Kemenangan dalam Perang Badar adalah
kemenangan pertama umat Islam. Dengan jumlah pasukan lebih sedikit, mereka
berhasil mengalahkan pasukan Mekkah.
Perang Badar berlangsung pada 17 Ramadan tahun 2 Hijriyah atau bertepatan
dengan 17 Maret 624 Masehi. Perang ini tercatat dalam sejarah Islam awal
sebagai kemenangan besar pertama kaum Muslim dan melambungkan reputasi kota
Madinah di kalangan suku-suku Badui di sekitarnya. Nabi Muhammad berhasil
menunjukkan bahwa ia sanggup menantang monopoli kekuasaan Mekkah.
Badar, yang terletak antara Madinah dan Laut Merah, adalah tempat di mana
sebuah wadi besar menghampar. Beberapa sumur digali di tepiannya, dan
waduk-waduk dikeruk untuk menahan sisa banjir kilat musim dingin. Oleh karena
itu, tempat ini menjadi wilayah persediaan air utama, terutama ketika
kafilah-kafilah Mekkah berhenti di sana pada perjalanan pulang dari Damaskus.
Bahkan membayangkan penyergapan pada kafilah ini saja merupakan rencana
yang terbilang berani. Menurut Lesley Hazleton dalam The First Muslim: The
Story of Muhammad (2013), sampai saat itu, Muhammad tidak pernah
mengirimkan kelompok penyergap lebih dari dua puluh atau tiga puluh orang, dan
satu-satunya yang sukses, di Nakhla, berakhir dengan sangat kontroversial.
Kebanyakan orang Madinah, terutama mereka yang memiliki ikatan keluarga dan
bisnis dengan kota pedagang di selatan, tidak punya keinginan untuk memperburuk
situasi lebih lanjut. Nakhla sudah cukup buruk. Melanjutkan peristiwa itu
dengan tantangan sebesar ini akan berisiko memprovokasi Mekkah menuju perang
terbuka (hlm. 211).
Namun, itulah risiko yang tampaknya diambil oleh Muhammad. Serangan kecil
seperti yang terjadi di Nakhla membuatnya sekadar menjadi duri bagi Mekkah;
serangan besar di Badar membuktikan dirinya bukan sebagai orang pengasingan
yang tidak puas, tetapi sebagai musuh yang harus diperhitungkan.
Selain itu, serangan ini meningkatkan dukungan kepadanya di Madinah. Para
pemuda Madinah bersemangat oleh kemungkinan menantang kota besar itu, terutama
ketika potensi keuntungannya begitu besar.
Kemenangan yang Sangat Berarti
Karen Armstrong dalam Muhammad: Prophet for Our
Time (2006), menelatah bahwa Muhammad memimpin sebuah kontingen besar kaum
Mukmin untuk memotong jalan kafilah Mekkah pimpinan Abu Sufyan pulang dari
Suriah. Ini merupakan salah satu kafilah terpenting pada tahun itu (624 M) dan,
disemangati oleh kesuksesan Nakhlah, serombongan besar kaum Ansar menyediakan
diri untuk bergabung dalam penyerangan itu. Sekitar 314 kaum Mukmin berangkat
dari Madinah dan bergerak menuju Badar, dekat pantai Laut Merah, tempat mereka
berharap dapat menyergap kafilah tadi (hlm. 147).
Pada awalnya, kafilah itu tampak seperti akan lolos,
seperti biasanya. Abu Sufyan mendapat kabar ihwal rencana kaum Mukmin dan
alih-alih mengambil rutenya yang biasa melintasi Hijaz, dia berkelok tajam
menjauh dari pantai dan mengirim seorang dari suku setempat untuk pergi ke
Mekkah mencari bantuan. Suku Quraisy menggelegak marah atas keberanian
Muhammad, yang mereka anggap sebagai penodaan atas kehormatan mereka, dan
seluruh pemimpin Mekkah bertekad untuk menyelamatkan kafilah itu.
Abu Jahal, tentu saja, amat bersemangat untuk ikut
terjun. Ummayah ibn Khalaf yang bongsor pun mengambil baju perangnya, dan bahkan
anggota keluarga Muhammad sendiri berangkat untuk melawannya, lantaran yakin
bahwa kali ini Muhammad telah bertindak terlalu jauh. Abu Lahab sedang sakit,
tetapi dua putra Abu Thalib, pamannya (‘Abbas), dan sepupu Khadijah (Hakim)
bergabung dengan ribuan lelaki yang berangkat keluar dari Mekkah malam itu dan
berbaris menuju Badar (hlm. 148).
Sementara itu, Abu Sufyan telah berhasil mengecoh kaum
Mukmin dan membawa kafilahnya menjauh dari jangkauan mereka. Dia mengirim kabar
bahwa barang dagangan mereka aman dan pasukan tentara harus kembali pulang.
Sumber-sumber sejarah meneroka bahwa tatkala tiba di titik ini, banyak di
antara kaum Quraisy yang enggan untuk memerangi sesama kerabat mereka sendiri.
Namun, Abu Jahal tidak mau peduli. “Demi Tuhan!”
teriaknya. “Kita tidak akan kembali hingga kita telah tiba di Badar. Kita akan
melewatkan tiga hari di sana, membantai unta-unta, dan berpesta juga meminum
anggur; dan anak-anak perempuan akan tampil untuk kita. Orang-orang Arab akan
mendengar bahwa kita telah datang dan akan menghormati kita di masa depan”
(hlm. 149).
Akan tetapi, kata-kata yang lantang ini menunjukkan
bahwa bahkan Abu Jahal sendiri tidak mengharapkan sebuah pertempuran. Dia tidak
punya bayangan tentang kengerian perang, yang tampaknya dia bayangkan adalah
semacam pesta, lengkap dengan perempuan-perempuan yang menari. Suku Quraisy
telah begitu lama tercerabut dari padang stepa sehingga peperangan telah
menjadi semacam olahraga yang akan melambungkan prestise Mekkah.
Spirit yang sangat berbeda terdapat di perkemahan kaum
Mukmin. Setelah trauma dan teror hijrah, kaum Muhajirin tidak bisa
mempertimbangkan situasi itu dengan terlalu percaya diri dan gegabah. Segera
setelah Muhammad mendengar bahwa tentara Mekkah sedang mendekat, dia
berkonsultasi kepada para kepala suku yang lain. Jumlah tentara Mukmin jauh
lebih sedikit. Yang mereka harapkan adalah sebuah peperangan biasa, bukan
pertempuran berskala penuh.
Muhammad al-Ghazali dalam Sejarah Perjalanan hidup
Muhammad (2003), mendedahkan bahwa Suku Quraisy mulai bergerak maju dengan
perlahan melintasi gurun pasir. Pada saat pasukan Mekkah tiba di Badar,
Muhammad dan pasukannya sudah lebih dulu tiba di sana, menduduki medan yang
lebih tinggi. Malam itu turun hujan terus-menerus. Hujan yang jarang terjadi,
terutama pada pertengahan Maret.
Orang Mekkah mencangkung di tempat perlindungan,
tetapi Muhammad menggunakan hujan sebagai pelindung. Dia diam-diam
memerintahkan anak buahnya untuk memblokir sumur dan waduk yang terdekat dengan
orang Mekkah, sehingga saat fajar mereka akan terpaksa bergerak ke dataran yang
lebih tinggi di wadi, di mana orang-orang beriman telah menguasai posisi yang
lebih menguntungkan
Dengan mengendalikan akses terhadap persediaan air,
dia bisa mengendalikan seluruh medan (hlm. 287).
Menurut Tariq Ramadan dalam bukunya, In the
Footsteps of the Prophet: Lessons from the Life of Muhammad (2007), Perang
Badar dimulai dengan perang tanding satu lawan satu oleh Hamzah, Ali, dan
Ubaydah ibn Harits melawan tiga orang Mekkah. Hamzah dan Ali berhasil
mengalahkan lawan mereka, sementara Ubaydah terluka parah. Pertempuran pun
segera pecah. Pertempuran terlaksana di bawah langit mendung pagi berikutnya.
Barisan orang-orang beriman tetap rapat, sementara barisan pasukan
Mekkah—dengan masing-masing kabilah bertempur sebagai unit-unt terpisah dan tak
ada kesatuan komando—carut marut dan tercerai-berai (hlm. 186).
Dalam pertempuran sengit yang menyusul, kaum Quraisy
segera mendapati bahwa mereka sedang menghadapi hal ihwal yang terburuk. Mereka
berperang dengan semangat kenekatan yang ceroboh, seakan-akan ini adalah sebuah
turnamen kekesatriaan, dan tidak memiliki rencana yang matang. Mereka mengawali
dengan memborbardir musuh dengan panah, baru menarik pedang mereka untuk
bertarung satu lawan satu pada menit-menit terakhir. Menjelang tengah hari,
suku Quraisy telah kabur. Mereka kalah.
Kemenangan Nabi Muhammad merupakan sebuah titik balik:
status dan supremasi orang Quraisy benar-benar jatuh dan kabar ihwal kekalahan
mereka menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru Semenanjung Arab. Apa yang
terjadi di Badar hampir tidak mungkin dalam tatanan yang mereka yakini. Tatanan
alami dunia mereka telah terjungkir balik. Kaum Mukmin kehilangan 14 orang,
sementara orang Mekkah kehilangan lebih dari 70 orang, termasuk Abu Jahl, salah
seorang musuh Islam paling bengis dan paling menginginkan terjadinya
pertempuran. Abbas, paman Nabi (yang sangat dipercayai oleh Muhammad di Mekkah,
dan yang menyaksikan semua persiapan Hijrah), termasuk di antara orang yang
ditawan (hlm. 187).
Muhammad dengan segera memerintahkan pasukannya untuk
menahan diri. Sebuah wahyu turun untuk memastikan bahwa para tawanan perang
harus dibebaskan atau ditebus. Bahkan dalam perang, kaum Mukmin meninggalkan
kebiasaan bengis masa lampau.
Sumber: tirto.id
0 komentar:
Posting Komentar