Pages

Kamis, 08 Agustus 2019

Menikah itu Tentang Bagaimana Belajar Melunturkan Ego Pribadi Bukan Sekadar Hasrat Biologis Semata

Sumber gambar: rumahku--surgaku.org


Kerap kita mendengar, ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru" ditujukan kepada saudara, kerabat, sehabat, teman (atau siapapun) yang baru melaksanakan hajatan pernikahan. Saya sepakat dan memang benar adanya, pernikahan bisa diibaratkan sebagai babak baru dalam kehidupan.

Bahwa pernikahan, adalah lembaran kehidupan yang tidak kalah seru, memang begitulah kenyataannya. Pasalnya, dalam membina keluarga baru (suami istri) terdapat dua orang yang berinteraksi, berarti ada dua kepala dan dua pikiran berbeda yang musti diselaraskan.

Sebuah pernikahan, baik yang dijalani oleh pasangan belia atau sudah cukup umur, baik yang diijabkan seorang perjaka atau duda dengan gadis atau janda, melalui atau tidak proses pacaran, pastilah memerlukan proses transisi dan atau penyesuaian.

Pasangan suami istri, meskipun terikat tali pernikahan kuat, syah di mata hukum dan agama, tetaplah dua sosok pribadi yang berbeda. Masing-masing memiliki latar belakang tidak sama, dan sudah pasti membawa karakter sendiri-sendiri. 

Kerap kita mendengar, ucapan "Selamat Menempuh Hidup Baru" ditujukan kepada saudara, kerabat, sehabat, teman (atau siapapun) yang baru melaksanakan hajatan pernikahan. Saya sepakat dan memang benar adanya, pernikahan bisa diibaratkan sebagai babak baru dalam kehidupan.

Bahwa pernikahan, adalah lembaran kehidupan yang tidak kalah seru, memang begitulah kenyataannya. Pasalnya, dalam membina keluarga baru (suami istri) terdapat dua orang yang berinteraksi, berarti ada dua kepala dan dua pikiran berbeda yang musti diselaraskan.

Sebuah pernikahan, baik yang dijalani oleh pasangan belia atau sudah cukup umur, baik yang diijabkan seorang perjaka atau duda dengan gadis atau janda, melalui atau tidak proses pacaran, pastilah memerlukan proses transisi dan atau penyesuaian.

Pasangan suami istri, meskipun terikat tali pernikahan kuat, syah di mata hukum dan agama, tetaplah dua sosok pribadi yang berbeda. Masing-masing memiliki latar belakang tidak sama, dan sudah pasti membawa karakter sendiri-sendiri. 

Justru atas sebab perbedaan itulah, maka suami dan atau istri punya kewajiban yang sama, yaitu saling menyesuaikan demi keharmonisan rumah tangga.

Paginya bagi seorang bujangan, begitu bangun tidur (bagi yang muslim) sholat subuh, nonton televisi, mandi kemudian siap-siap berangkat kerja. Pergi ke kantor tinggal nyangklong tas, naik kendaraan dan sampai tempat pekerjaan. 

Akan berubah setelah ada istri, tanggung jawab laki-laki bertambah, berperan sebagai kepala keluarga dan mengemban tugas pencarian nafkah. Bagi perempuan, siap dengan segenap kerepotan di rumah (kalau istri juga pekerja kantor, berarti punya kesibukan double).

Penyesuaian, adalah keniscayaan, fase ini sangat memungkinkan suami dan atau istri, mengalami (yang disebut) culture shock. Sebuah kejutan, dari kebiasaan hidup bebas sebagai single, kemudian (mau tak mau) musti menyesuaikan, memikirkan/menjaga perasaan pasangan.

Pada kondisi penyesuaian,  sikap 'give and take' (jangan take and give) sangat dibutuhkan, bahkan bisa jadi kita dituntut untuk 'give' tanpa syarat. Satu tahun pertama, masa penyesuaian begitu terasa, letupan-letupan kecil tak jarang muncul dan terkadang ditentang oleh ego.

Dua belah pihak (suami istri) musti intens berkomunikasi, agar saling menyelaraskan diri, karena hal hal kecil kalau, tidak mustahil perlahan-lahan membesar.

“Ego adalah struktur psikis yang berhubungan dengan konsep tentang diri, diatur oleh prinsip realtis dan ditandai oleh kemampuan untuk mentoleransi”

Ego yang dibiarkan menguasai, cenderung membuat si pelakunya menjadi egois. Dan sikap mau menang sendiri, hanya ingin pendapatnya yang didengarkan, hanya dia yang merasa perlu mendapat tempat, kalau dibiarkan berlanjut sangat  bahaya. 

Pernikahan bisa dijadaikan salah satu cara melunturkan ego, karena di awal pernikahan suami dan istri punya tujuan yang sama, yaitu bagaimana rumah tangga bisa bertahan sampai akhir hanyat.

Beberapa artikel saya baca, ada beberapa point bisa dijadikan suami istri, agar pernikahan langgeng dan masing-masing menjadi pribadi lebih arif.

Perbedaan jangan dipemasalahkan, Seperti di awal tulisan, bahwa suami istri adalah dua orang berbeda, musti disepakati bersama. Sebagai dua pribadi, lahir dan tumbuh di lingkungan berbeda, dengan latar pendidikan, pergaulan, lingkungan atau lingkaran pertemanan yang tidak sama.  Jadikan kondisi yang berbeda tersebut, sebagai ajang untuk belajar memahami satu dengan lainnya.

Mencari Persamaan, Namanya juga dua kepala, tak urung kalau muncul perbedaan pendapat. Wajar kalau sesekali muncul rasa kecewa atau tidak sreg sikap dengan pasangan. Namun Ibarat mur dan baut, justru keduanya bisa jadi satu karena berbeda, mur dan baut berfungsi untuk saling menguatkan. Mur dan baut yang terpisah, tidak akan bisa berguna dengan optimal.

Saling Melengkapi, dalam pernikahan mari (sebaiknya) mengabaikan ide, bahwa kita akan cocok dengan orang yang banyak persamaan (pemikiran, sikap, ide dsb). Kehidupan telah menurunkan takdir, bahwa pasangan yang ada saat ini, adalah jodoh terbaik diberikan kehidupan. So, seberapapun perbedaan itu, tumbuhkan sikap saling melengkapi.

Penyesuaian tidak Instan, Proses penyesuaian suami dan atau istri, membutuhkan waktu dan tidak bisa kita tentukan batasnya. Bisa saja, penyesuaian terjadi enam bulan, satu tahun, dua tahun dan sebagainya. Focus pada melalui proses penyesuaian, sembari terus belajar menjadi pribada yang lebih baik.

Jangan Menang Sendiri, Laki-laki lazimnya mengandalkan logika, tepi perlu diingat, menang debat (meskipun disertai bukti ilmiah) dengan istri bukan pencapaian hebat. Perempuan, identik dengan makhluk yang kerap mengandalkan perasaan, tapi ingat permasalahan tidak selesai dengan cucuran air mata. 

Suami istri jangan maunya menang sendiri, mesti bersinergi kapan (sebaiknya) memakai logika dan kapan menggunakan perasaan, keduanya musti diselaraskan.

Mencapai Tahap Penerimaan, Buah dari menyesuaikan, suami dan istri akan sampai pada (yang disebut) 'penerimaan'. Pada fase 'penerimaan', inilah pasangan suami/istri seperti berada di pintu kedewasaan.  

Sikap kedewasaan, tidak ditentukan usia, tidak terpengaruh kondisi ekonomi atau jenjang pendidikan. Dewasa dalam berumah tangga, bisa ditandai bagaimana suami/istri saling menerima dan sadar peran masing - masing.

Saya sangat yakin, diadakan tahap (yang bernama) menikah dalam kehidupan ini pasti ada hal baik dikandung di dalamnya. Maka bagi pasangan suami istri, musti menjadikan pernikahan sebagai ladang berproses.

Seganteng atau secantik paras, seberlimpah apapun harta kepemilikan, setinggi jabatan kedudukan dan gengsi, itu semua bukan jaminan langgengnya pernikahan. Esensi pernikahan adalah, bagiamana suami dan atau istri belajar untuk melunturkan ego diri.

Sumber: kompasiana.com/agunghan/

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer