Pages

Sabtu, 17 Agustus 2019

Bani Abbasiyah, Supremasi, dan Pionir Sains Dunia

Sumber gambar: tirto.id
Revolusi Bani Abbasiyah berhasil menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah dan menjadi dinasti kedua yang menguasai kekhalifahan Islam.
Bani Abbasiyah mendapatkan namanya dari paman Nabi Muhammad, Abbas, yang menjadi kepala keluarga klan itu. Mereka bermukim di sebelah timur sungai Yordan setelah penaklukan Suriah dan secara umum menjauhkan diri dari politik saat perang saudara berkecamuk pada 600-an Masehi.
Namun, pada awal 700-an, menurut Tayeb El-Hibri dalam Parable and Politics in Early Islamic History: The Rashidun Caliphs (2010), mereka mulai mengembuskan rumor bahwa salah satu keturunan Ali bin Abu Thalib secara resmi telah memindahkan hak kekuasaan kepada Bani Abbasiyah. Mengapa mereka melakukannya atau apakah memang itu terjadi, masih merupakan misteri. Dari perspektif praktis, ini memberikan legitimasi kepada Bani Abbasiyah (hlm. 207).
Mereka tidak hanya lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah SAW ketimbang Bani Umayyah, tetapi juga menegakkan keinginan kalangan yang mendukung keturunan Ali sebagai pemimpin dunia Islam. Dari wilayah basis di selatan Suriah dan Irak, mereka mengirim wakil-wakil ke Khurasan pada bulan suci Ramadan, 129 Hijriah. Di sana, penduduk Persia dapat digerakkan untuk mendukung dan mendeklarasikan pemberontakan melawan Bani Umayyah yang menindas (hlm. 208).
Sepanjang 730-an dan 740-an, diucapkanlah sumpah setia jaringan sekutu yang jauh dari basis Bani Umayyah di Damaskus. Bani Abbasiyah memberikan janji masyarakat yang lebih setara di bawah kekhalifahannya dan secara samar menjamin keturunan Ali akan memainkan peranan lebih besar dalam pemerintahan Islam, sesuai keinginan banyak Muslim di bagian timur kekhalifahan.
Dengan demikian, Bani Abbasiyyah mampu mengamankan dukungan berbagai kalangan masyarakat. Sokongan datang antara lain dari ahli ibadah yang ingin menyaksikan pemerintah yang lebih mengikuti teladan Nabi. Selain itu, ada kelompok non-Arab Muslim yang marah atas status kelas dua mereka. Terakhir, pengikut setia Ahlulbait yang meyakini bahwa seharusnya kekuasaan menjadi milik keluarga Nabi.
Mengobarkan Revolusi secara Terbuka

Menurut Marshall G.S. Hodgson dalam The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization [Volume 1: The Classical of the Age Islam] (1974), pada 747 M, Bani Abbasiyah secara resmi menyatakan pemberontakan terbuka di kota Merv, yang sekarang masuk wilayah Turkmenistan. Revolusi ini dipimpin tokoh misterius yang dikenal sebagai Abu Muslim (hlm. 244)
Tak banyak yang diketahui tentang Abu Muslim. Tetapi dia memang tidak tampak sebagai anggota keluarga Abbasiyah dan mungkin berasal dari etnis Persia. Di bawah kepemimpinannya, revolusi Bani Abbasiyah dengan cepat bisa mengambil kendali Khurasan, yang segera menjadi basis pergerakan (hlm. 245).
Abu Muslim mengirim pasukan ke arah Barat, masuk ke jantung Persia. Di sana, penduduk lokal Muslim bangkit melawan Umayyah dan bergabung dengan semangat revolusioner. Situasi yang awalnya terlihat sebagai ungkapan ketidakpuasan yang tidak berbahaya di Merv, kini mengancam eksistensi Dinasti Umayyah, terutama saat pasukan Abbasiyah ke luar dari Persia dan masuk ke dunia Arab.
Kufa, yang pernah menjadi pusat sentimen anti-Umayyah, mulai bangkit lagi melawan gubernur Umayyah dan mengusirnya saat bendera hitam Abbasiyah tampak di horison timur. Begitu Kufa dibebaskan, pengambilan sumpah setia dapat dilakukan kepada calon khalifah dari Abbasiyah, Abu al-‘Abbas. Revolusi ini punya tujuan jelas, dukungan luas dari seluruh Persia, dan seorang pemimpin untuk menyatukan semuanya. Di setiap tempat, Umayyah berada dalam posisi bertahan saat semakin banyak orang berkumpul mendukung Abbasiyah.
Bani Umayyah Terdesak

Sementara itu, upaya membangkitkan pendukung Umayyah ternyata bukan perkara mudah. Sudah beberapa dekade berlalu sejak ancaman nyata terhadap posisi Umayyah mulai muncul, tetapi pejabat pasukan Suriah hanya berdiam diri dan dengan keliru menganggap kekuatan revolusi itu perlahan-lahan akan surut. Saat khalifah Marwan II berhasil mengumpulkan kekuatan Umayyah, Abbasiyah telah mengambil kendali atas sebagian besar Irak.

