengan adanya ko­mitmen sosial.

Zakat mal, zakat kekayaan, maupun zakat fitri pada da­­sar­nya juga merupakan simbolisasi pemadatan nilai ke­iman­an yang tidak kasatmata. Adapun ide dasar yang ter­kan­dung dalam keduanya adalah penyucian. Sarana penyu­ci­an adalah dengan menunjukkan komitmen, kepedulian sosial.

Zakat yang sesungguhnya me­ngandung pesan-pesan kema­nu­siaan, juga harus dipahami se­ma­ngat dan dinamikanya pada zaman sekarang ini, termasuk di dalamnya kelompok orang yang wajib mengeluarkan zakat. Itu karena, seperti kita ketahui, ki­tab-kitab fiqih yang mengatur ma­salah zakat merupakan hasil respons dan ijtihad para ulama pada zaman dahulu, yang hidup pada era agraris. Untuk era in­dus­tri seperti sekarang ini, para ulama dituntut untuk kembali me­­mikirkan, mengupayakan, dan memperbarui hukum-hu­kum fiqih yang ada, sehingga hu­kum-hukum fiqih tetap dinamis dan mampu memberikan solusi bagi problem dan tantangan za­man.

Zakat yang berarti penyu­ci­an terhadap harta kekayaan, se­ka­li lagi, menegaskan bahwa har­ta dalam Islam tidak boleh diper­oleh melalui penindasan terha­dap hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta dalam Islam tidak boleh diperoleh dengan cara-cara yang tidak benar, batil, atau bahkan dengan penindasan terha­dap hak orang lain. Konsep keharusan mendapatkan harta de­ngan cara yang benar dalam Islam maksudnya tidak se­telah mendapatkan proses pembenaran atau legalisasi hu­kum dikatakan benar karena dalam Al-Quran ditegaskan bahwa dalam praktik hukum bisa terjadi penyelewengan, atau orang sekarang menyebutnya praktik mafia hukum.

Dalam kasus ini, Al-Qur’an memperingatkan, Dan ja­ngan­lah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di an­tara kamu dengan jalan batil dan (janganlah) kamu memba­wa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat mema­kan sebagian harta benda orang lain dengan (jalan berbuat) do­sa, padahal kamu mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 188).

Di tempat lain dalam Al-Quran juga disebutkan, Hai orang ber­iman, janganlah kamu saling memakan harta sesama dengan ja­lan yang batil, kecuali dengan jalan pernia­gaan yang berlaku suka-sama suka di antara kamu … (QS Al-Nisâ’ [4]: 29).

Dari ayat-ayat tersebut, sebenarnya, seseorang menja­lan­kan praktik mafia hukum, dan menyadari bahwa dirinya telah melakukan perbuatan salah atau dosa, tapi ia melang­gar­nya dengan membohongi diri lewat legalisasi hukum. De­ngan mengeluarkan zakat atas harta kekayaan yang dimiliki­nya, diharapkan harta yang dimiliki benar-benar menjadi su­ci, atau mirip dengan money-laundrying dalam artian positif karena telah diberikan hak-haknya secara benar menurut ketentuan agama.

Di sisi lain, sedekah atau memberikan sebagian harta­nya merupakan sebuah wujud tindakan pembuktian kesa­dar­an akan kebe­naran. Dari segi bahasa Arab, kata shada­qah, juga diartikan dengan tindakan yang benar. Benar da­lam arti sesuai dengan kesa­daran yang benar, kesadaran yang ia yakini atau kesadaran Tuhan, takwa. Itulah sebab­nya, sedekah sesungguhnya juga berefek dikem­balikan ke­pentingan dirinya dan tidak membutuhkan sebuah imbal­an atau balasan atau pujian.

Hal demikian juga dibenarkan da­lam Al-Quran bahwa sedekah adalah refleksi kepentingan diri, yakni sebagai berikut, Dan sesungguhnya kami memberi­kan makan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghen­daki balasan dari kamu dan tidak pu­la (ucapan) terima kasih (QS Al-Insân [76]: 9).

Ayat tersebut menegaskan, ketika seseorang memberi ke­pada orang lain, ia tidak perlu mengharapkan imbalan atau, bahkan sekadar ucapan terima kasih karena ini me­nyang­kut kepentingan dirinya dengan Allah Swt., refleksi si­kap membenarkan yang diya­kini.

Namun, dalam era teknologi informasi yang sudah ma­ju, baik teknologi media cetak maupun elektronik, sering se­­­kali disaksikan atau publikasi orang melakukan sedekah, beramal atau berinfak, dan itu menjadi pemberitaan. Kasus demikian itu, tentu tidak mengurangi dan menyalahi nilai sedekah, sebagai pembuktian diri kepada keyakinan yang benar, iman kalau tidak diiringi sifat riya, atau ingin menda­pat­kan pujian. Seperti yang disebutkan dalam Al-Quran, riya men­jadi ciri-ciri orang munafik atau orang yang mendustai aga­ma dengan dalil amal saleh, Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? … orang-orang yang berbuat riya … (QS Al-Mâ‘ûn [107]: 1-7).

Lain persoalannya kalau hal yang demikian itu diniati seba­gai sugesti dan rangsangan kepada pihak lain agar mau ber­sedekah dan beramal, atau agar terjadi proses imitasi atau penularan, maka sah-sah saja dan tidak ada salahnya. Se­bagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah saw. juga di­sebutkan bahwa dilihat orang tidak akan membatalkan nilai sedekah, “Setiap sedekah yang tidak diketahui orang lain, maka bukan termasuk sedekah.”

Ibadah puasa sebagai wujud ketakwaan kepada kegaib­an, dili­puti oleh suasana pribadi antara hamba dan Tuhan­nya, seperti yang ditegaskan dalam hadis qudsi yang sangat masy­hur, “Puasa adalah kepentingan-Ku (Allah Swt). dan Aku­lah yang akan memberi bala­sannya.” Sekali lagi, ibadah puasa, seperti halnya ibadah-ibadah yang lain: salat dan sedekah, nyata-nyata memiliki kolerasi positif, yakni akan kehilangan nilainya kalau tidak diiringi amal saleh yang berdimensi ke­ma­nusiaan. Itu karena, ternyata, dalam Islam, dimensi perso­nal juga tidak bisa dipisahkan dari dimensi horizontal. Ibarat sebuah koin mata uang, yang satu sisi dengan sisi yang lain merupakan satu kesatuan mutlak.
Sumber: kata pengantar buku Rahasia Puasa dan Zakat karya Imam Al Ghazali

Untuk mengulas lebih dalam kitab Rahasia Puasa dan Zakat karya Imam Al Ghazali, pembaca bisa mengakses versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer