Pages

Sabtu, 10 Agustus 2019

Ensiklopedi Nurcholish Madjid

Sumber gambar: tirto.id


Buku yang ada di tangan pembaca ini adalah hasil penyuntingan lebih dari 15 tahun kerja intelektual dan pengajaran Prof. Dr. Nurcholish Madjid di Pusat Studi Islam Paramadina. Selama masa yang panjang itu, sejak berdirinya Yayasan Paramadina, sampai masa-masa menjelang reformasi, Cak Nur—panggilan akrab beliau—terus-menerus memberikan pada mahasiswa-mahasiswanya di Paramadina, gagasan-gagasan keberagamaan yang segar, inspiratif, berwawasan universal, kosmopolit, dan penuh kedalaman spiritual—bahkan kadang-kadang menantang berpikir ulang atas kepercayaan keagamaan tradisional selama ini. Dalam proses belajar itu,  terbentuklah apa yang kemudian disebut “Komunitas Paramadina”––yaitu ribuan mahasiswa atau murid-murid Cak Nur yang secara intens terus-menerus mempelajari pemikiran Islam di Paramadina, selama bertahun-tahun hingga kini. Dalam proses pengajaran Cak Nur itu AlhamduliLâh sempat tersimpan rekaman ratusan jam perkuliahan Cak Nur, dan catatan-catatan (hand out), yang sayangnya tak terdokumentasi lagi tanggal pengajarannya itu.

Maka lebih dari 200 kelas (sebanding 400 jam) perkuliahan, ratusan catatan, hand out, dan  makalah beliau kemudian ditranskrip, dan diedit untuk kepentingan penerbitan buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini. Tetapi jangan terlalu serius dengan kata “ensiklopedi” dalam buku ini, karena buku ini memang tidak didesain dari awal sebagai ensiklopedi ilmiah, dengan pemilihan entri-entri yang ketat sebagaimana layaknya kalau membuat sebuah ensiklopedi. Buku ini memang dibuat besar—karena itu disebut “ensiklopedi”—sebagai sebuah memori atas pemikiran yang telah Cak Nur tanamkan dan kembangkan pada publik intelektual Islam di Indonesia, dengan Paramadina sebagai tempat persemaian awal mulanya. Di samping, pikiran Cak Nur memang bersifat “ensiklopedis,” maksudnya meliputi banyak isu dan sangat komprehensif. Sehingga dengan buku ensiklopedi ini diharapkan tersimpan sebuah dokumentasi pemikiran Cak Nur yang relatif cukup lengkap. Sehingga dengan buku ini diharapkan dapat tergambar salah satu wajah Islam yang sekarang dirindukan di Indonesia, yaitu wajah Islam yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan. Sebuah wajah Islam yang diimpikan Cak Nur terwujud dalam kehidupan keagamaan Islam di Indonesia.

Dalam buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini, saya juga telah menulis sebuah pengantar panjang, sekitar 200 halaman, yang mencoba mengikat keseluruhan isi buku ensiklopedi ini, sekaligus memberi konteksnya dalam pergumulan Cak Nur dengan gagasan-gagasan keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, tiga hal yang hendak diramu sintesisnya dalam pemikiran apa pun dari Cak Nur. Pengantar tersebut sengaja dibuat panjang, untuk memberi gambaran tentang keluasan pemikiran Cak Nur. Tentu saja pengantar ini tidak bisa mewakili pemikiran Cak Nur secara keseluruhan, tetapi paling tidak dapat dianggap sebagai jejak pemikiran, untuk mengerti ide-ide Cak Nur, terutama yang tertuang dalam ensiklopedi ini.

Di dunia akademis, jika seorang profesor disebut “ensiklopedis,” maka itu berarti ia adalah seorang profesor yang pengetahuannya sangat luas, dan bisa mengkaitkan keahliannya dengan berbagai disiplin keilmuan mutakhir. Profesor itu pasti seorang yang interdisipliner, dan menentang pengkotak-kotakan ilmu pengetahuan yang hanya berdasarkan skop keahliannya yang sempit. Begitulah Profesor Nurcholish Madjid. Ia adalah seorang pemikir Islam yang ensiklopedis. Pengetahuan Cak Nur sangat luas. Mereka yang pernah mendengarkan perkuliahan beliau di Yayasan Paramadina dapat merasakan vibrasi dari keluasan pandangan Cak Nur itu, bukan hanya dari perkuliahan beliau, tetapi juga dari bagaimana beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan peserta. Cak Nur selalu bisa mengakomodasi berbagai pertanyaan, bahkan pemertanyaan (questioning) yang kritis sekali pun,  dan kemudian memperluasnya dari sudut pandangnya sendiri.

Terus terang, kami sangat terkesan dengan keluasan pikiran Cak Nur itu, sehingga kami berkeinginan untuk mencatat apa saja yang telah dipikirkan oleh Cak Nur mengenai Islam. Konon katanya “cara terbaik untuk mendapatkan ide yang baik adalah dengan mendapatkan banyak ide”. Dan Konfusius mengatakan, “Without knowing the force of words, it is impossible to know human beings.” Kalau murid-murid Cak Nur sangat terkesan bagaimana ia selalu bisa menjawab kegelisahan peserta Paramadina dalam mencari Kebenaran, berdasarkan apa yang dikatakan Konfusius itu, maka sekarang kami tahu bahwa kekuatan Cak Nur dalam memberikan ide-ide, adalah karena ia sendiri sangat banyak ide! Dan untuk mengetahui kehebatan Cak Nur, maka perlu tahu pikiran-pikiran apa yang tersimpan dalam memori Cak Nur. Maka berdasarkan inspirasi itu, direncanakanlah sebuah program untuk mendokumentasikan pikiran Cak Nur. Program ini mulai dikerjakan sejak Cak Nur berangkat untuk operasi transplantasi hati di Cina, sekitar April 2004—yang kemudian dalam pengerjaan selama setahun, menghasilkan ensiklopedi besar Nurcholish Madjid ini dalam 4 jilid.

Rencananya buku ini akan diluncurkan ketika Cak Nur sehat, dan memberikan ceramah pada publik yang pertama, setelah beliau sembuh dari sakit. Tapi rupanya Allah menghendaki lain. Cak Nur telah meninggalkan kita pada 29 Agustus 2005. Maka, buku ini menjadi sebuah warisan pemikiran yang kita semua bisa mengaksesnya untuk mengembangkannya lebih lanjut.

Cak Nur memang seorang ensiklopedis. Ia mengolah banyak sekali isu keislaman. Boleh dikatakan Cak Nur memikirkan semua persoalan keislaman di dunia modern—atau lebih tepat perkembangan pemikiran Islam di tengah globalisasi. Kalau boleh dikatakan paling tidak ada 6 isu paling kontroversi dalam pemikiran Islam dewasa ini—yaitu isu melawan ide-ide teokrasi, mempromosikan demokrasi, keadilan gender, pluralisme, kebebasan berpikir, dan mempercayai kemajuan sebagai cara terbaik perkembangan kemanusiaan—maka Cak Nur boleh dikatakan telah mengembangkan seluruhnya keenam isu paling kontroversial di dunia Islam dewasa ini. Karena itu, tidak heran kalau ia sangat mengerti mengenai permasalahan Islam di Indonesia dewasa ini. Anehnya—atau malah seharusnya tidak aneh—Cak Nur selalu menegaskan bahwa masalah umatIslam itu bukan masalah doktrinal, tetapi hanya psikologis. Keyakinan ini membuat Cak Nur menganut suatu paham liberal syari‘ah. Bahwa pada dasarnya agama Islam itu sangat mendukung ide-ide paling baik dari kemajuan zaman. Islam betul-betul kompatibel dengan modernitas. Atau, malah Cak Nur menegaskan bahwa kekuatan Islam itu justru ada pada kemodernannya itu. Maka Cak Nur, dengan tanpa halangan mental apa pun, mampu mengelaborasi Al-Quran, sunnah, dan tradisi Islam untuk menjelaskan segala isu Islam modern. Itu sebabnya, ia sangat kental dengan usaha pengembangan hermeneutika Al-Quran.

Cak Nur sering disebut sebagai pengikut Fazlur Rahman, tetapi Cak Nur sebenarnya lebih dekat kepada Ibn Taimiyah. Bahkan boleh dikatakan ia merevitalisasi Ibn Taimiyah untuk persoalan kontemporer. Banyak isu pluralisme yang dikembangkan Cak Nur, bersumber dari Ibn Taimiyyah ini. Fazlur Rahman pasti berpengaruh pada Cak Nur, tetapi hanya dari segi metodologis, terutama bagaimana Fazlur Rahman mempunyai kemampuan menafsirkan Al-Quran (yang dituangkan dalam bukunya, Major Themes of the Qur’an). Nah, seperti juga Fazlur Rahman, akhirnya mata air sumber pemikiran Cak Nur adalah Al-Quran itu sendiri. Dan yang menarik ia berhasil menunjukkan sebuah “skripturalisme” (cara membaca secara literal dari Al-Quran) yang berbeda dari kalangan fundamentalis yang biasanya konservatif. Skripturalisme Al-Quran Cak Nur ternyata sangat liberal, memberikan segi-segi substantif. Dan kalau kita tanya pada Cak Nur mengapa ia bisa menegaskan keliberalan Al-Quran, ia hanya akan menjawab, “Kalau begitu yang liberal adalah Al-Qurannya!” Dan bersamaan dengan itu ia menjadi sangat prihatin, karena banyak gerakan Islam dewasa ini menjadi lebih konservatif dari Al-Qurannya sendiri. Itu sebabnya Cak Nur menegaskan bahwa masalah umat Islam itu bukan doktrinal, tetapi psikologis saja, minder kepada kemajuan Barat, dan takut mengakomodasinya.

Maka dari sudut pemikiran teologi yang optimistis dan penuh keterbukaan, sebenarnya posisi umat Islam di Indonesia dalam menghadapi globalisasi, menurut Cak Nur, tidaklah terlampau sulit. Di luar masalah psikologis itu—di mana sebagian umat  Islam cenderung menutup diri, reaktif, malah kemudian menjadi agresif, dan membenarkan tindak kekerasan (yang sebenarnya bertentangan dengan klaim bahwa Islam adalah agama yang rahmatan li al-`alamin)—maka yang perlu dihadapi umat Islam tidak lain ialah, bagaimana menghidupkan kembali nilai-nilai keislaman klasik (salaf) yang murni dan menerjemahkannya kembali dalam konteks ruang dan waktu yang ada.

Cak Nur memang sangat mengidolakan masa klasik Islam sebagai contoh kemodernan Islam, dan tidak tanggung-tanggung banyak catatan para pemikir Barat yang dikumpulkan oleh Cak Nur untuk mendukung kemodernan masa salaf ini. Sarjana-sarjana modern seperti Robert N. Bellah, Marshall Hodgson, Ernest Gellner, Bernard Lewis, Cyril Glasse, Bertrand Russell, dan sebagainya, semua mengamini sebuah model masyarakat klasik, yang sangat baik bagi umat Islam untuk dikembangkan lagi  di masa modern ini. Dan untuk proses ke arah itu tidak harus ditempuh dengan melakukan kompromi dan mengalah kepada desakan-desakan luar (seperti mengubah ajaran Islam), tetapi justru dengan kembali ke asal dan mengembangkan nilai-nilai asasinya sendiri. Di sinilah, menurut Cak Nur, relevansinya kembali kepada Kitab Suci dan Sunnah Nabi. Dengan metodologi pengembangan hermeneutika Al-Quran ini, Cak Nur membuat suatu pembaruan yang liberal, yang sudah menjadi agendanya sejak 1970-an, hanya saja sekarang itu dilakukannya dengan cara yang tidak kontroversial, karena menggunakan hermeneutika Al-Quran. Tetapi rupanya dengan cara yang Quranik ini pun Cak Nur tetap dianggap kontroversial. Memang begitulah kodrat setiap pembaruan.

Sepanjang karier pembaruan Cak Nur, ia mengolah dan membicarakan banyak ide-ide modern seperti demokrasi, hak asasi manusia, sosialisme, kapitalisme, humanisme, sekularisme, sains modern, isu gender, pluralisme, dan seterusnya—yang dapat kita lihat jejaknya dalam ensiklopedi ini. Menurut Cak Nur, mengolah kembali khazanah terbaik umat manusia sekarang ini, dan menjadikannya sebagai milik umat Islam adalah hakikat makna ijtihad atau pembaruan. Bagi Cak Nur, ijtihad atau pembaruan haruslah merupakan proses terus-menerus sebagai pemikiran yang orisinal, berlandaskan penilaian atas gejala-gejala sosial dansejarah, yang sewaktu-waktu harus ditinjau kembali benar salahnya. Ijtihad merupakan suatu proses di mana kesalahan proses akan mengakibatkan buah yang pahit, yaitu kegagalan. Sungguhpun demikian, itu pun, menurut Cak Nur, masih lebih ringan daripada beban stagnasi sosial sejarah akibat tidak adanya pembaruan.

Dan bagi Cak Nur, tidak mungkin ada ijtihad dan pembaruan yang akan mengubah masyarakat ke arah peradaban, jika tidak ada organisasiorganisasi penelitian dengan dasar yang kuat, yang mempunyai metode yang unggul untuk menganalisis situasi apa pun, dan mempunyai pengetahuan yang tepat tentang perkembangan-perkembangan kemajuan kemanusiaan dan kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh penemuanpenemuan baru di setiap bidang, baik sosial maupun alam. Sebenarnya Cak Nur memimpikan Paramadina untuk tujuan ijtihad seperti ini. Dan ide-ide yang dikemukakannya merefleksikan fondasi yang dirintisnya untuk menjadikan Paramadina sebagai Pusat Islam (Islamic Center) yang terkemuka. Pekerjaan pembaruan, menurut Cak Nur, adalah pekerjaan  dari kalangan masyarakat yang mempunyai kemampuan yang sebesar-besarnya untuk mengerti dan berpikir. Dengan kata lain, pekerjaan kaum terpelajar, dengan tanggung jawabnya yang berat, yaitu kemajuan umat Islam, dan kemajuan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Bagaimana cara membaca buku ini? Pertama buku ini didesain dengan satu entri dapat dibaca satu menit. Dengan baca satu entri diharapkan ada “one minute enlightment” (pencerahan satu menit). Maksudnya, diharapkan dengan membaca satu entri (apa pun) ada pencerahan pikiran yang bisa Anda dapatkan dari pikiran Cak Nur. Kalau itu tidak tercapai, cukuplah dicapai “one minute wisdom” (satu menit kearifan), kalau tidak juga, minimal ada “one minute ah-a”. Ada rasa “a-ha”—sesuatu yang baru. Sebagian besar entri dapat membantu kita mencapai ketiga kemungkinan hal tersebut. Entri yang tidak memberi a-ha, berarti entri yang gagal, dan hanya akan memberikan “one minute non-sense!”. Tanggung jawab kegagalan itu ada pada penyunting. Dan diharapkan masukan, saran, dan kritik untuk perbaikan pada cetakan mendatang. Dalam banyak halaman, tersedia kutipan dari pikiran Cak Nur yang diharapkan bisa menjadi inspirasi. Juga gambar-gambar yang membantu kita supaya dapat membaca relaks, berhadapan dengan buku setebal ini.

Buku ini tidak dimaksudkan untuk dibaca semua. Tetapi kalau Anda dapat membaca semua, atau paling tidak sebagian besar dari entri yang ada, maka akan banyak pemahaman dan inspirasi yang dapat diperoleh dari Cak Nur. Dan ini merupakan warisan paling berharga dari kerja intelektual Cak Nur selama di Yayasan Paramadina.

Akhirnya, tanpa bantuan banyak pihak tentu buku Ensiklopedi Nurcholish Madjid ini tidak akan pernah terbit menjadi kenyataan. Maka pertama kali, saya sebagai penyunting, mengucapkan rasa syukur kepada Allah Swt., dan terima kasih kepada guru besar studi Islam saya, almarhum Prof. Dr. Nurcholish Madjid, yang telah memperkenankan saya mendampingi beliau dalam masa 12 tahun saya menjadi Direktur Pusat Studi Islam Paramadina. Dari beliau—setelah saya mempelajari bertahun-tahun isu yang ada dalam ensiklopedi ini—saya mendapatkan keteguhan iman yang mapan, penuh kelapangan, pluralis, dan yang paling penting, toleran, di tengah suasana filosofis skeptisisme posmodernis yang banyak saya pelajari, yang meragukan arti agama dewasa ini. Terus terang, Cak Nur telah menyelamatkan iman saya dari ketidakpercayaan akibat gempuran renungan-renungan filosofis yang sangat kritis terhadap apa pun yang dianggap sebagai pemikiran mapan. Cak Nur memberikan sebuah istilah filsafat fides quarens intellectum, sebuah keimanan yang diterangi akal—juga sebaliknya akal yang dicerahkan oleh iman. Dalam masa yang panjang bersama Cak Nur, saya bersentuhan dengan banyak kuliah, ceramah, hand-out, dan makalah Cak Nur yang sebagian besar sekarang sudah terdokumentasikan dan terolah dalam ensiklopedi ini. Terima kasih Cak Nur atas kepercayaan Anda pada saya untuk memimpin proses penyuntingan ensiklopedi ini. Saya belajar banyak bagaimana mengerti hakikat agama Islam yang Anda sebut hanîfîyah samhah (keislaman yang toleran dan penuh kelapangan). Dengan ensiklopedi ini, semoga akan lebih tersebarluaskan pikiran-pikiran yang telah Anda geluti selama lebih dari tiga dekade, ke seluruh pelosok Indonesia.

Sumber: Kata Pengantar Budhy Munawar-Rachman (penyunting) dalam Ensikopledi Nurcholis Madjid Jilid 1.

Pembaca dapat mengakses Ensiklopedi Nurcholis Madjid pada link pdf di bawah ini

0 komentar:

Posting Komentar

Senata.ID -Strong Legacy, Bright Future

Senata.ID - Hidup Bermanfaat itu Indah - Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat & sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian -Pramoedya Ananta Toer