Hugh Kennedy dalam When Baghdad Ruled the Muslim World: The Rise and Fall of Islam’s Greatest Dynasty (2005) menelatah bahwa pada awal 750 Masehi dalam Perang Zab di Mesopotamia tengah, kekuatan Abbasiyah berhasil memukul mundur penuh pasukan Umayyah. Perlawanan terorganisasi terhadap Abbasiyah secara efektif berakhir setelah perang itu, seiring runtuhnya kendali Umayyah di seluruh dunia Islam. Sejak saat itu, tidak ada lagi penghalang antara Abbasiyah dan ibu kota Umayyah, Damaskus.

Satu demi satu, kota-kota menyerah dan menerima kedaulatan Abbasiyah. Satu per satu anggota keluarga Umayyah diburu dan dihukum mati. Marwan sendiri tertangkap di Mesir, tempat dia gagal mengumpulkan pasukan yang akan memukul mundur Abbasiyah dan mengendalikan Umayyah kembali (hlm. 32-3).

Hanya satu anggota keluarga Umayyah yang berhasil lolos dari revolusi. Menurut W. Montgomery Watt dalam The Majesty that was Islam: The Islamic World, 661-1100 (1974), Abdul Rahman yang masih remaja, anggota keluarga Umayyah yang relatif tidak dikenal, mampu lolos dengan menyamar ke Afrika Utara. Dia dikejar-kejar pasukan Abbasiyah dari Palestina, ke Mesir, sampai Magribi, dan hanya dikawani oleh budak yang pernah bekerja untuk keluarganya. Perjalanan legendarisnya membawa dia sampai ke Andalusia. Di sana dia mendirikan emirat Umayyah, jauh dari jangkauan Abbasiyah yang akan bertahan hampir selama 300 tahun (hlm. 95).

Revolusi Abbasiyah pada pertengahan 700-an itu menghasilkan dinasti kedua dalam sejarah kekhalifahan Islam. Pemberontakan itu didasari gagasan untuk membangun pemerintahan yang lebih sejalan dengan teladan Nabi, menyediakan tempat yang lebih pantas bagi non-Arab dalam masyarakat, dan memberikan sejumlah peran kepemimpinan bagi keturunan Ali.

Janji-janji besar dan idealistis itu memang diperlukan untuk menggalang dukungan para sekutu. Tapi, begitu Abbasiyah berkuasa, realitas kekhalifahan mereka tak seperti yang diharapkan. Revolusi ini tidak serta-merta membuat dunia Islam kembali ke era Khulafaur Rasyidin ketika kesalehan, bukan politik, yang mendikte keputusan khalifah.
Sebaliknya, khalifah Abbasiyah meneruskan tradisi otoritarian yang sama dengan yang mereka cela dari Umayyah. Khalifah tetap menjadi gelar keturunan milik orang-orang Quraisy. Dan mereka yang mendukung keluarga Ali sebagai khalifah ditinggalkan begitu saja tanpa dipenuhi janjinya.

DINASTI ABBASIYAH: PIONIR PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN SAINS DALAM SEJARAH ISLAM

Bani Abbasiyah adalah kekhalifahan atau pemerintahan dalam sejarah Islam yang memimpin pada tahun 32 H/750 M setelah Bani Umayyah tumbang di tangan pasukan Abu Abbas melalui pertempuran di suatu wilayah di Damaskus.

Dinasti Abbasiyah merupakan kekhalifahan terlama yang pernah memimpin sepanjang sejarah Islam, yaitu pada tahun 750-1258 M. Naiknya dinasti ini ke dalam tahta kepemimpinan Umat Islam saat itu tidak lepas dari banyak faktor. Diantaranya adalah adanya sebagian umat yang memandang bahwa Dinasti Umayyah tidak berlaku adil dan hanya memihak kepada sebagian kelompok saja. Ada juga sebagian kelompok yang merasa hak-haknya dirampas seperti kelompok Syiah. Dan juga orang-orang non-arab (Mawalli) yang tidak diberlakukan secara adil dengan dibebankan membayar pajak lebih besar dari orang arab.

