Betapapun panjang sebuah perjalanan,
pasti akan sampai juga pada titik akhir. Betapapun sempurna keindahan mentari
pagi di ufuk timur, betapapun garang ia membakar bumi tepat di siang hari,
ketika senja membayang, toh ia harus tenggelam juga.
Lakon Gajah Mada telah pula sampai di
ujungnya. Tragedi Bubat telah melukai begitu banyak pihak dan berdampak sangat
luas. Prabu Hayam Wuruk terluka karena cintanya yang sedang mekar tiba-tiba
dihadapkan pada maut. Keluarga Raja Majapahit terluka karena akar sejarahnya
yang begitu dekat dengan Sunda Galuh mendadak dipangkas dengan paksa. Sunda
Galuh adalah pihak yang paling terluka, bukan saja karena harga diri yang
dilecehkan tanpa ampun, melainkan juga karena semangat perdamaian, harapan, dan
kepercayaan mereka terhadap Majapahit dinodai hingga titik paling hitam.
Bagaimana dengan Gajah Mada? Gajah
Mada ditempatkan sebagai pihak paling bersalah atas tragedi itu. Ia dihujat, dicaci, dan dicela. Namun,
sesungguhnya sang legendaris ini juga merasa terluka. Ia terluka karena merasa
kerja kerasnya selama dua puluhan tahun lebih pada akhirnya tak ada harganya
sama sekali. Segala pengorbanan yang ia berikan untuk dapat menyatukan seluruh
wilayah Nusantara di bawah panji-panji Majapahit justru gagal di langkah
terakhir.
Namun, tak peduli betapapun kecewa
Gajah Mada mendapati kenyataan cita-citanya tak terwujud secara sempurna, ia
tetap bersalah telah menyebabkan ratusan orang terbantai. Ia bersalah telah
mengubah lengkung janur kuning menjadi ratap perkabungan. Gajah Mada pun harus
menerima hukumannya. Ia dihempaskan dari dhampar kepatihan dan harus melewati
hari tua di Madakaripura, sebuah tempat terpencil dan jauh dari segala
ingar-bingar urusan duniawi.
Akan tetapi, sekali lagi sejarah
membuktikan bahwa nama besar Gajah Mada bukan isapan jempol belaka. Sepeninggal
Gajah Mada, Majapahit mulai dilanda berbagai persoalan. Persoalan terbesar
adalah ancaman disintegrasi. Tanpa Gajah Mada, negara-negara bawahan Majapahit
tak lagi takut memperjuangkan kemerdekaan.
Dan, Prabu Hayam Wuruk akhirnya harus
kembali mengandalkan Gajah Mada. Setelah setahun menyepi di Madakaripura, Gajah
Mada dipanggil untuk menduduki jabatannya kembali. Hanya saja, semua ada
masanya. Sepertinya, puncak kejayaan memang sudah saatnya berlalu dari
Majapahit karena Gajah Mada tetaplah manusia biasa. Gajah Mada tidak mungkin
dapat membendung laju sang waktu. Gajah Mada tidak mungkin pula dapat melawan
kodrat.
Dari tiada menjadi ada, lalu kembali
ke tiada. Semua yang hidup pasti berujung pada kematian. Begitulah yang bakal
terus terjadi. Gajah Mada dengan segala
romantika dan gegap gempitanya usai sudah. Drama Majapahit adalah cermin yang
merefleksikan betapa tidak ada manusia yang sempurna, seorang Gajah Mada
sekalipun, bahwa hidup tidak berhenti pada satu titik, bahwa ambisi harus
dikendalikan, dan bahwa kerendahan hati mesti dimiliki.
Sumber : Kata Pengantar buku Gajah
Mada Hamukti Moksa karya Langit Kresna Hariadi
Berikut kami lampirkan link pdf buku Gajah
Mada Hamukti Moksa karya Langit Kresna Hariadi di bawah ini
0 komentar:
Posting Komentar