Faktor-faktor tersebutlah yang membuat Bani Abbasiyyah mendapatkan banyak dukungan dari pelbagai pihak sampai memastikan kursi kekhalifahan pada waktu itu berpindah tangan dari Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah dengan melalui perebutan wilayah sampai menyisakan satu wilayah kekuasaan Bani Umayyah, yaitu Andalusia.

Nama Bani Abbasiyah sendiri dinisbahkan kepada paman Nabi Muhammad yang termuda, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib. Hal ini menunjukan pertalian yang erat antara keluarga Bani Abbas dengan Nabi Muhammad Saw. Sementara itu, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah sendiri berpusat di kota Baghdad.

Dinasti ini mengalami masa kejayaan pada awal-awal masa kepemimpinannya. Yaitu pada masa Harun Ar Rashid yang pernah memerintah pada tahun 786-809 M dan putranya yaitu Al Ma’mun yang menjabat pada tahun 813-833 M.

Pada masa kepemimpinan Harun Ar Rashid, hal yang paling diutamakan adalah sektor sosial dan kesehatan. Terbukti dengan dibangunnya fasilitas kesehatan seperti rumah sakit beserta penunjangnya yaitu berupa lembaga akademi pendidikan dokter dan farmasi. Lain hal dari sektor kesehatan, kesejahteraan masyarakat terus ditingkatkan dan pendidikan untuk semua masyarakat sangat diutamakan. Pada masa inilah, peradaban islam semakin menguat dan tak tertandingi oleh siapapun.

Sementara itu pada masa kepemimpinan Al Ma’mun putra Harun Al Rasyid, bidang pendidikan adalah hal yang paling utama yang diperhatikan. Pada masanya, peradaban islam di bidang keilmuan mencapai masa keemasannya. Karena kecintaan terhadap ilmu Filsafat, Khalifah Al Ma’mun menggalakkan penerjemahan buku filsafat barat ke dalam bahasa arab supaya mudah dipelajari.

Bahkan, Khalifah Al Ma’mun rela membayar sebagian kalangan orang non-muslim untuk menerjemahkan buku-buku tersebut ke dalam bahasa arab. Bukan hanya itu, banyak juga fasilitas pendidikan yang dibangun seperti madrasah dan lainnya. Salah satunya adalah Baitul Hikmah yang menjadi pusat penerjemahan sekaligus perguruan tinggi yang dilengkapi dengan perpustakaan besar. Pada masa al-Ma’mun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.

Para ilmuwan pada masa Dinasti Abbasiyah melakukan banyak kajian keilmuan dengan cara menerjemahkan buku-buku dari Yunani lalu mempelajarinya. Dengan cara seperti itulah ilmu pengetahuan dapat berkembang dengan sangat pesat.

Dilihat dari permulaan pemerintahan Bani Abbasiyah, ternyata banyak sekali perubahan yang telah dilakukan, lebih banyak dari masa pemerintahan sebelumnya yaitu Dinasti Bani Umayyah.

Pergantian dari Bani Umayyah ke Bani Abbasiyah bukan hanya sebatas perubahan kepemimpinan saja, akan tetapi juga mampu merubah banyak hal. Dinasti Abbasiyah mampu menorehkan sejarah bahwa Islam mampu mengembangkan refleksi kegiatan ilmiah dengan adanya pengembangan wawasan dan disiplin keilmuan.

Pada Dinasti Abbasiyah inilah, pendidikan sangatlah merata dengan adanya madrasah-madrasah yang terbentang dari desa sampai kota. Oleh sebab itu, tidak mengherankan perkembangan ilmu pengetahuan sangatlah maju dan peradaban islam mencapai puncak kejayaannya.

Dinasti Abbasiyah secara turun-temurun telah melahirkan sebanyak tiga puluh tujuh khilafah yang berkuasa dalam kurun waktu yang cukup sangat panjang, yaitu sekitar tiga ratus tahunan. Selama itu pulalah, perkembangan dunia Islam sangat berkembang pesat dalam sektor dan bidan apapun, khususnya keilmuan.

Namun lagi-lagi sangat disayangkan, semua kejayaan itu berakhir dengan pilu. Bagaimana tidak, perang komunal antar saudara terjadi di mana-mana, dan pemberontkan terus terjadi menggerogoti sendi-sendi kekuakasaan islam saat itu. Dan puncaknya, adalah ketika terjadi serangan dari bangsa Mongol yang mengakibatkan luluh lantahnya Baghdad pada waktu itu.

Sumber: tirto.id dan bincangsyariah.com

Untuk mengulas lebih dalam tentang Bani Abbasiyah, pembaca bisa mengakses versi luring/ offline pada link pdf di bawah ini


0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer